Dari Politik Uang ke Politik Gagasan
Dahulu para tokoh pejuang bangsa kita, terjun ke dunia politik hanya membawa gagasan dan ide tentang kebaikan serta kemajuan bangsanya. Maka lahirlah Hatta, Tan Malaka, Sutan Sjahrir, M.Natsir, Kasman Singodimedjo hingga Soekarno. Namun seiring waktu, sosok legendaris itu hanya tinggal kenangan. Lalu masuk zaman Orde Baru, yang bertahan di atas sistem politik otoritarian. Para elit pun gerah, lalu mendamba zaman keterbukaan.
Pada 1998 adalah babakan baru dalam Sejarah Politik Indonesia Modern (SPIM), namun faktanya justru kembali ke zaman batu. Banyak orang menyebut babakan itu sebagai Era Reformasi, namun belakangan era itu berubah menjadi Era Repot Nasi (Erenas).
Gerakan reformasi memang berhasil menjebol tertib hukum dan politik Orde Baru yang otoritarian ke Tertib hukum dan politik Demokrasi yang penuh keterbukaan. Itu semangatnya. Namun faktanya, dunia politik kita justru jatuh ke titik nadir menjadi politik urakan, khas orang orang jalanan yang tak mengenal etos kenegaraan dan etika peradaban.
Buktinya, orang pintar dan terdidik yang mengerti beda benar dan salah justru berderet deret menjadi perampok uang pembangunan. Padahal sedianya uang itu untuk membangun rakyat kecil agar mereka pintar dan tahu apa bedanya benar dan salah dalam kehidupan.
Dana pendidikan dicuri, dana bantuan sosial dicopet, dana proyek dimark-up, hingga dana cetak alquran di tilepnya pula. Negeri ini betul betul tidak punya rasa takut. Meminjam istilah Profesor Salim Said, "Bangsa ini tidak merasa terancam, tidak ada yang ditakuti, padahal saat mau menjabat mereka disumpah; oleh karena itu tidak akan ada ada kemajuan, karena Tuhan pun mereka tidak takut".
Sedangkan Gus Dur menyindirnya dengan guyonan, "Orang Indonesia itu apa yang direncanakan, beda dengan apa yang dilaksanakan." Nah, itulah Indonesia kita.
Putar Arah Sekarang Juga
Dalam dunia politik hari ini, silakan cek di mana-mana --- orang terjun ke dunia politik itu cukup membawa sekarung uang, lalu dia hamburkan untuk menyuap rakyat, lantas jadilah pejabat. Dari uang, suap, pejabat. Pejabat, uang, suap. Suap, uang, pejabat. Kalau itu diputar-putar terus, maka pejabat hanya akan cari uang suap. Intinya uang menjadi tuhan kecil para pejabat.
Hasilnya pejabat yang dihasilkan adalah kelas mental mediocre, tamak, takut hilang jabatan, saling sikut, gaya kodok menjilati ke atasan menginjak bawahan. Gemetar kalau ada koruptor ditangkap, kelu lidahnya bicara kebenaran dan keadilan dan sembunyi jika ada pembicaraaan soal penegakan hukum.
Oleh karena itu, ada baiknya jika pejabat yang seperti itu segera dimakan Covid 19 saja. Mereka hanya menjadi beban saja bagi rakyat. Bisanya cuma memperbanyak hutang, namun gaji mereka tak mau diturunkan. Kondisi seperti ini tidak bisa dibiarkan. Sebab segala langkah yang dilakukan hanya melahirkan paradoks-paradoks yang menggelikan. Ia tetap tidak memenuhi prasyarat untuk ditertawakan.
Nampaknya kita harus segera putar arah, dari kehidupan politik yang serba uang itu ke Politik serba gagasan. Sebab dari gagasanlah uang akan mudah tercipta. Dari gagasan besar bangsa ini bisa dibangun dengan kekuatan sendiri menjadi lebih beradab. Tanpa harus membungkuk-bungkuk dan menjilat kepada siapapun, kepada negara manapun. Kita harus mulai tegak berdiri terhormat sebagai bangsa yang berdaulat. Bangsa yang mengerahkan seluruh pikiran dan kreativitasnya untuk kemajuan bangsanya.
