Dalam Fikih, Memasak dan Mencuci Jadi Tanggung Jawab Suami
Lalu bagaimana halnya dengan tradisi poligami?.
Ustadz Hafizh Kurniawan, memberikan penjelasan dengan rujukan pelbagai kitab kuning. Berikut lengkapnya:
Masyarakat jahiliyah yang “doyan kawin” kerap bertindak melampaui batas ketika memenuhi gairah seksualnya. Karena sikap yang selalu memposisikan perempuan sebagai objek, kaum laki-laki saat itu bisa menikah nyaris tanpa terikat norma dan jumlah tertentu.
Islam lantas hadir memberikan batasan-batasan sehingga perempuan terentas dari perlakuan buruk masyarakat yang menggenggam kuat budaya patriarki. Islam memang tidak secara revolusioner melarang sama sekali poligami yang sudah sangat mengakar dalam kebudayaan masyarakat Arab pra-Islam.
Karena jika itu dilakukan mungkin akan menimbulkan gejolak. Namun, ia memberikan ketentuan jumlah maksimal empat dengan syarat-syarat yang sangat ketat, yakni adil. Sebagian ulama memaknai adil bukan sekadar pada tataran pemenuhan kebutuhan ekonomi tapi juga kebutuhan seksual yang tentu amat relatif.
Selanjutnya, banyak sekali ayat atau hadits yang menggambarkan semangat emansipasi (persamaan hak) antara laki-laki dan perempuan. Allah tak membeda-bedakan derajat hamba menurut jenis kelaminnya melainkan kadar ketakwaannya.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS al-Hujurat: 13)
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً
Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (QS. al-Nahl: 97)
Dalam konsteks tertentu, Islam mendudukkan perempuan dalam posisi istimewa, seperti melalui hadits Nabi yang berbunyi:
اَلْجَنَّةُ تَحْتَ أَقْدَامِ اْلأُمَّهَاتِ
“Surga berada di bawah telapak kaki Ibu.” (HR Muslim)
Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan tentu saja tidak lantas membuat Islam mengingkari adanya perbedaan-perbedaan alamiah dan fisik, seperti kemampuan spesifik perempuan untuk menstruasi, mengandung, melahirkan, dan menyusui. Itu semua adalah hal yang kodrati, berbeda dari peran-peran atau kedudukannya secara sosial. Misal memasak, mencuci, mengasuh anak, dan aktivitas lain yang bisa diperankan siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan.
Bahkan, dalam fiqih, memasak dan mencuci yang secara umum dipandang sebagai kewajiban istri ternyata menjadi tanggung jawab suami dan suami wajib menginformasikannya kepada istri.
Sulaiman Al-Jamal dalam Hasyiyatul Jamal menyatakan:
وَقَعَ السُّؤَالُ فِي الدَّرْسِ هَلْ يَجِبُ عَلَى الرَّجُلِ إِعْلَامُ زَوْجَتِهِ بِأَنَّهَا لَاتَجِبُ عَلَيْهَا خِدْمَةٌ مِمَّا جَرَتْ بِهِ العَادَةُ مِن الطَّبْخِ وَالكنس ونحوهما مماجرت به عَادَتُهُنَّ أَمْ لا وأوجبنا بأن الظاهِرَ الأول لأنها إِذَا لم تَعْلَمْ بِعَدَمِ وُجُوْبِ ذَلِكَ ظَنَّتْ أَنَّهُ وَاجِبٌ وَأَنَّهَا لَاتَسْتَحِقُّ نَفَقَةً وَلَاكِسْوَةً إِنْ لَمْ تَفْعَلْهُ فَصَارَتْ كَأَنَّهَامُكَرَّهَةٌ عَلَى الفِعْلِ...
"Wajib atau tidakkah bagi suami memberitahu istrinya bahwa sang istri tidak wajib membantu memasak, mencuci dan sebagainya sebagaimana yang berlaku selama ini?
Jawabnya adalah wajib bagi suami memberitahukan hal tersebut. Karena jika tidak diberitahu seorang istri bisa menyangka hal itu sebagai kewajiban bahkan istri akan menyangka pula bahwa dirinya tidak mendapatkan nafkah bila tidak membantu (mencuci, memasak dan lainnya). Hal ini akan manjadikan istri merasa menjadi orang yang terpaksa." (adi)
Advertisement