Dari Aktor dan Eksekutif, Kini Wally Mohammad Juga Jadi Barista
Berkembang pesatnya perkopian di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir melahirkan orang-orang yang tekun menenggelamkan diri ke dalam kopi. Baik sebagai pengusaha kecil-kecilan maupun besar, pengamat sekaligus pakar, barista, atau hanya sekadar sebagai coffee lovers. Wally Mohammad adalah salah satunya.
Disamping bekerja secara profesional sebagai salah satu pimpinan di Japfa Group, dia kini juga menjadi ‘orang kopi’ yang lengkap. Disebut lengkap karena dia sekaligus sebagai penikmat, pengamat, barista atau peracik, dan terakhir bersama putri tunggalnya Renna Nadhila membuka Metropole Coffee, sebuah kafe bergengsi di Kemanggisan, Jakarta.
Sebagai teman lama saya tidak menduga dia kini menjadi ‘orang kopi’. Dia bisa mempetakan daerah-daerah mana saja di Jawa Timur yang bagus untuk menanam kopi, sekaligus menjelaskan dengan rinci bagaimana cara menanamnya. Yang paling penting agar kwalitas kopi berada di level atas, katanya, adalah bagaimana memperlakukan kopi pasca panen.
“Pasca panen adalah saat paling penting dari keseluruhan proses kopi, dari mulai menanam hingga kopi dituang ke cangkir untuk kemudian kita minum,” kata Wally Mohammad, di rumahnya di blok Paris, Bukit Mas Surabaya, kemarin siang.
“Kelemahan Indonesia ada pada pasca panen itu. Untuk kopi jenis Robusta, Indonesia sebenarnya berada di urutan pertama. Robusta lho ya, bukan Arabica. Tetapi karena proses pasca panennya salah, posisi kita turun di bawah Vietnam yang menempati urutan pertama. Kalau petani kopi kita bisa melakukan proses pasca panen dengan benar, maka Vietnam dapat kita kalahkan. Tapi umumnya petani kita memprosesnya asal-asalan. Misalnya selesai dipetik langsung dijemur. Setelah dua hari penjemuran dianggap sudah kering, lantas dimasukkan ke dalam karung menungu pedagang datang,” tambahnya.
Seperti itu adalah cara memproses kopi yang sama sekali tidak benar. “Para petani Vietnam meskipun memiliki kopi tidak lebih bagus dibanding Robusta kita, tetapi mereka memprosesnya dengan benar. Maka Robusta Vietnam jadi nomor satu di dunia, kita nomor dua,” jelasnya. Tapi Arabica kita juga istimewa, katanya. Meskipun tidak nomor satu di dunia.
Siang itu saya memang khusus diundang untuk menikmati kopi-kopi koleksinya. “Dua hari lalu saya baru dapat Panama Geisha dari teman saya yang pulang dari Jepang. Ini kopi kelas dunia. Produksinya terbatas. Karena jumlahnya sedikit padahal peminatnya di seluruh dunia sangat banyak, maka bisa dibilang kopi ini jadi rebutan. Dari Jepang saya cuma dapat satu kemasan 50 gram, harganya sekitar Rp 800 ribu,” kata Wally.
“Saya mau Panama Geisha,” saya potong ceritanya. Dia menjawab singkat, okey.
Wally kemudian mengajak masuk ke rumahnya yang terkesan lapang. Ruang tamu menyatu dengan ruang tengah, dan terus tersambung dengan ruang belakang. Dari pintu masuk sudah nampak coffee bar berukuran 3 X 4 meter, lengkap dengan wastafel.
Sebuah mesin espresso, grinder, digital scale atau timbangan digital, berbagai coffee maker dan bermacam alat seduh manual serta beberapa jenis filter, beberapa macam water kettle ditempatkan teratur rapi lagi bersih. Di dinding bergantungan berbagai jenis dan ukuran cangkir. Sedang di meja bar berjajar-jajar canister atau botol khusus untuk menyimpan kopi. Di samping wastafel ada lemari es yang isinya khusus untuk kebutuhan membuat kopi. Sebuah coffe bar yang lebih dari lengkap hadir di ruang belakang rumah Wally Mohammad.
“Pertama akan saya buatkan pesananmu yaitu Panama Geisha dengan seduh porta filter,” katanya sambil menunjukkan kemasan hitam berisi 50 gram kopi asal Panama. Di kemasan tertulis “Panama Esmeralda, Private Collection, Geisha.”
Dia kemudian membuka katup perekatnya, dan menuangkan beberapa butir kopi di piring kecil kemudian menimbangnya. Lantas kopi itu digilingnya dengan grinder kecil. Kemudian menaruhnya di atas coffee maker dan memberinya filter. Dengan hati-hati dia menuang air ke atas filter. Cairan hitam mengucur pelan ke dalam tabung di bawahnya.
Wally sudah berubah jadi barista, dan telah melakukan ritual membuat kopi dengan sempurna. Barista berasal dari bahasa Itali, artinya pelayan bar. Tetapi sekarang lebih dimaknai sebagai seseorang yang pekerjaannya membuat dan menyajikan kopi. Lancar sekali Wally mengerjakannya, hingga menyajikan ke sebuah cangkir kecil ke hadapan saya. Dia juga menuang untuk dirinya.
“Nikmati dulu aromanya. Harum kembang melati. Jangan buru-buru diminum. Kalau aromanya hampir habis, baru diminum pelan-pelan. Cara meminumnya jangan langsung diteguk. Hirup atau sedot kopi dengan mulut, sedikit saja. Maka rasanya akan memenuhi seluruh rongga mulut. Disitulah sensasi menikmati kopi,” petunjuknya sambil memperagakan cara menikmati kopi.
