Darurat NU
Tengah malam, KH Yahya Cholil Staquf masih harus menerima tamu. Di sebuah rumah di kawasan Tebet, yang menjadi tempat tinggalnya selama di Jakarta.
Sejumlah Gus --putra para kiai-- dari daerah berdatangan. Termasuk Gus Maksum, Putra Almarhum KH Abdulah Faqih, Langitan, Tuban, Jawa Timur.
Di ruang tengah, beberapa orang yang selama ini saya kenal dekat dengan Staquf --demikian kami biasa memanggil-- juga sedang asyik berdiskusi.
Putra KH Cholil Bisri dan keponakan KH Ahmad Mustofa Bisri alias Gus Mus ini memang sedang jadi bintang. Ia menjadi kandidat kuat Ketua Umum PBNU menggantikan KH Said Aqil Siradj.
“Sebetulnya kalau kondisi NU tidak sedang darurat, saya tak akan maju. Ini kewajiban moral,” katanya kepada para Gus yang menemuinya.
Ia tidak merinci kondisi darurat yang ia maksud. Hanya menjelaskan ada persoalan organisasi, kelembagaan, dan nilai-nilai NU yang membuat ia harus turun gunung.
Staquf sudah sejak lama mempunyai pekerjaan besar. Yakni menjalankan misi global untuk membumikan paham keagamaan yang mendamaikan dunia.
Ini misi yang dia garap sejak sebelum menjadi Katib Aam PBNU.
Katib Aam adalah jabatan tertinggi setelah Rais Aam. Ia menjadi orang kedua dari pimpinan puncak Ormas Islam terbesar di Indonesia ini. Rais Aam adalah pemegang otoritas tertinggi di NU.
Kepemimpinan NU terdiri atas Syuriah dan Tanfidziyah. Yang pertama sebagai pemegang kebijakan. Sedangkan yang kedua adalah pelaksana kebijakan.
Ibarat dalam perusahaan, Rais Aam adalah CEO. Sedang Ketua Umum PBNU Direktur Operasionalnya. Jika Syuriah adalah Dewan Komisarisnya, maka Tanfidziyah adalah Dewan Direksinya.
Segala keputusan Ketua Umum PBNU harus melibatkan Rais Aam dan Katib Aam. Sedangkan Rais Aam Syuriah PBNU bisa mengambil keputusan sendiri meski tanpa persetujuan Ketum Tanfidziyah PBNU.
Karena itulah, ketika Ketum PBNU tak mau muktamar Lampung maju, Rais Aam KH Miftahul Ahyar mengeluarkan surat perintah: Muktamar NU dilaksanakan 17 Desember 2021 atau maju dari jadwal semula.
Rais Aam memilih memajukan jadwal karena mandat muktamar hanya sampai 2021. Itu pun sudah diperpanjang melalui Konferensi Besar NU, beberapa waktu lalu. Seharusnya masa hidmah PBNU hanya sampai 2020.
Kembali ke Staquf.
Jebolan UGM dan Ponpes Al Munawir Krapyak ini bisa jadi juga napak tilas perjalanan karir Gus Dur dan Kiai Said. Ia bisa terpilih menjadi Ketua Umum PBNU setelah menjabat sebagai Katib Aam.
Sebelum memutuskan menjadi calon Ketum PBNU, Staquf telah sowan ke para kiai sepuh. Juga menemui Kiai Said untuk meminta restunya. Itu jauh hari sebelum Kiai Said memastikan maju kembali sebagai calon.
Ketika itu, Kiai Said telah merestuinya. Karena memang beliau sudah dua periode memimpin NU. Jadi, secara adab ke-NU-an, Staquf telah melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Tidak asal ingin maju.
Bahwa kemudian Kiai Said memutuskan untuk mencalonkan diri kembali, itu di luar dugaan. Ia tak mungkin mundur karena telah didukung para kiai sepuh dan mayoritas PWNU serta PCNU sebagai pemilik suara di muktamar.
Apa latar belakang Kiai Said untuk maju kembali? Adakah kepentingan politik di balik keinginannya menjabat sebagai Ketum PBNU ketiga kalinya? Saya belum pernah mendapat konfirmasi langsung dari Kiai Said.
Yang hampir pasti, Muktamar NU di Lampung pasti akan berjalan. Panitia muktamar juga sudah siap menggelar perhelatan itu. Setelah gegeran, Konferensi Besar NU memutuskan Muktamar tetap berlangsung 23-25 Desember 2022.
“Saya tentu taat dengan perintah Rais Aam. Tapi akan lebih baik kalau memajukan muktamar ini juga disepakati Ketum PBNU,” kata Ketua Steering Commitee Muktamar, Prof Dr Muhammad Nuh.
Muktamar Lampung menjadi menarik karena menentukan arah perjuangan NU jelang seabad. Di luar dinamika yang mewarnainya, inilah muktamar yang akan menentukan wajah Ormas Islam terbesar itu ke depan.
Akankah NU hanya menjadi seperti sekarang atau semakin menancapkan pengaruhnya lebih luas? Akankah NU melahirkan peradaban baru di dunia seperti saat ia menjadi tonggak lahirnya Indonesia ketika didirikan?
Bagi NU, dinamika internal kepemimpinan seperti menjelang Muktamar NU Lampung ini sudah biasa. Tidak pernah lahir NU Perjuangan. Bahkan, kekuasaan sekuat Presiden Soeharto pun tak berhasil mensponsori lahirnya NU tandingan.
Gus Dur memimpin NU tiga periode karena ormas berbasis pesantren ini butuh nakhoda yang siap menghadapi badai besar. Badai yang diciptakan Presiden Soeharto yang tak menginginkan NU pegang kendali pengaruhnya.
Sekarang NU tak ada lagi masalah dengan pemerintahan. Yang diperlukan justru sosok yang berpikir besar. Yang bisa menyiapkan warga Nahdliyin memiliki kiprah global. Tidak hanya mempertahankan nilai-nilai ke-NU-an ke dalam.
Diperlukan sosok yang bisa berpikir strategis bagi masa depan NU di tengah perubahan. Sosok yang bisa mengekspor gagasan-gagasan ke-NU-an ke penjuru dunia. Khususnya gagasan keagamaan yang mengedepankan Islam damai: Islam rahmah.
Dunia sedang butuh yang seperti ini. Yang selama ini lebih banyak mengenal wajah peradaban Islam dengan wajah kekerasan. Seperti konflik berbalut agama yang mewarnai Timur Tengah. Islamofobia bersumber dari fakta Islam yang terus konflik di wilayah itu.
Sampai sekarang, bangsa yang aktif menjadi pengekspor peradaban ke dunia global adalah Arab Saudi dengan Wahabisme: Islam puritan yang cenderung berbenturan secara keras dengan peradaban lainnya.
Di Indonesia, Islam berkembang secara inklusif dan bisa berdampingan dengan peradaban asli yang berkembang di bumi ini. Nilai-nilai Islam menyatu dan mengisi peradaban yang ada dan melahirkan peradaban baru: Islam yang ramah.
Saatnya model Islam yang berkembang di Indonesia ini diekspor ke ladang yang lebih luas. Ke dunia global. Sebagai bagian dari mengubah persepsi global bahwa Islam tidak identik dengan kekerasan.
Lalu siapa yang bisa mengenalkan model Islam Indonesia ini? NU memiliki peluang menjadi eksportirnya. Secara kelembagaan, ia punya otoritas dan legitimasi untuk mengekspor gagasan ke-Islam-an ke dunia: Justru karena kiprahnya yang ditunjukkan selama ini.