Dapur dan WC di Malaysia, Terima Tamu dan Tidur di Indonesia
Namanya Sebatik. Persisnya bernama Pulau Sebatik. Sayup-sayup sering mendengar. Lewat televisi. Kadang koran. Beberapa kali di radio. Kini, cukup sering mendengarnya lewat performa media digital, website, hingga medsos. Pulau nan unik, milik Indonesia. Tapi berbatas langsung dengan Malaysia.
Pulau rawan. Sebatik rawan jadi rebutan. Perebutan yang disengketakan. Disengketakan secara internasional. Karena berbatas langsung oleh dua negara.
Karena rawan itu, Sebatik kini "dijaga ketat". Dijaga dengan banyak jurus. Karena Indonesia seringkali kalah jurus dengan Malaysia. Beberapa pulau hilang dalam sengketa internasional. Indonesia selalu berada di pihak yang kalah.
Terlambat, selalu itu alasannya. Maka kini Sebatik betul-betul digarap. Bermacam acara dihelat di sana. Meramaikan "teras" Indonesia. Crossborder dari Kementerian Pariwisata adalah salah satu jurus garapnya.
Dalam rangkaian crossborder Kemenpar itu, Adella Raung, Asisten Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran I Area II Adella Raung menyempatkan singgah mendalam di Pulau Sebatik.
Secara administratif, Pulau Sebatik masuk dalam wilayah Kecamatan Sebatik. Kecamatan paling timur di Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara.
Kecamatan Sebatik terdiri dari empat desa, masing-masing: Tanjung Karang, Pancang, Sungai Nyamuk Tanjung Aru, dan Setabu. Pulau ini salah satu pulau terluar yang menjadi prioritas utama pembangunan, karena berbatasan langsung dengan Malaysia.
Selain pariwisata, program utama yang dilakukan di Pulau Sebatik adalah pembangunan sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan.
Pulau Sebatik terbagi menjadi dua. Belahan utara seluas 187,23 km² merupakan wilayah Negara Bagian Sabah, Malaysia. Sedangkan belahan selatan dengan luas 246,61 km² masuk ke wilayah Indonesia di Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara. Dari luas ini, sekitar 375, 52 hektare adalah kawasan konservasi.
“Paling unik dari Pulau Sebatik adalah keberadaan rumah warga yang dibangun tepat di perbatasan. Bagian ruang tamu berada di Indonesia, sementara bagian dapurnya ada di Malaysia,” ujar Adella.
Konon, bangunan ini ada sejak tahun 1977. Pemiliknya WNI bernama Mangapara. Dia tercatat sebagai penduduk Desa Aji Kuning, Kecamatan Sebatik, Kabupaten Nunukan. Tempat tinggalnya terletak di Tugu Patok 3 perbatasan Indonesia dan Malaysia.
Perbatasan di sini hanya ditandai dengan Tiang Bendera Merah Putih. Jumlahnya ada dua. Salah satunya bertuliskan ‘Kokohkan Merah Putih di Tapal Batas’. Tak jauh dari rumah Mangapara, dibangun pula pos TNI sebagai penjaga perbatasan.
Awalnya, Mangapara hanya mendiami wilayah Indonesia. Warga Malaysia yang menjadi tetangganya kemudian berbaik hati memperbolehkan Mangapara membangun dapur di tanahnya. Jadilah, rumah di dua wilayah negara.
“Meski hanya rumah biasa, namun keunikan ini menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Khususnya para pelancong yang baru pertama kali menginjakkan kaki di Nunukan atau wilayah perbatasan,” bebernya.
Nunukan, saat ini, menjadi salah satu wilayah perbatasan yang diprioritaskan. Artinya, melalui rentang tangan Kemenpar, wilayah ini diupayakan lebih hidup sehingga roda perekonomian warga dapat berputar.
“Festival Crossborder Nunukan bukan sekali ini saja digelar. Sebelumnya juga sudah kita helat dan sukses menarik banyak wisatawan. Bisa saja ini menjadi agenda rutin karena berpotensi mendatangkan wisman,” ungkapnya.
Arief Yahya, Menteri Pariwisata, menyatakan, Kemenpar memang berusaha menghidupkan wilayah perbatasan, salah satunya di Nunukan. Caranya, antara lain dengan memperbanyak event dan acara yang bisa dinikmati oleh tetangga negara seperti Tawau di Malaysia.
“Kegiatan rutin seperti Festival Crossborder bisa menaikkan ekonomi di perbatasan. Rumusnya, perpindahan orang itu sama dengan perpindahan uang,” tandasnya. (idi)