Dampak Serangan Rudal Iraq terhadap Israel
Iraq pada 14 Mei melakukan serangan roket ke Ashkelon, wilayah Israel yang berbatasan dengan Gaza Utara. Pada saat yang hampir bersamaan Iraq juga melakukan serangan roket ke Eilat, kota pelabuhan di Teluk Aqaba yang berbatasan dengan Yordania Selatan. Target serangan adalah pusat penampungan minyak.
Serangan Iraq tersebut merupakan dukungan terhadap Iran yang sebulan lalu melakukan serangan roket yang dahsyat terhadap Israel.
Keterlibatan Iraq dapat mengubah peta politik di kawasan Timur Tengah khususnya strategi dunia Arab dalam menghadapi Israel.
Sejak Camp David agrement, ujung tombak dunia Arab adalah koalisi Mesir - Arab Saudi dan membuahkan terbentuknya Pemerintahan Sementara Palestina di Tepi Barat Sungai Yordan dan Gaza. Namun proses perundingan lanjutan terhenti pada 2005 karena Iran berhasil mempengaruhi Hamas untuk memboikot perundingan tersebut yang mengakibatkan perpecahan antara Al-Fatah dipimpin Mohammad Abbas sebagai penerus Yasser Arafat dengan Hamas yang dipimpin Ismail Haniya yang didukung Iran.
Proses dan Perubahan Politik
Proses perundingan perdamaian Israel - Palestina diperkirakan akan berubah. Sebelumnya Mesir dan Arab Saudi menginginkan negara negara Arab lainnya menormalisasi hubungan dengan Israel melalui pembukaan hubungan diplomatik sejalan dengan kebijakan Presiden AS, Donald Trump. Pada dasarnya solusi ala Trump tersebut tidak dikehendaki rakyat Palestina, sehingga menimbulkan bentrok rakyat Palestina dengan aparat keamanan Israel.
Proses penyelesaian konflik akan berubah, Iran - Iraq - Syria akan dilibatkan dalam perundingan damai bersama dengan Mesir - Arab Saudi yang sebelumnya menjadi tulang punggung Arab dalam perundingan dengan Israel. Dengan bergabungnya Iraq, Iran dan Syria, posisi pihak Arab akan lebih kuat dalam berhadapan dengan Israel.
Pada sisi lain, posisi Israel sepeninggal Trump menjadi lemah karena Presiden AS Joe Biden enggan meneruskan kebijakan Trump yang sangat memihak Israel. Namun bila dikaji secara mendalam Israel mempunyai peluang untuk merundingkan jaminan eksistensi negara Israel yang selama ini ditolak oleh negara negara Arab garis keras. Dampak lain dari perubahan strategis di Timur Tengah adalah kemungkinan PM Benjamin Nentanyahu akan jatuh untuk diganti dengan pemimpin baru yang pro-perundingan seperti PM Simon Peres (almarhum) yang pernah berkunjung ke Indonesia.
Di samping itu dengan adanya perubahan situasi regional Timur Tengah yang baru tersebut, Syria yang selama ini dikucilkan oleh negara Arab Moderat akan mempunyai peluang untuk menuntut kembalinya wilayahnya di dataran tinggi Golan yang direbut Israel dalam perang 1967 dan 1973. Pemerintah Syria yang dipimpin Presiden Bashar Assad juga akan semakin stabil dari gangguan Tahrir Al Sham , suatu gerakan oposisi militer (teroris) yang selama ini didukung oleh Amerika Serikat (Presiden Donald Trump).
Bagaimana peran pemerintah Indonesia?. Mungkin belum bisa ikut terlibat dalam cawe-cawe proses damai Timur Tengah, karena masih capai pilpres dan menunggu pelantikan Presiden (terpilih) Prabowo Subianto. Menurut hemat saya, peran Indonesia lebih diperlukan untuk menghilangkan saling curiga antara Iran dengan beberapa negara Arab khususnya Mesir dan Arab Saudi.
DR KH As'ad Said Ali
Pengamat sosial politik, Mustasyar PBNU periode 2022-2027, tinggal di Jakarta.
Advertisement