Bangsa yang memiliki karakter yang kuat untuk bicara benar itu benar dan salah itu salah. Tak peduli dia anggota keluarganya sendiri. Indonesia dengan muslim terbesar di dunia mesti meniru jejak-jejak kenabian Muhammad Rasulullah. "Jika anakku Fatimah ditemukan mencuri, maka aku sendiri yang akan memotong tangannya"
Bukan hanya di bibir bicara Al-Quran, tapi realita kehidupan bicara kemunafikan. Bukan saat disumpah mengingat Allah, namun setelah menjabat menjadi budak-budak setan. Pikiran ini tentu bukan pikiran radikal, namun sejatinya begitulah orang beriman mencari acuan nilai-nilai baik dalam kehidupan.
Sebab semua yang dilakukan pada akhirnya kelak akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah kelak. Kok ajak ini masih kita imani sebagai muslim maka acuannya adakah ketentuan-ketentuan Allah dan hukum-hukum kausalitasnya. Bukan mengikuti hukum hukum manusia yang tidak percaya pada Tuhan atau kaum Komunis.
Kaum komunis bukan sahabat yang tepat bagi manusia Indonesia yang dalam dirinya Berketuhanan Yang Maha Esa. Kalau Tuhan saja mereka tipu, apalagi ciptaannya. Kita sebagai bangsa jangan sampai salah dalam mencari sahabat dalam hidup ini. Sebab ini hal yang sangat penting dalam kehidupan. Seperti kata para ahli hikmah, "Siapa sejatinya dirimu, lihatlah dengan siapa kamu berteman dan bersahabat".
Sedemikian pentingnya makna kehadiran sahabat bagi hidup kita, maka orang-orang seperti Emha Ainun Nadjib, sering mendendangkan lagu pentingnya kita berkumpul dengan orang sholeh dan tidak berkumpul dengan orang salah. Apalagi menjadi pesuruh orang-orang bodoh. Sebab pertemanan dan persahabatan itu akan memberikan pengaruh yang kuat pada pikir an, sikap, dan langkah-langkah kita sebagai manusia.
Islam menganjurkan umatnya agar berkumpul dengan orang-orang sholeh. Agar pikirannya memancarkan aura kejernihan dan ilmu pengetahuan yang mencerahkan. Bukan terlibat pada perdebatan topik gagasan yang menyesatkan.
Orang bodoh hanya akan memancarkan kedunguan, kelicikan dan kepura-puraan. Juga menebar kebingunan dan rasa kesal serta putus asa. Padahal Islam mengajarkan kepada kita agar jangan berputus asa.
Seperti anjuran Allah Swt dalam Al-Quran Surat Az-Zumar: 53, "Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Banyak ayat-ayat lain agar kita tidak jatuh pada keputusasaan karena bergaul dengan kebodohan. Orang bodoh bersahabat dengan orang yang beruang, sedang orang cerdas bersahabat dengan orang pandai nan mencerahkan. Orang pandai nan sholeh mampu meletakkan uang dalam hakikatnya sebagai alat tukar, namun orang bodoh justru menjadikan uang sebagai tuhan kecil nya. Tuhan yang seharusnya ia sembah hanya menjadi Tuhan formalitas dalam KTP atau identitas lainnya.
Pada yang demikian itu, sejatinya Tuhan sudah mereka gantikan dengan uang dan kemewahan. Dari situ kita semua bisa mengerti mengapa banyak orang mendekat pada kekuasaan, seperti kerumunan ahli sihir di sekitar Fir'aun saat berkuasa. Bagaimana dengan anda? Wallahu a'lam!
Fathorrahman Fadli
(Direktur Eksekutif Indonesia Development Research/IDR, Dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Pamulang)