Dari Ikon Pancasila, Pindah Ibu Kota, Hingga Gejolak Papua
Oleh: Erros Djarot
Banyak peristiwa di bulan Agustus 2019 yang perlu kita jadikan bahan perenungan bersama. Umur Indonesia yang bertambah tua, 74 tahun, seperti juga manusia, ia bisa bertambah matang dan bijak, tapi bisa juga sebaliknya, pikun dan kembali menjadi kekanak-kanakan. Harapan tentu saja bertambah umur bertambah matang dan bijak. Dengan kata lain, dengan umurnya yang sekarang, seharusnya seseorang telah fasih dan lancar menjawab pertanyaan; mengapa, bagaimana, dan untuk apa hidup dalam kehidupan ini.
Dalam konteks Indonesia, tentunya pertanyaan di atas kaitannya adalah dalam kedudukan sebagai bangsa dan negara. Bersyukur kita, bahwa jawaban itu telah lama tersedia. Para pendiri bangsa, Bung Karno dan kawan-kawan telah menetapkan nilai-nilai dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila ditetapkan oleh mereka sebagai Pandangan hidup (welt anschaung) nya bangsa Indonesia. Pancasila pun menjadi Dasar Negara.
Sebagai Dasar Negara ia sangat perlu ditempatkan dalam kedudukan yang paling terhormat dan paling tinggi sebagai tata nilai maupun tata hukum yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karenanya, mereduksi Pancasila sebagai Dasar (fundamen) menjadi Pilar, merupakan perbuatan yang keliru dan menyesatkan. Jangan salahkan bila ada kelompok yang berupaya menggantikan Dasar Negara dengan paham yang lain karena Pancasila sudah menjadi PILAR bukan lagi DASAR NEGARA. Bersyukur Mahkamah Konstitusi telah melakukan koreksi yang mengembalikan pemahaman tentang kedudukan Pancasila sebagai Dasar Negara
Yang memprihatinkan, kekeliruan ini tetap saja dipertahankan. Bahkan berbuntut dengan lahirnya keputusan negara yang mengangkat 74 Ikon Apresiasi Prestasi Pancasila 2019. Nama-nama para cendikia, profesional, abdi negara, seniman dan budayawan, dinobatkan sebagai ikon dimaksud. Pilihan terhadap figur yang dijadikan ikon, mayoritas memang layak diperhitungkan.
Hanya yang menjadi pertanyaan, dengan menetapkan nama-nama tersebut sebagai Ikon Apresiasi Prestasi Pancasila, lalu Pancasila itu sendiri sebagai apa? Apa pemahaman dan kedudukan Pancasila di mata dan pikiran para pimpinan institusi negara yang melakukan hal itu? Bagaimana jadinya Pancasila ketika salah satu saja ikon prestasi Pancasila ini, menorehkan prestasi atau tepatnya perilaku yang kurang baik?
Di negeri yang telah mencapai umurnya yang ke 74, ternyata masih saja idiom yang mengatakan..."yang penting dan menjadi ‘wah’ bukan karena lagunya, tapi siapa yang menyanyikannya (not the song, but the singer)". Karena yang menyanyikan ‘lagu’ Pancasila menjadi Pilar adalah seseorang yang berkedudukan tinggi, berkuasa, dan sangat berpengaruh di sebuah komunitas besar di negeri ini, maka semua berusaha ikut menyanyikan ‘lagu’ tersebut dengan nikmat.
Hal yang sama terjadi terhadap ‘lagu’ 74 Ikon Apresiasi Prestasi Pancasila 2019. Kehadirannya disambut meriah sebagai salah satu peristiwa yang signifikan dalam agenda negara merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia yang ke 74 tahun. Semua menyambut, tak ada masalah, dan berjalan lancar tanpa hambatan. Sekali pun ‘lagu’nya cukup fals! Tapi karena penyanyinya sangat tenar dan berwibawa, yang fals pun menjadi nikmat di telinga mereka yang menganggap...we are already in the right track!
Beruntung rakyat, Tuhan tidak tidur dan masih cinta Indonesia. Apa yang saya khawatirkan dan gelisahkan terjadi. Seorang penerima gelar ‘Ikon’ prestasi Pancasila, seorang sineas muda yang namanya mendadak melejit karena dilekatkan dengan Holywood dan lembaga Oscar, Livi Zheng, mendapat sorotan tajam yang sangat tidak sedap untuk dibaca. Bagi yang ingin mengetahui lebih jauh, silahkan klik...https://tirto.id/sisi-gelap-surga-Livi-Zheng-koneksi-bisnis-bapaknya-d—kemayoran-eg3Y
Dengan adanya tulisan yang sangat mencoreng wajah Ikon Pancasila ini, lembaga pemberi gelar wajib membela Livi Zheng atau menuntut pengunggah berita buruk tersebut. Untuk membuktikan lembaga pemberi gelar tidak asal ‘nyanyi’ lagu fals sekalipun. Hanya karena di lembaga tersebut ada ‘seorang penyanyi’ tenar yang sangat dihormati khalayak. Saya yakin ‘sang penyanyi’ dimaksud, hanya digunakan oleh segelintir pengurus lembaga yang kurang kerjaan dan kerjanya iseng alias miskin inovasi dan kreativitas.
