Dakwah Membangun Peradaban, Dakwah yang Bagaimana?
Ketua PP Muhammadiyah, Hajriyanto Yasin Thohari menyebut, hijrahnya Rasulullah dari Mekkah ke Kota Yastrib yang kemudian diubah namanya menjadi Madinah itu adalah simbol dan tonggak dimulainya peradaban.
Menurut Hadjri, visi Rasulullah mengubah Yastrib menjadi Madinah memiliki makna simbolik bagi pembangunan peradaban. Maka, jika ditarik kesimpulan dari makna simbolik pada konteks itu, harusnya masyarakat kota lebih beradab dari masyarakat kampung atau desa, termasuk pedalaman.
Perubahan peradaban maju di Madinah oleh Rasulullah tidak terjadi begitu saja, melainkan melalui proses bertahap di bawah payung Islam. Predikat sebagai ‘Madinah’ tersebut melekat sampai sekarang, bahkan saat ini predikat tersebut dilengkapi dengan al Munawarah yang artinya menyinari.
Hadjriyanto melanjutkan, masyarakat kota tersebut teradabkan dan mengalami pembudayaan. Menurutnya, konsep madani ini melahirkan turunan yang disebut sebagai masyarakat sipil. Di sisi lain ada juga yang menyebut atau mengolongkan masyarakat sipil itu sebagai bagian terpisah dari masyarakat militer.
“Peradaban adalah suatu kompleks atau kumpulan dari seluruh budi daya manusia yang mencakup kepada seluruh aspek kehidupan manusia, baik aspek fisik dan non fisik.” urai Hadjri dalam Pengajian Ramadhan 1442 H diadakan Majelis Dikdasmen GKB, Gresik.
Melihat Indonesia pada peta peringkat peradaban dunia, Hadjri merujuk pada worldpopulationreview.com, Indonesia berada pada peringkat 67 dunia diantara negara-negara yang melek literasi. Melek literai ini salah satu barometer kemajuan peradaban suatu negara, peradaban negara juga bisa dilihat dari angka penerbitan bukunya.
Standar lain yang bisa digunakan untuk melihat kemajuan peradaban sebuah negara adalah dilihat dari rangking lembaga pendidikannya. Meski dalam pemeringkatan universitas Islam se-dunia yang dilakukan oleh Unirank, Universitas Muhammadiyah Malang berada di posisi puncak, namun rangking universitas di Indonesia di berbagai versi belum tinggi.
Terkait dengan usaha mengejar ketertingalan dari negara-negara lain, negara Islam termasuk Indonesia harus lebih kuat dalam menjalankan dakwah. Akan tetapi apakah pemahaman dakwah yang sempit sebagaimana umum dipahami oleh kebanyakan muslim mampu mengejar ketertingalan tersebut.
“Jika apa yang disebut dengan dakwah adalah hanya dalam pengertian sempit, yaitu doa dan khutbah-khutbah saja ya tidak bisa mengejar ketertingalan,” tegasnya
Menurutnya, berkaca dari ketertingalan itu, dakwah harus diluaskan pengertiannya, supaya peradaban Islam mampu mengejar ketertingalan. Dalam pandangan Muhammadiyah, dakwah yang membangun peradaban merupakan dakwah yang dipahami sebagai gerakan liberasi (membebaskan), emansipasi, dan transendensi.
Advertisement