Dari Arena World Press Freedom Day di Palembang, 2-3 Mei 2024
Oleh: Profesor Masduki
Spanduk 'No Tech for Israel Apartheid' 'Google drop project Nimbus' menjadi pusat perhatian, bersama poster lain yang muncul mengejutkan di tengah acara konferensi regional/summit fact-checking di the Zury Hotel Palembang, Kamis 2 Mei kemaren. Para aktivis pembawa poster adalah jurnalis anggota AJI yang berkumpul menyambut peringatan hari kebebasan pers se-dunia, 3 Mei 2024.
Spanduk ini dan puluhan spanduk lain dengan nada yang sama (lihat foto di sini) mengirim pesan baru yang kini mengemuka, terkait kebebasan berekspressi yang terancam, yang datang justru dari platform digital.
Politisasi platform atau orientasi politik praktis owner platform (dalam hal ini) Google kepada Israel telah memakan korban: PHK karyawan yang kritis, disusul surveillance pada akun-akun yang kritis kepada sikap Google ini.
Selamat datang digital authoritarianism, yang artinya tak semata menyangkut peningkatan represi digital terhadap jurnalis dan aktivis sosial saat berkicau di twitter, fb. dll, tetapi aksi partisanship dari raksasa platform global, melanjutkan eksploitasi netizen sebagai digital labour yang merusak ekosistem digital sebagai ruang publik yang egaliter-humanis.
Saya ikut merasakan langsung kegelisahan atas situasi ini selama tiga hari terakhir bergabung dengan 300 lebih jurnalis, para influencer, dan aktivis pro-demokrasi dari Indonesia, Filipina, Malaysia, Thailand, Cambodia dalam acara Indonesia fact-checking summit 2024 dilanjutkan press freedom conference yang didukung Unesco. Dari kota Pempek, kami sepakat telah terjadi 'kematian demokrasi' di ruang digital.
'Otokritik' perlu terus disuarakan, misalnya ketika kegiatan jurnalistik di Indonesia makin di kendalikan oleh platform digital dalam satu dekade ini, apakah kualitas informasi kita membaik atau memburuk? Informasi yang sehat adalah oksigen demokrasi.
Indeks kebebasan pers menurun justru ketika ruang digital makin membuka akses bagi siapapun mendirikan media. Lalu apa yang bisa/perlu kita lakukan sebagai warga digital?
*) Penulis adalah Guru Besar Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
Advertisement