Dangdut Ya Pasti Tanpa Partitur!
INI dialog imajiner, Sodara-Sodara. Sejak kapan musik dangdut dimainkan dengan partitur? Memang tidak pernah ada, sebatas pengetahuan saya. Pemusik dangdut bermain dengan feeling —bergerak dalam kalbu dan sukma—dan kebanyakan mereka ‘pemain alam’ tanpa pernah tahu musik itu ilmu dengan kaidah-kaidah. Apalagi kaidah universal yang kian menggurita menjadi kesadaran umat manusia.
Jangan membayangkan Bang Haji Rhoma Irama bermain dengan iringan Philharmonic Orchestra di New York. Memang musik dangdut dibiarkan menjadi hiburan rakyat tanpa pernah mendapat kajian serius bagi penerima hadiah Nobel. Untuk membuat PhD dalam kaidah ilmu musik sudah banyak. Fenomena sosial dangdut juga dahsyat, tak usah diragukan.
Karena sulit maka selama ini musik dangdut dimainkan tanpa partitur? Musik dengan partitur itu hanya ada di dunia musik modern. Ah, Mozart, Bethoven akan mengusir Anda dari rumahnya jika menyarankan musik alamiah bergerak sesuai dorongan dari dalam, inner feeling seperti dangdut. Komposer dan penulis opera akan marah.
“Saudara jangan menghina saya yah,” Mozart akan berujar seperti ini.
Musik klasik itu keindahan yang prima. Karena abadi dan ‘hebat’ maka disebut musik klasik yang dibangun dengan struktur keindahan bahkan ilmiah. Harmoni di musik itu dibangun secara matematis, bro.
Ai aha do maksud munu menulis artikel ini? Itu bahasa di kampung saya nun di Sumatera Utara sana. Artinya: “apa maksudmu menulis artikel dengan judul ini?”
Begini. Ini bukan imajinasi saya yang sangat mencintai musik dangdut sehingga berharap dangdut akan diangkat ke dalam khazanah dunia, sama seperti kita menyaksikan betapa musik dari dunia barat itu telah mendunia. Musik klasik mungkin asalnya dari Eropa, tetapi karena karakternya ‘universal’ maka musik jenis ini disukai di seluruh pelosok dunia. Nama-nama besar seperti Mozart, Chopin, Schubert, Paganini, memang beda jauh dengan Rhoma, Mansur S, Elvi Sukaesih bukan dari segi ‘bule lawan kawula’. Ini soal siapa yang berhasil mengangkat seni musik itu ke level ‘sempurna’.
Johann Sebastian Bach, Wolfgang Amadeus Mozart, Ludwig van Beethoven, Pyotr Ilyich Tchaikovsky, Giuseppe Verdi, Antonio Vivaldi, Frédéric Chopin, Claude Debussy, Franz Schubert, Igor Stravinsky dikenal nama-nama hebat di musik klasik. Kata kuncinya adalah ‘partitur’. Partitur menjadi narasi dengan disiplin seni musik dan kesusasteraan bahkan sejarah.
Kalau saya mengikuti ‘dream’ ini maka saya bermimpi dangdut akan mendunia. Menjadi musik abadi yang klasik. Pada ketika musik dangdut mendunia —dimainkan dengan partitur dalam orkes besar—maka partitur tak terhindarkan. Ini soal besarnya. Bukan saja harus memiliki membaca partitur, tetapi persoalan meleburkan mental ke dalam ‘dunia musik klasik’ itu hampir tidak mungkin. Anda bermimpi, kata saya pada diri sendiri.
Partitur bukan sekadar selembar kertas berisikan gambar atau lambang mirip ‘tauge’. Partitur adalah pedoman umum yang digunakan oleh dirigen dalam perjalanan musik dari awal hingga akhir. Di sana ada pembagian kerja: Violin. Viola, Cello, Double Bass, Harp, Bass Drum, Castanets, Chimes, Conga Drum, Cowbell, Flute, Piccolo, Oboe, English Horn, Clarinet, French Horn, Trumpet, Trombone, Tuba, Harpsichord., Piano, dan Organ. Di atas panggung bisa seratusan pemain, ibarat perajurit dengan masing-masing senjata mereka.
