Menelusuri Langkah Bahlil Lahadalia, Menteri Investasi yang Memikat Jokowi
Tak banyak politisi yang melenting. Apalagi bukan darah biru politisi Tapi bisa menggapai karir politik yang membuat banyak orang berdecak.
Orang itu adalah Bahlil Lahadalia. Menteri dari Papua yang memikat hati Presiden Joko Widodo. Sampai di ujung jabatan kedua pemerintahannya.
Bahlil bukan orang yang menjadi menteri sejak Jokowi menjabat. Baru pada periode kedua ia dipercaya sebagai pembantunya. Yang menangani persoalan investasi di negeri ini.
Tapi rupanya Jokowi kepincut sejak ia menjadi Ketua HIPMI. Himpunan pengusaha muda yang belakangan banyak melahirkan orang penting. Menjadi tempat pengkaderan baru tokoh di negeri ini.
Bahlil adalah kisah perjuangan orang biasa. Ia kecil di Banda Neira, Maluku Tengah. Baru setelah SMA pindah ke Fakfak, Papua. Terus kuliah di perguruan tinggi swasta di daerah yang sama.
Ia besar karena ditempa keadaan. Ketika sekolah, ia sudah sambil bekerja. Mulai dari penjual kue di masa remaja sampai dengan kondektur bis dan sopir angkot di kala SMA.
Saya belum tahu siapa yang menjadi mentor dia sampai bisa menjadi pengusaha. Sehingga bisa memimpin para pengusaha muda se-Indonesia dan memiliki sejumlah perusahaan dalam payung PT Rifa Capital Holding Company.
Kalau kepiawaian dalam politik, jelas basisnya. Ia besar sebagai aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Hingga menjadi bendahara umum di PB HMI. Ini adalah organisasi kemahasiswaan yang memang mencetak banyak politisi.
Sebab, di organisasi tersebut, anggota digembleng untuk berpolitik sejak dini. Bahkan diajarkan materi strategi dan taktik saat menjalani latihan dasar alias basic training. Lalu digembleng di lapangan melalui pertarungan di lahan politik mahasiswa di kampus.
Bahlil pasti menjalani itu. Apalagi ia bukan kader kaleng-kaleng. Bukan hanya sempat menjadi pemimpin di tingkat komisariat alias fakultas saat mahasiswa. Tapi sampai di tingkat pengurus besar di Pusat..
Gabungan atas tempaan hidup, gemblengan berorganisasi saat mahasiswa dan kepercayaan dirinya membawa dia sampai ke puncak sekarang. Tidak butuh waktu lama untuk berada di lingkar puncak kekuasaan dan menjadi orang pertama di partai beringin.
Salah satu kelebihan Bahlil, ia selalu tampil dengan ceria. Ditimpali dengan suara kerasnya. Juga ketawanya yang tampak renyah. Barangkali inilah yang membuat setiap kehadirannya bisa menghidupkan suasana.
Kehadirannya sering membawa suasana dalam berbagai persamuan. Mulai persamuan serius sampai dengan yang memang penuh canda. Kecerdasan seperti ini tidak mesti dipunyai kebanyakan orang.
“Kalau Presiden sedang tidak enak hati, begitu ada Bahlil bisa langsung berubah suasana,” kata orang yang tak mungkin saya sebutkan namanya di sini.
Ia juga banyak dalil terhadap apa saja yang disampaikan kepadanya. Banyak akal, kata orang Jawa. Selalu punya jawaban terhadap berbagai persoalan yang ditudingkan ke dirinya.
Ia bisa cepat mengelak ketika ada yang melihat peluang ke depan untuk karir politiknya yang lebih tinggi. “Saya ini tahu ukuran bajuku. Tak perlu terlalu jauh. Saya ini abdi dalem,” katanya merendah.
Ia lincah bersilat lidah. Tapi juga serius mau mendengarkan ketika menerima nasihat dari orang lain. Apalagi dari para seniornya.
Ini yang terjadi akhir pekan lalu di rumah dinasnya sebagai Menteri ESDM di Jalan Denpasar, Kuningan, Jakarta. Hari itu, ia memang menjamu para senior dan koleganya para mantan aktivis mahasiswa Islam.
Ada Fachry Ali. Penulis kawakan. Generasi tua seperti saya pasti mengenalnya. Karena tulisan-tulisannya yang bernas di Majalah Prisma dan Kompas.
Ada juga sejumlah ekonom Indef. Lembaga Kajian Ekonomi dan Keuangan yang eksis sampai sekarang. Yang di dalamnya banyak pakar mantan aktivis seperti almarhum Rizal Ramli dan Faesal Basri.
Dipimpin Fachry Ali, persamuan hari itu menjadi ajang untuk mengucapkan selamat kepada pencapaian Bahlil. Tapi juga ajang memberikan nasehat agar ia menggunakan capaiannya itu untuk berbuat sesuatu untuk bangsa dan negara.
Aviliani, ekonom perempuan yang menjadi peneliti Indef dan komisaris utama Allo Bank, misalnya. Ia mengingatkan Bahlil bahwa negeri ini tidak sedang baik-baik saja. Karena itu, ia minta agar Bahlil menggunakan “kekuasaannya” untuk membenahinya.
Yang pasti, hari itu, yang hadir juga para tokoh politik lintas partai. Ada Viva Yoga yang menjadi salah satu petinggi PAN. Juga ada tokoh Partai Demokrat. Dari Golkar ada Taufiq Hidayat yang mantan Ketum PB HMI.
Saya menjadi teringat Gus Mus yang belum lama ini membandingkan NU dan HMI. Menurut kiai seniman itu, HMI itu tersebar di mana saja dan tokohnya tetap saling bersapa. Sementara di NU yang di tempat lain enggan bahkan takut saling mendukung.
Yang sama barangkali dalam pandangan tentang ke-Islaman. NU maupun HMI merupakan organisasi Islam moderat. Tentu saja, keduanya tak bisa diabaikan tentang komitmen kebangsaannya. Komitmen yang sudah nyata dan teruji selama ini.
Bahlil bisa saja disamakan dengan tokoh politik lain yang melejit belakangan ini. Tapi sejarah pencapaian dan basisnya yang berbeda. Kalau pun ada badai, bisa saja dia tidak gampang tumbang seperti lainnya.
Wallahu a’lam.