Debat, Antara Serangan dan Progresivitas
Panggung Debat Pilpres 2024 mengundang perhatian banyak orang. Setiap warga negara Indonesia berkesempatan menyimak secara langsung di televisi.
Banyak komentar dan tanggapan bermunculan. Setiap orang boleh menyatakan pendapatnya dan mendukung jagonya masing-masing.
Para pengamat pun memberikan pernyataan dan penilaiannya. Di antaranya disampaikan Made Supriatma. Peneliti Tamu/Visiting Fellow dalam Program Studi/Kajian Indonesia di ISEAS–Yusof Ishak, Singapura, dan juga seorang jurnalis independen.
Fokus penelitian Made berpusat pada politik Indonesia, relasi sipil-militer, dan politik identitas/etnis, Made Supriatma menyampaikan pandangnya berjudul "DEBAT".
Berikut petikan komentar Made Supriatma tentang debat capres tersebut:
Tadi saya ditanya oleh seorang jurnalis dari media luar. Dia ingin memperoleh 'background information' tentang pemilihan presiden mendatang. Salah satu yang ia tanyakan adalah soal debat semalam. Siapa yang menang?
Ini pertanyaan penuh jebakan. Saya bisa dikira seorang 'spin doctor' alias tukang plintir yang memang selalu hadir dalam momen-momen sesudah acara seperti debat ini. Dan, saya tentu saja bukan tukang plintir. Urusan saya dengan Pilpres semata-mata adalah karena saya seorang ilmuwan politik, yang lebih tertarik pada membaca dan menganalisis kampanye pada calon presiden ini.
Terus, siapa yang menang debat semalam? Menurut hemat saya, pemenangnya adalah Anies Baswedan. Dari antara ketiga calon, dia-lah yang tampaknya paling siap.
Anies terlihat sangat nyaman dengan forum debat. Dia mempersiapkan diri dengan baik. Dia mengisi slot waktunya dengan tepat. Bahkan ia tidak kelebihan atau kekurangan waktu.
Namun, yang paling penting adalah Anies melakukan serangan (offensive). Dia agresif. Dia menarik kontras yang tajam antara dirinya dengan Prabowo dan Jokowi. Dia benar-benar mendudukkan diri sebagai calon yang akan melakukan perubahan, yang akan mengoreksi salah arah dari pemerintahan sebelumnya.
Anies juga tidak segan-segan mendeklarasikan dirinya sebagai oposisi. Dia mengambil posisi yang berbeda dengan Prabowo-Jokowi dalam segala hal, mulai dari Papua hingga ke IKN. Yang menarik, dalam soal Papua, dia bicara soal keadilan, yang selama ini tidak banyak disebut oleh para politisi Indonesia.
Prabowo, sebaliknya, tampil defensif. Beberapa kali dia tampak terpancing emosinya seperti ketika ia berteriak bahwa ia tidak takut tidak punya jabatan. Padahal sesungguhnya yang dia lakukan selama sepertiga masa hidupnya adalah mencari jabatan--3 kali kalah dalam Pilpres.
Dalam beberapa kesempatan, Prabowo terlihat merendahkan Anies. Nadanya seperti mengejek. Namun, dalam kesempatan lain, Prabowo tampak sangat percaya diri, yang nyaris tampak sebagai sikap arogan. Dia tampil seolah-olah dia sudah pasti akan menang.
Prabowo juga berusaha membawa soal-soal serius yang diperdebatkan sebagai sesuatu yang ringan. Dia tampak seperti berjoget ketika hendak menerangkan soal Papua. Dalam pengertian dia dan tim-nya, dia merasa perlu untuk mengingat-ingatkan akan ke-gemoy-an dirinya.
Yang juga menarik adalah sikap calon wakil presidennya, Gibran Rakabuming yang anaknya Jokowi. Ketika Prabowo naik emosinya, dia bangkit berdiri bersorak. Staf yang ada di belakangnya harus mencoleknya agar dia duduk kembali. Orang yang mengklaim wakil generasi muda ini memperlakukan debat seperti ia menonton pertandingan sepak bola.
Lalu, bagaimana dengan peserta terakhir, Ganjar Pranowo? Harus saya katakan bahwa Ganjar tenggelam di antara Anies dan Prabowo. Ia benar-benar tidak dianggap. Dalam pertarungan segitiga, hal yang paling menyesakkan adalah kalau kita tidak dianggap.
Ganjar terlihat terlalu berhati-hati. Dia tidak berani menyerang Jokowi. Tidak mengambil kontras yang jelas antara dirinya dengan rezim Jokowi yang sekarang ber-tiwikrama ke dalam Prabowo-Gibran.
Dalam politik tidak ada jalan tengah. Anda harus menarik kontras. Ganjar, rupanya, takut (atau ditakut-takuti?) bahwa pendukungnya sebagian besar adalah pendukung Jokowi. Jadilah ia terlihat seperti politisi yang "wishy-washy," imbas-imbis, tanpa pijakan yang jelas.
Kalau kampanyenya membiarkan ini terjadi, saya kira, Anies akan berada dalam posisi kedua dalam satu-dua minggu ke depan. Inilah posisi di mana Ganjar berada saat ini.
Dalam pertarungan segitiga macam ini, paling sulit adalah ketika Anda tidak punya posisi. Kalau GP ingin berebut posisi dengan Prabowo sebagai 'pewaris Jokowi,' maka kampanyenya saya kira hanya akan menghitung hari. Kalau ia (dan juga partainya) tidak mampu menarik garis tegas dengan Prabowo-Jokowi, maka yang terjadi adalah kondisi seperti saat ini: demoralisasi besar-besaran dari atas ke bawah.
Politik elektoral adalah perang dalam cara yang lain. Adalah tidak masuk akal bila Anda menggantungkan kemenangan dari pihak lain. Apalagi dari pihak yang jelas-jelas sudah menyingkirkan Anda.
Jadi? Pertarungan Pilpres ini semakin hari semakin menarik. Namun, debat mungkin tidak akan mengubah pilihan Anda. Sama seperti Pilpres atau Pileg, yang tidak akan mengubah apa pun di negeri ini.
Saya ditanya orang, siapa yang menang debat semalam?
Terus terang, menurut saya: ya ARB. Dia menguasai panggung. Menyerang, agresif, dan memberikan counter-point yang jitu. Dia menarik kontras yang tegas dengan Prabowo-Jokowi. Dia memperlihatkan diri sebagai calon alternatif dan perubahan.
Advertisement