Dari Najib Azca Hingga Firdaus Syam
Lembut mengalun suara musik itu; pelan perlahan mengisi bathinku yang diam. Tak kusangka, musik yang hanya lewat petikan gitar akustik itu merambat masuk, menyentuh kesadaran baruku. Asyiik sekali rasanya. So?
Aku nikmati saja musik-musik facebooker itu sambil mengunyah kurma yang dibeli via online. Irama musik itu menyatu dengan lirik-lirik lagu karya Budayawan Top, Erros Jarot. Atau juga Ebiet G Ade yang legendaris itu. Kadang juga karya Bimbo yang bikin bulu kuduk merinding haru.
Dan, yang istimewa lagi karena musik itu mengalun di bawah potret pejuang besar bangsa India -- Mahatma Gandhi. Sosok yang belum pernah menjadi Presiden India itu terbilang unik, namun karya-karya sosial politiknya mampu membakar rakyat India hingga kini.
Saya tidak tahu pasti apa alasannya bangsa india begitu mendewakannya. Yang jelas fakta dialah satu-satunya.manusia India yang mendapat gelar, The Father of India. Tentu ini gelar yang mewah dalam sejarah besar bangsa India yang produktivitas film-filmnya mengalahkan Hollywood itu.
Tulisan ini tidak hendak bercerita soal Gandhi, tapi saya bicara soal Najib: Iya Najib Azca. Dialah orang yang memainkan musik-musik berkelas itu di bawah potret The Father of India itu. Saya juga tak tahu pasti, mengapa sosok manusia India itu bertengger di rumahnya yang asri itu.
Mungkin suatu saat saya akan bertanya padanya, mengapa bukan Soekarno atau Agus Salim, atau Hatta, atau bahkan Tan Malaka. Hanya dia yang bisa menjawab dengan pasti. Mengapa musik-musik yang dia lantunkan saat lockdown itu di bawah Mahatma Gandhi.
Lepas dari itu semua, ternyata banyak cara orang-orang pintar sekaliber Najib Azca membunuh waktunya saat stay at home. Ia memilih bermusik. Sebab membaca buku adalah hari-harinya. Bagiku, itu pilihan yang sangat eksotik sekaligus artistik. Karya-karyanya bisa anda nikmati dalam FB.nya Najib Azca.
Orang-orang pintar kerap membunuh waktunya dengan musik; entah mendengarkan atau memainkannya. Sebagaimana Gus Dur yang sangat gemar musik Bethooven sebagai teman saat dia menulis. Juga Gus Sholah (Salahudin Wahid) kadang memetik gitar mendendangkan lagu barat untuk mengisi waktu.
Saya tidak tahu, lagu apa yang disukai Muhammad Arkoun atau Hassan Hanafi. Apalagi Lyotard atau Bodrillad serta sederet tokoh post-modernisme yang lain. Lebih tidak tahu lagi, musik apa saja yang digemari para imam besar macam Bukhari, Muslim, Syafi'i, Hambali, hingga Hanafi.
Memainkan Musik
Kembali pada Najib Azca, sosok pintar yang pernah aku temui dalam Konferensi Aktivis Pers Mahasiswa se-Indonesia di Universitas Brawijaya dulu. Seingatku kira-kira di saat saya memimpin majalah Kampus, SPIRIT sekitar 1994 atau 1995. Saya ikut menghadirinya.
Belakangan smart people itu dikabarkan menjadi wartawan politik di tabloid detik. Setelah itu aku tak tahu lagi hingga musik-musiknya menyentuhku bersama Mahatma Gandhi.
Rabu 29 April 2020 pagi, ponselku berdering, ada message masuk. Kubuka ternyata, Doktor Firdaus Syam, dosen pascasarjana Universitas Nasional. “Like and subscribe ya Dinda,” bunyinya.
Doktor Firdaus adalah senior yang baik hati, yang kerap mendorongku agar segera ambil program doktor. Tapi pagi itu dia mengirimkan musik. Bukan musik biasa, tapi musik yang ia mainkan sendiri. Gila, begitu lincah dia memainkan jari-jemarinya di atas tuts-tuts piano.
Lagu "Yesterday" karya Grup musik The Beatles ia lantunkan dengan sempurna. Bukan hanya piona, Ilmuwan politik yang anak tentara ini juga piawai memainkan gitar, sama seperti Najib memetiknya. Khusuk laksana gitaris top dunia macam Eddie Van Halen atau Jimi Hendrix. Ah....mungkin saya terlalu memujinya. Sejatinya bukan memuji, namun mungkin lebih karena iri. Mengapa saya tak bisa?
Lihat saja bagaimana aksi Firdaus Syam memperlakukan gitar itu. Ia berlagak seperti musisi profesional papan atas. Baik Firdaus maupun Najib adalah manusia yang terbilang manusia yang istimewa. Mereka tajam otaknya, juga tajam mata batinnya. Tidak banyak intelektual yang oleh Tuhan diberikan dua kemampuan itu sekaligus.
Saya bermimpi suatu saat kelak saya diberi kemampuan untuk ikut membuat konser musik yang diisi oleh para intelektual Indonesia dari berbagai kampus di tanah air. Hingga dunia sadar bahwa intelektual Indonesia itu bukan hanya hebat otaknya, namun juga basah mata batinnya.
Fathorrahman Fadli
(Direktur Eksekutif Indonesia Development Research/IDR, Dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Pamulang)
Advertisement