Dawet Cepat Saji Pak Wagiman, Dawet Hitam Legend Tenan
Kali ini kembali lewat jalan utama Purwokerto-Yogyakarta. Tak lewat jalan Dandeles yang lebih sepi dan jarang lampu merah. Juga tidak lewat jalan Pantai Selatan (Pansela) yang mulus dan baru.
Ini berarti melewati tengah kota Kebumen dan Purworejo. Memang tak selancar jika melewati jalur alternatif. Tapi di jalan utama ini banyak pilihan kuliner yang bisa menjadi kembang perjalanan.
Nah, sesampai di Purworejo tergerak untuk merasakan makanan legenda di kota kelahiran pahlawan revolusi Jenderal Ahmad Yani ini. Di kota ini sebetulnya ada Bakmi Suka yang sangat populer. Namun, jamnya tidak pas untuk melahapnya.
Maka, pilihannya cari makanan legenda kota yang tidak tergolong makanan berat. Apa itu? Dawet hitam. Ya, inilah jenis minuman khas Purworejo. Seperti popularitas dan kekhasan dawet Banjarnegara yang terkenal di mana-mana.
Sebelum masuk kota Purworejo langsung buka navigasi kuliner di Purworejo. Cari dawet. Yang muncul pertama adalah Dawet Pak Wagiman. Warung inilah yang ada di perbatasan Temanggung-Purworejo. Seratus meter dari Jembatan Butuh.
"Dulu warung kami ada di dekat jembatan sana. Setelah ada pelebaran jembatan kami pindah ke sini," kata Sugeng, kakak Wagiman yang sedang berjualan sore.
Pilihan ke dawet Pak Wagiman sebetulnya pilihan acak. Mencari yang terdekat dari saat punya ide untuk mampir menikmati dawet legendaris. Juga karena foto yang tampil di navigasi kuliner tampak menarik.
Begitu sampai ke tempat yang dituju, rupanya gambar di navigasi itu lebih baik dari aslinya. Sedikit menipu. Ternyata gambar rumah dengan tulisan Dawet Pak Wagiman itu hanyalah bangunan seperti pos ronda.
Yang membuat yakin bahwa itu dawet legendaris adalah pelanggannya. Tampak banyak mobil berderet di tempat halaman rumah yang luas. Penumpangnya sebagian menikmati dawet di warung kecil, sebagian tetap di mobil.
Menurut Pak Sugeng, dia bersama adiknya sudah berjualan dawet sejak tahun 1960. Dulu dengan membantu orang tuanya yang menjadi perintis penjual dawet di daerah tersebut. "Kami gantian, kalau pagi Wagiman. Kalau siang saya," katanya.
Warung dawetnya buka mulai pukul 09.00 pagi. Ditutup kalau sudah habis. Saya datang ke warungnya pukul 15.00 WIB.
Sugeng tak mau berterus terang berapa mangkok berhasil dijual dalam sehari. "Sehari habis sekilo lebih tepung. Lebih beberapa kilo," katanya sambil ketawa.
Tentu lebih dari satu kilogram tepung dalam sehari. Kalau dilihat dari pelanggannya. Kalau dilihat penikmat yang datang. Juga dilihat dari mangkok yang disediakan. Juga bahan dawet yang disediakan.
Bersamaan dengan saya ada lebih dari 5 mobil mampir warung Pak Wagiman. Belum sepeda motor yang terus mengalir berdatangan. Mereka tak perlu waktu lama untuk bisa menikmati dawet kesukaannya.
Kok bisa? Ya. Sebab, ia meracik semangkok dawet hanya butuh waktu tidak sampai semenit. Seperti layanan cepat saji. Begitu datang bisa langsung menikmati dawet dengan nyaman.
Berbeda dengan dawet Banjarnegara, disebut dawet hitam kerena cendolnya berwarna hitam. Seperti cincau tapi dibuat dari tepung. Sedangkan cendol dawet Banjarnegara berwarna hijau dan dibikin bulat panjang.
Adonan dawet hitam Pak Wagiman terdiri dari cendol hitam, cairan gula merah, dan es santan. Disediakan juga tape ketan putih. Namun sifatnya opsional. Bisa minta ditambahkan ke dawet. Pasti enak tenan.
Mau tahu harganya? "Lima juta per porsi," kata Pak Sugeng sambil ketawa. Yang dimaksud 5 juta oleh Pak Sugeng itu adalah Rp 5 ribu per porsi. Murah kan! (arif afandi)