Yang membedakan kualitas di musik klasik adalah kepemimpinan dirigen, dan profesionalisme pemain musik yang setia pada bagian masing-masing. Zubin Mehta menjadi fenomenal karena berkelas. Hasilnya adalah musik kolosal yang indah. Jika dikaitkan dengan pertunjukan opera, maka philharmonic akan berada di bawah panggung. Di atas panggung ada penyanyi opera dan para pemainnya. Tanpa musik orkestra yang baik tidak mungkin hadir tontonan opera yang menakjubkan.
Pertunjukan opera dengan musik orkestra ini dengan piawai bisa menggambarkan cerita dalam suatu konteksnya di masa lampau dengan pas. Opera bagi saya lebih menarik daripada sekadar menyaksikan pertunjukan musik orkestra sampai sekelas Philharmonic sekalipun. Mengapa?
Opera adalah tontonan yang holistik dan totalitas. Opera adalah seni di mana penyanyi dan musisi melakukan karya dramatis yang menggabungkan teks (libretto) dan alunan musikal, biasanya dalam setting teater. Dalam opera tradisional, penyanyi melakukan dua jenis nyanyian: lisan, gaya berpaling pidato atau nyanyian bergaya arias yang lebih melodius, di mana nada dinyanyikan dengan cara yang berkelanjutan oleh banyak penyanyi.
Opera menggabungkan banyak elemen teater lisan, seperti akting, pemandangan, dan kostum dan terkadang termasuk tarian. Pertunjukan biasanya diberikan di sebuah gedung opera, disertai orkestra atau ansambel musik yang lebih kecil, yang sejak awal abad 19 telah dipimpin oleh sebuah konduktor. Ini yang luar biasa.
Sejatinya, opera adalah bagian penting dari tradisi musik klasik Barat, tradisi yang dimulai di Italia pada akhir abad ke-16 kemudian menyebar ke seluruh Eropa: Heinrich Schütz di Jerman, Jean-Baptiste Lully di Prancis, dan Henry Purcell di Inggris semua membantu membangun tradisi nasional mereka di abad ke-17.
Pada abad ke-18, opera Italia terus mendominasi sebagian besar Eropa (kecuali Prancis), maka komposer non-Italia seperti George Frideric Handel muncul. Dunia mengenal Opera Italia, Boroque, Jerman, Prancis, Inggeris, Rusia, Ceko, bahkan Hungaria yang dipandang sebagai ‘masterpiece’ dunia.
Opera seria adalah bentuk opera Italia yang paling bergengsi, sampai Christoph Willibald Gluck bereaksi terhadap kesopanannya dengan operasinya "reformasi" di tahun 1760-an.
Tokoh paling terkenal dari opera akhir abad 18 adalah Wolfgang Amadeus Mozart, yang memulai opera seria namun paling terkenal dengan opera komik Italia, terutama The Marriage of Figaro (Le nozze di Figaro), Don Giovanni, dan Così fan tutte, serta The Magic Flute (Die Zauberflöte), sebuah tengara dalam tradisi Jerman.
Weber, Mozart, dan Wagner, khususnya, dipengaruhi oleh cita-citanya. Mozart, dalam banyak hal penerus Gluck, menggabungkan rasa drama, harmoni, melodi, dan tandingan yang luar biasa untuk menulis serangkaian komik opera dengan libretti oleh Lozenzo Da Ponte, terutama Cosyu, Le Nozze di Figaro, dan Don Giovanni. Karya-karya mereka paling dicintai, populer dan terkenal sampai kini.
Tapi kontribusi Mozart terhadap opera seria lebih beragam; Pada saat ia sekarat, dan meskipun karya-karya bagus seperti Idomeneo dan La clemenza di Tito pun bisa lahir ditangan jenius musik ini.
