Darurat Kekerasan Seksual Anak
Oleh: Wiwit Sri Arianti
“Ibu, boleh ‘kan nama yang ada di akte kelahiran Lintang nanti nama mama dan papaku?” tanya Kirani sewaktu seorang pekerja sosial dari Kementerian Sosial datang berkunjung di rumah tante Kirani, beberapa hari setelah ia melahirkan.
“Mengapa? Lintang ‘kan putrimu, jadi yang ada di aktenya ya nama—” Belum selesai pekerja sosial itu bicara, Kirani langsung menyahut dengan ekspresi kemarahan.
“Tapi saya tidak mau namanya tertulis di akte kelahiran putri saya!”
Begitulah cuplikan percakapan seorang pekerja sosial dengan Kirani, salah seorang anak korban perkosaan. Ia hamil dan melahirkan seorang bayi perempuan yang diberi nama Lintang. Perkosaan yang dialami oleh Kirani terjadi dalam situasi bencana di Kota Palu, Sulawesi Tengah.
Dalam setiap bencana, baik bencana alam maupun nonalam—seperti konflik sosial, pandemi dan lain-lain—anak dan perempuan yang paling menderita. Mereka menjadi korban berbagai kekerasan. Baik kekerasan fisik, psikis, ataupun seksual; mulai dari pelecehan hingga perkosaan.
Berdasarkan data SIMFONI PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak) dari Kemen PPPA (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), per 1 Januari 2023 hingga 30 Juli 2023, terdapat 14. 746 kasus seperti pada gambar di bawah ini.
Dari kasus tersebut terdapat 16.037 korban, yang terdiri dari 2.885 laki-laki dan hampir lima kali lipatnya adalah korban perempuan.
Sedangkan dari jenis usia, untuk usia anak 0—17 tahun lebih (kurang dari 18 tahun) sebanyak 9.982 anak dan sisanya sebanyak 6.055 korban berusia 18 hingga di atas 60 tahun.
Selain dalam situasi bencana, anak-anak juga menjadi korban kekerasan di lingkungan belajar, sekolah, dan pesantren. Berdasarkan data Simfoni PPA, 12 September 2022, terdapat 541 kasus kekerasan yang terjadi di sekolah. Kasus kekerasan tersebut dapat meninggalkan trauma bagi para korban. Bahkan ada yang berakibat fatal hingga meninggal.
Belum lama ini, terdapat beberapa kasus kekerasan seksual pada anak yang menyita perhatian publik dan media. Antara lain yang terjadi di Pondok Gontor. Kekerasan dialami anak santri yang dilakukan oleh kakak kelasnya, hingga berujung pada kematian. Juga kasus kekerasan seksual santriwati di Pondok Pesantren Shiddiqiyah, Jombang oleh anak kyai sekaligus pemilik pondok.
Menurut Retno Listyarti, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam keterangan tertulis, Sabtu (23/07/2022) tentang kekerasan seksual, dari Januari—Juli tercatat 12 kasus kekerasan seksual terjadi di tiga (25 persen) sekolah dalam wilayah kewenangan Kemendikbudristek dan sembilan (75 persen) satuan pendidikan di bawah kewenangan Kementerian Agama.
Dari catatan tersebut, terungkap fakta bahwa 69 persen kekerasan seksual terjadi pada anak perempuan (36 anak) dan 31 persen pada anak laki-laki (16 anak). Retno mencatat, total pelaku berjumlah 15 orang dengan rincian 12 guru (80 persen), seorang pemilik pesantren (6,67 persen), seorang anak pemilik pesantren (6,67 persen), dan seorang kakak kelas korban (6,67 persen).
Mencermati dari kasus tersebut, lembaga maupun individu yang seharusnya melindungi anak-anak justru menjadi pelaku kekerasan pada anak. Ini situasi yang sangat mengerikan, seperti tidak ada lagi tempat yang aman buat anak-anak menjalani kehidupan dan pengembangan dirinya. Situasi tersebut sudah mengindikasikan adanya darurat kekerasan seksual pada anak sehingga tidak ada lagi kata esok untuk urusan anak. Jangan sampai penundaan dapat memperparah situasi anak yang menjadi korban.
Berbagai upaya memang sudah dilakukan oleh pemerintah dengan terbitnya berbagai peraturan daerah dan perundang-undangan. Antara lain, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan yang terbaru Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Berdasarkan hasil diskusi para aktivis perlindungan anak, beberapa tindakan yang perlu dilakukan adalah:
1. Mengenali potensi resiko kekerasan pada anak.
2. Melakukan upaya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan pada anak dengan mengedepankan kepentingan terbaik anak.
3. Mempersiapkan anak-anak sejak dini, mulai dari tubuhku adalah milikku dan bagian tubuh mana yang boleh dan tidak boleh disentuh oleh orang lain.
4. Pentingnya penyebarluasan pengetahuan manajemen kasus dan manajemen rujukan secara umum agar terhindar dari penanganan yang salah sejak awal.
5. Pentingnya panduan manajemen krisis penanganan korban kekerasan seksual agar anak tidak menjadi korban berlapis karena penanganan yang salah.
6. Peningkatan kapasitas aparat penegak hukum tentang perlindungan anak dan bentuk-bentuk kekerasan pada anak. Diharapkan mereka memiliki komitmen dan berpihak pada anak sehingga dapat memutus sidang perkara kekerasan pada anak dengan hukuman seberat-beratnya pada pelaku, untuk efek jera.
7. Membangun jaringan dengan pihak-pihak yang bersinggungan dengan anak sehingga proses pencegahan dan penanganan kasus kekerasan anak menjadi lebih efektif.
Kemudian, akan timbul pertanyaan baru: apakah kalau semua tindakan tersebut dilakukan, tidak akan ada lagi anak korban kekerasan? Memang tidak ada yang dapat menjamin. Semua itu adalah upaya pencegahan. [Ed-WE]