“Menikmati kopi jangan seperti minum air. Begitu gelas menempel di bibir langsung diteguk. Tapi harus dinikmati dulu aromanya, rasanya serta sensasinya. Itulah inti dari kopi,” kata Wally.
“Itu tadi Panama Esmeralda Geisha yang saya seduh dengan filter V60. Sekarang saya buatkan capucino,” kata Wally sambil menyiapkan susu untuk capucino dengan mesin espresso. Tak lama dia menyodorkan secangkir capucino, lengkap dengan gambar bunga warna putih yang terbentuk dari busa di permukaan cangkir. “Cecap busanya pelan, rasanya cukup manis walaupun tadi saya buat tanpa gula. Capucino yang benar itu rasanya manis, bukan pahit,” tambahnya.
“Jangan dihabiskan. Rasakan sedikit saja, sisanya dibuang. Sekarang saya buatkan americano dengan cream,” katanya sambil mengambil ice cream bermerk Jerman dari lemari es.
Selesai americano, langsung dia membuat cold drip, dan terakhir dia menyuguhkan secangkir single shaken espresso. Dalam waktu tak lebih dari dua jam, Wally sudah menghidangkan lima macam varian menu kopi.
Menyaksikan ‘ritual’ dia sebagai barista, saya hampir tidak melihat Wally yang saya kenal sejak 40 tahun yang lalu, saat sama-sama aktif di organisasi kesenian yang bermarkas di komplek Balai Pemuda Surabaya. Dia telah berubah menjadi orang yang sama sekali baru.
“Saya mengenal kopi baru sekitar dua tahun. Belum lama memang. Tapi begitu saya tertarik, saya menekuninya dengan serius. Saya beli peralatan apa saja yang diperlukan. Lantas saya rombak ruang belakang rumah ini jadi coffe bar. Saya belajar tentang kopi. Saya juga mengikuti kelas terbatas untuk belajar jadi barista di Jakarta. Ke manapun saya pergi, pulangnya saya selalu bawa buku-buku tentang kopi. Saya baca semuanya. Kopi benar-benar telah menyihir saya,” kata Wally.
Wally tahun 70an hingga 90an adalah salah satu aktor teater andalan Surabaya, dengan nama artis Wally Sherdil. Bersama beberapa aktor lain seperti Hare Rumemper, Ronny Tripoli, Bawong SN (meninggal 2009) dan Sian Dyhs, Wally menjadi pemain andalan sutradara Akhudiat dari grup teater Bengkel Muda Surabaya.
Grup ini nyaris sudah bermain di kota-kota besar seluruh Indonesia. Bahkan di Jakarta kemudian Wally ikut bergabung dengan Teater Populer, dan menjadi pemain untuk beberapa film yang disutradari Teguh Karya.
“Beberapa waktu lalu saya ke Perth. Di sana saya diberitahu seorang teman, ada kafe yang menyediakan khusus kopi-kopi pilihan. Saya datangi kafe itu. Saya masuk dan duduk, pelayan datang, saya tanya Anda punya Arabica unggulan apa? Dia mengatakan ada, dan menurut dia rasanya paling enak. Oke saya minta dibuatkan single drip v60. Dia tersenyum kemudian berlalu. Saya pingin tahu apa yang akan disajikan,” kata Wally sambil mencuci semua peralatan yang tadi dipakai, kemudian melap semuanya hingga kembali kering.
Saya cuma melihat dan mendengar ceritanya. Saya membayangkan seorang aktor sedang bermonolog di depan saya.
“Sekitar 15 menit kemudian pelayan itu kembali dengan membawa pesanan saya, dalam cangkir kecil yang saya tahu isinya 18 mili. Pelayan yang ramah itu terus saja tersenyum. Anda dari mana, dia bertanya. Saya jawab dari Indonesia. Dia kaget, dan langsung dia berkata, kopi yang saya berikan Anda ini dari negeri Anda, namanya Gayo Aceh. Dia berkata dengan bangga. Saya pun tak kalah bangga,” cerita Wally. Arabica dari Indonesia ternyata juga jadi unggulan di Australia.
Sambil mengembalikan semua peralatan ke tempat asalnya, Wally melanjutkan cerita tentang kopi Gayo. “Kopi Gayo Aceh adalah Arabica paling bagus yang ada di Indonesia. Ada juga lainnya yang bagus seperti Toraja, tetapi menurut saya masih kalah dibanding Gayo. Baru-baru ini Gayo Aceh memenangkan lelang dunia. Nilainya sangat besar, sampai menjadi bahan pembicaraan di kalangan orang kopi dunia. Saat ini Gayo Aceh sedang naik daun di level internasional,” lanjutnya.
Melihat luar biasanya potensi Indonesia, baik untuk kopi jenis Robusta maupun Arabia, Wally mengaku mulai tertarik juga untuk menanamnya. “Dalam waktu dekat saya akan ke Jember untuk mencari informasi lebih detail dan belajar lebih jauh tentang kopi,” tambahnya.
Di Jember ada Indonesian Coffee and Cocoa Research Institute atau Pusat Penelitian Kopi dan kakao Indonesia, yang telah banyak melakukan penelitian tentang kopi dan daerah-daerah penanamannya. “Sekarang ini banyak orang dari luar datang ke Jember untuk belajar tentang kopi. Saya juga akan ke sana. Siapa tahu saya juga akan menanam dan mengembangkan kopi Indonesia,” kata Wally Mohammad. Dia mengatakan itu sambil matanya menerawang jauh menembus pintu depan rumahnya.
Saya berharap Wally Sherdil tidak sedang bermain teater. (m. anis)