Saya tinggal 12 tahun di Eropa, dengan sendirinya sangat menyukai pertunjukan budaya Eropa ini. Tetapi, pengalaman tinggal di New York memperkaya khazanah saya, karena Opera Broadway dari kota ini terkenal di seluruh dunia. Saya sempat menyaksikan sebagian besar dari pertunjukan Phantom of the Opera, Chicago, The Lion King, Cats, Les Miserables, Beauty and the Beast, Annie, Cabarate, Aida, dan Amadeuz karya Mozart.
Sayang, meskipun pertunjukan opera Miss Saigon yang mengharukan berlangsung lebih dari 10 tahun tak sempat kusaksikan. Miss Saigon bercerita tentang kisah cinta seorang tentara Amerika dengan seorang gadis Vietnam harus berakhir ketika Amerika terpaksa angkat kaki dari Vietnam dengan segala haru-birunya. Begitu halus, begitu indah. Bukan ala Bombay! Kabar gembira: Miss Saigon tampil kembali di Broadway. Ini menjadi staple maha penting bagi saya untuk menontonnya, jika melakukan perjalanan ke kota yang disebut ‘Big Apple’ ini.
Dalam orkestra, dengan jelas dan tegas ada pembagian tugas: siapa ada di mana memainkan bagian mana dalam perjalanan hidup yang dikisahkan oleh orkes besar itu. Gangguan sedikit saja: karena kurang disiplin, ngantuk, ngawur, heboh, selfie dan sebagainya akan merusak segalanya: dirigen, pemain musik dan terutama audiens, dan tentu saja ‘harmoni’.
Ya kita-kita ini adalah audiens dari musik besar yang sedang dimainkan orkestra dengan ‘big band’ dengan segala kemegahan yang melekat. Kita tidak ingin keindahan yang begitu sempurna sampai ke tulang sumsum dirusak oleh seseorang yang bermain ‘sesuka hatinya’.
Partitur ibarat Konstitusi. Semua tertera jelas di sana. Partitur buatan komposer. Meskipun mirip gambar ‘tauge’ tetapi di balik itu ada harmoni, ada cerita, ada keindahan, ada keteraturan dan pasti ada wisdom yang dikandung ‘komposer’ ketika menciptakannya. Bukan karang-karangan.
Ketika Salieri, pegawai kerajaan Hapsburg yang ambisius dekat dengan Raja —tokoh yang iri dengan Mozart karena ternyata jauh lebih hebat daripada dirinya—berhasil masuk secara diam-diam ke rumah Mozart karena berhasil menyogok pembantu yang diselundupkannya seolah-olah menjadi house-keeper—yang dicarinya adalah karya-karya Mozart dalam bentuk partitur. Antonio Salieri (1750 - 7 Mei 1825) adalah seorang komposer klasik Italia, konduktor, dan guru. Ia lahir Venesia, dan menghabiskan masa dewasanya dan berkarir sebagai pegawai di Kerajaan Habsburg. Dia juga punya watak ‘pembisik’.
Salieri tahu membaca ‘not balok’ tahu partitur dengan segala kelengkapannya pembagian kerja mendukung alunan musik yang bercerita tentang keindahan bahkan kekejamanan manusia. Ketika itu Mozart sibuk membuat partitur opera. Salieri juga seorang komposer musik yang tahu opera. Meski kelasnya jauh di bawah Mozart.
Begitu dia melihat koleksi-koleksi karya baru Mozart yang belum ditampilkan, tangannya bergetar, ekspresi wajahnya memancarkan keindahan. Akhirnya kertas-kertas partitur yang masih dalam bentuk coretan dan koreksi itu terlepas dari tangannya. Berhamburan, tanpa disadarinya. Karena keindahan di karya-karya baru Mozart ini tiada tara. Gara-gara Mozart, Salieri pun menjadi atheis.
