Dakwah Kultural, Solusi di Tengah Multikulturalisme Indonesia
Sebagai gerakan dakwah Islam, Muhammadiyah dituntut untuk mampu menghadirkan spirit pencerahan di tengah-tengah masyarakat. Dengan hadir secara langsung untuk membimbing dan membina umat. Sehingga dakwah pencerahan yang bertujuan untuk melakukan dinamisasi dan purifikasi tercapai.
Salah satu metode dakwah yang dirumuskan Muhammadiyah adalah dakwah kultural, yan dibahas dalam tanwir Muhammadiyah di Denpasar pada 2002. Hal itu, diperkuat dengan keputusan sidang tanwir di Makassar pada 2003. Dakwah Kultural sendiri merupakan sebuah konsep dakwah yang komprehensif, dengan mencoba memahami potensi kecenderungan manusia sebagai mahluk budaya. Pemahaman manusia sebagai mahluk budaya diperoleh dari kajian sosilogi dan antropologi agama.
Dalam kajian tersebut manusia disebutkan sebagai homo religius, homo festivus, danhomo symbolicum. Dikatakan sebagai homo religius karena manusia memiliki kecenderungan mengaitkan segala sesuatu di dunia ini dengan kekuatan ghaib, kecenderungan ini adalah contoh nyata bahwa manusia adalah mahluk yang percaya kepada Tuhan. Dikatakan homo festivus karena manusia adalah makhluk yang senang mengadakan festival. Sejak zaman purba sampai zaman modern agenda untuk mengadakan festival tidak pernah hilang dari kehidupan manusia.
Selanjutnya, dikatakan homo symbolicum karena manusia memiliki kecenderungan untuk mengekspresikan pemikiran, perasaan dan tindakannya dengan mengunakan simbol, seperti bahasa, mitos, tradisi dan kesenian. Dalam megekspresikan kepercayaan kepada Tuhannya, manusia mengunakan simbol yang bisa berupa festival ataupun ritus keagamaan. Serapan dari pemaknaan ini yang kemudian menjadikan kader-kader Muhammadiyah memiliki cara-cara unik dalam menyemaik ajaran Islam yang dipercayainya.
"Ketika menjadi tahanan perang, Tsumamah bin Utsal setiap pagi Nabi Muhammad SAW menjamu dengan susu onta sebagai penghormatan terhadap kedudukan sosial Tsumamah. Hingga pada saat dibebaskan tanpa syarat, Tsumamah tidak langsung bergegas kembali ke kaumnya, melainkan bersuci dan menyatakan masuk Islam".
Kreativitas dan inovasi kultural dalam berdakwah juga dilakukan oleh Rasulullah SAW ketika memperlakukan Tsumamah bin Utsal, kepala Suku Bani Hanifah. Ketika menjadi tahanan perang, Tsumamah bin Utsal setiap pagi Nabi Muhammad SAW menjamu dengan susu onta sebagai penghormatan terhadap kedudukan sosial Tsumamah. Hingga pada saat dibebaskan tanpa syarat, Tsumamah tidak langsung bergegas kembali ke kaumnya, melainkan bersuci dan menyatakan masuk Islam.
Bertolak dari hal tersebut. Maka akan sangat salah jika kehadiran Muhammadiyah dianggap sebagai pemberangus kearifan lokal. Karena secara substansi, misi dakwah kultural adalah upaya melakukan dinamisasi dan purifikasi. Dinamisasi bermakna sebagai kreasi budaya yang berkembang ke arah lebih baik dan Islami.
Sementara, purifikasi diartikan sebagai usaha pemurnian dengan mencerminkan nilia-nilai Tauhid. Wilayah dakwah kultural menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan budaya lokal, budaya global, seni, multimedia dan dapat diterapkan dalam melaksanakan Gerakan Jama’ah dan Dakwah Jama’ah (GJDJ).
Sumber:Ensiklopedia Muhamamdiyah
Advertisement