Dari Diplomasi Pinang Hingga Rokok, Pendekatan Persuasif Warga
Banyak cerita dari pelaksanaan Trans Papua di Provinsi Papua Barat. Mulai dari pilu kisah menahan rindu mereka yang terpisah jauh dengan keluarga dalam waktu lama hingga mengandalkan trik spontan saat menemui kendala di lapangan.
Termasuk ketika harus melakukan pendekatan kepada warga asli yang notabene sebelum Trans Papua menembus daerah pedalaman, jarang bersinggungan dengan orang di luar komunitasnya.
Pendekatan melalui pinang dan rokok merupakan salah satu senjata ampuh ketika menemui kendala. Bagi masyarakat asli Papua, tradisi pinang memang masih mengakar kuat.
Di daerah yang sudah berkembang pesat seperti Kabupaten Manokwari yang jadi ibukota Provinsi Papua Barat, masih banyak dijumpai pondok-pondok yang menjual pinang dan berbagai pelengkapnya. Di kantor Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) XVII Manokwari pun, masih banyak pegawai yang terlihat mengunyah pinang. Sedangkan rokok, hanya jadi pengganti ketika bosan atau persediaan pinang di noken sudah habis.
Tradisi ini yang tak luput dari pengamatan Stanza SW, salah satu mitra kerja BPJN XVII Manokwari yang mengerjakan paket pembangunan Jembatan Gunung Pasir I Trans Papua Segmen I.
Dia mengakui, diplomasi pinang dan rokok rata-rata cukup berhasil meredam kendala non teknis yang muncul dari penolakan warga. Cara itu ampuh mengeliminir persoalan di lapangan. Apalagi untuk urusan non teknis ini, tidak masuk dalam anggaran pembiayaan Trans Papua.
“Hampir 100 persen berhasil. Sambil membicarakan solusi bersama dengan tokoh masyarakat, makan pinang merupakan cara efektif melakukan pendekatan persuasif. Saya pun kalau ke lapangan harus siap pinang dan rokok. Mungkin sama dengan tradisi kalau di Jawa nongkrong bersama ditemani kopi dan rokok,” terang pria yang baru menginjakkan kaki di pulau berjuluk Bumi Cendrawasih ini pada pertengahan 2016.
Karena itu, Stanza sempat mengingatkan ngopibareng.id untuk belajar makan pinang. Apalagi jika berniat tinggal lama dan kerap di pedalaman Papua.
“Saya awalnya juga risih tapi setiap bertemu dengan masyarakat lokal pasti ditawari pinang. Lama-lama saya beranikan mencoba diselingi rokok. Tujuannya kan untuk lebih mencairkan suasana agar proyek ini bisa berjalan lancar dan tidak ada lagi penolakan dari warga. Kalau Trans Papua cepat tuntas dan bisa fungsional, masyarakat setempat juga yang bisa merasakan dampak positifnya,” sambungnya ketika mendampingi memantau penanganan proyek di Gunung Pasir.
Penolakan pembangunan memang kerap dihadapi Stanza. Berbagai pelosok Tanah Air sudah pernah dijelajahi. Namun untuk Papua, memang baru kali ini dia merasakan. Satu kesan yang mendalam, masyarakat asli Papua khususnya yang ada di pedalaman, butuh pendekatan khusus yang memerlukan keberanian, inovasi sekaligus humanis. Bagaimanapun juga, keterlibatan dalam komunikasi sebagai orang lapangan selama ini membuka mata hatinya jika mereka sebenarnya baik hati.
Hal ini juga diakui Nurul Hidayanto, mitra kerja BPJN XVII Manokwari yang menangani dua paket Trans Papua Segmen II ruas Maruni-Oransbari dan Oransbari-Ransiki. Lahir dan besar di pemukiman transmigran dekat Oransbari, membuatnya sedikit banyak sudah memahami karakter dan sifat warga asli.
“Hambatan non teknis biasanya terkait hak ulayat. Kita kumpul bersama cari solusinya. Di momen itu baru kita jelaskan jika proyek ini untuk kepentingan bersama dan generasi masa depan Papua. Saya beruntung lahir dan besar di sini sehingga banyak tahu tokoh-tokoh masyarakatnya,” katanya.
Trans Papua memang sebuah agenda yang butuh kebersamaan dalam menanganinya. Pemerintah tidak bisa mengabaikan rakyatnya begitu saja demi pembangunan infrastruktur yang akan membentang dari Merauke sampai ke Sorong.
Di sisi lain, masyarakat juga harus menyadari bahwa proyek ini merupakan gerbang menuju percepatan kesetaraan dengan provinsi-provinsi lain. (gem)
Advertisement