“Mengapa Tuhan menciptakan manusia seperti Mozart ini,” katanya dengan amarah.
Ketika dia secara curi-curi masuk ke rumah Mozart, dia seperti ekstasi membaca partitur-partitur itu, seakan-akan dirinya sedang menyaksikan opera yang didukung oleh orkestra besar. Begitu indah, begitu menakjubkan, begitu memesona. Dia boleh membenci Mozart, tetapi Salieri yang juga adalah pemusik paham betul membedakan mana opera dengan musik yang indah mana yang abal-abal. Lembaran-lembaran kertas bergambar tauge kehidupan itu digambarkan secara dahsyat. Suatu tontotan yang luar biasa dan membuktikan bahwa memang Mozart seorang jenius.
Bagi Salieri, menyebut nama Mozart adalah kekaguman seorang ummat manusia akan kejeniusan karya seseorang. Dia pengagum, tetapi sekaligus pembenci Mozart. Konon, melalui tangan-tangan kotor, bahkan isteri Mozart sendiri berhasil dipengaruhi Salieri sehingga memaksa Mozart bekerja mati-matian mencipta berbagai opera-opera hebat —siang dan malam demi uang—dan akhirnya wafat terkena penyakit ketika masih bekerja. Di akhir hidupnya, Mozart dibantu oleh Salieri untuk menuliskan apa yang ada di benak Mozart: dalam bentuk partitur.
Ya partitur bukan sembarang lembaran kertas bergambar tauge. Bagi dirigen dan semua pemain musik yang bermain sendiri dalam orkestra atau mendukung pertunjukan opera, partitur adalah Konstitusi. Semua pihak, baik dirinya, pemain dan semua orang yang terlibat dalam ‘pertunjukan’ mengacu secara taat asas, memainkan peranan seperti ditetapkan, menyumbang pekerjaan untuk keberhasilan ‘suatu pertunjukan’.
Jika pertunjukan itu adalah kehidupan kita berbangsa dan bernegara maka betul partitur adalah Konstitusi yang harus kita taati bersama: penguasa maupun kawula.
Kembali ke pokok cerita: kapan musik dangdut dimainkan dengan partitur? Ini panjang urusannya. Memainkan dangdut dengan partitur berarti kita mendidik para pemain alam musik dangdut membaca partitur. Memiliki disiplin tinggi, setia pada bagian masing-masing ini susah. Karena mereka ‘seniman tulen’ bermain musik dangdut sesuai dengan letupan sukma dan sanubari, mendalam ke tulang sumsum. Alunan musik dan lagu itu harus dikeluarkan dari diri mereka dan dituliskan dalam bahasa universal yang bukan hanya mereka mengerti tetapi juga penonton. Kita-kita ini.
Ketika tampil secara ‘berbudaya’ bersama Philharmonic Orchestra New York, mereka harus mampu menyesuaikan diri dengan semua pemain yang memiliki kemampuan menguasai instrumen sebaik mungkin, dan disertai disiplin. Kapan main, kapan diam, dalam suatu harmoni yang indah.
Kondisi ini keniscayaan, agar musik dan opera yang ditampilkan maksimal. Sesuai dengan jalan cerita yang sebenarnya sudah kita ketahui dan kehendaki. Ini yang paling sulit.
Ketika kehidupan kita ‘mendangdut’ saya menjadi tak paham mau kemana ‘pertunjukan’ ini dibawa? Inilah dangdut tanpa partitur. Tak ada acuan partitur yang disepakati. Suka-suka sajalah. Maka kita begini-begini saja.
Maka itu, saya terpaksa harus menghentikan dialog imajiner dan mimpi saya ini.
*) Hazairin Pohan adalah diplomat karir yang pernah menjadi Dubes Polandia dan terakhir sebagai Direktur Eropa Tengah dan Timur Kementerian Luar Negeri RI. Dia juga pernah bertugas di PTRI di PBB New York.
Advertisement