Rentetan peristiwa lain yang sengaja dihadirkan oleh Sang Pencipta sebagai peringatan adalah terjadinya gejolak di Papua dan Papua Barat. Gerakan yang digelar dengan semangat separatisme ini sempat juga menyambar Aceh dan Maluku. Bayangkan saja, berawal dari peristiwa yang secara ukuran fisik sangat kecil, membawa dampak letupan yang sangat dahsyat. Kata ‘monyet’ yang sempat terlontar dari seorang oknum aparat yang cekcok dengan sejumlah mahasiswa asal Papua di Jawa Timur, mendadak merebak menjadi kata ‘ikon’ dan simbol perlawanan, gerakan Papua Merdeka.
Herannya peristiwa yang mencekam ini terjadi saat para elite sibuk mempersoalkan persiapan pindahnya Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Dengan sangat percaya diri Presiden Jokowi menetapkan Kalimantan Timur, Samarinda-Balikpapan, sebagai Ibu Kota baru menggantikan DKI Jakarta. Maka pindah ibu kota pun menjadi ‘lagu’ yang perlu didengar dan harus dinyatakan sebagai lagu yang indah oleh seluruh rakyat. Karena penyanyinya adalah pujaan dan orang paling kuat di negeri ini.
Padahal bila lebih dalam direnungkan, begitu urgen-kah perpindahan cepat ini? Untuk menjawabnya, sepanjang apa pun akan terasa mengawang ketika dihadapkan pada realita. Seperti krisis ekonomi dunia yang sudah berada di depan pintu, merupakan hal yang bersifat sangat urgen dan yang tak mungkin konsentrasi terhadap hal ini disita waktunya untuk perdebatan pindah ibu kota.
Ditambah lagi persiapan dan kesiapan yang begitu rentan masalah. Dipicu oleh pencanangan pindah ibu kota yang sudah harus terlaksana pada 2024. Maka kerja pun dipastikan akan seperti sopir angkot ngejar setoran. Ngebut dan rawan kecelakaan. Belum lagi menyoal payung hukum, persetujuan DPR-MPR berikut kesepakatan aturan main, bujet, persiapan perpindahan SDM, dan masalah sosial kultural yang bakal menjadi masalah paling krusial.
Persoalan ekstra adalah; apakah presiden terpilih pada 2024 bersedia melanjutkan gagasan dan kerja raksasa ini? Pasalnya kerja raksasa ini tanpa keterlibatan mereka dalam perencanaan dan penetapan tempat dan waktu pelaksanaan? Mungkinkah terancam mangkrak? Bisa jadi. Celakanya menyoal masalah ini, akan langsung dicap sebagai kaum oposisi. Bahkan mengusulkan untuk lebih melakukan persiapan matang, dikategorikan tidak setuju dan sebagi upaya menggagalkan perencanaan. Sehingga banyak yang nggrundel di belakang dan memuji-muji di depan.
Nah, ternyata sang Pencipta mempunyai cara sendiri untuk memberi jawaban menggugah bangsa ini dalam memaknai kata ‘ambeg parama arta’. Kata bijak dalam bahasa Jawa ini merupakan upaya orang Jawa mengajarkan pentingnya melakukan skala prioritas dalam bekerja. Letupan yang terjadi di Papua dan Papua Barat saya yakini sebagai lonceng peringatan dari atas bahwa masalah kesejahteraan rakyat dan keadilan masih perlu perhatian sangat serius yang menempati prioritas paling atas..
Ditambah lagi dengan masalah kedaulatan pangan, masalah pendidikan, kesehatan, masalah persatuan bangsa, ancaman terhadap upaya menggantikan Pancasila sebagai Dasar Negara, menuntaskan revolusi birokrasi, dan lain-lain, masih begitu banyak PR yang belum selesai. Sehingga pindahnya ibu kota yang memang sudah merupakan kebutuhan, belum tepat untuk menempati prioritas yang bersifat mendesak.
Sudah saatnya tapi belum waktunya. Atau sudah waktunya tapi belum saatnya. Dua kalimat yang dibolak balik melahirkan pemahaman yang sama inilah kata yang paling tepat dalam mendudukkan masalah perpindahan Ibu kota. Dengan begitu banyak masalah yang agaknya lebih layak ditampilkan sebagain prioritas utama, pelaksanaan perpindahan Ibu kota masih bisa dipikir ulang sebagai hal yang belum bersifat mendesak.
Dengan berbagai pertimbangan dan kajian ulang, maka dalam 10-15 tahun mendatang perpindahan Ibukota sangat layak ditingkatkan sebagai yang bersifat urgen-mendesak, dan harus! Kecuali ada suatu legacy yang harus dibangun sebelum 2024!
Kalau itu masalahnya, aku gak melok-melok rek! Gak ikut-ikutan ah! Karena Ibukota bukan milik seseorang, maupun kelompok, atau pun golongan!
‘Apa yang kau cari Palupi?’ adalah sebuah judul film yang pas untuk diangkat sebagai sebuah pertanyaan mendasar!
*Tulisan ini kami kutip sepenuhnya dari Watyutink.com.