Dakwah Damai Kini Bukan Zaman Perang, Pesan Mbah Moen
Dakwah yang cenderung konfrontatif, cukup disayangkan terjadi di Indonesia. Hingga ada yang bahkan menjelek-jelekkan agama lain. Padahal, dalam ajaran Islam hal itu dilarang, sebagaimana dalam Al-Quran.
KH Maimoen Zubair atau Mbah Moen, almaghfurlah, meninggal dunia di Makkah, Selasa 6 Agustus 2019 saat menunaikan ibadah haji. Mbah Moen pernah berpesan, dakwah selayaknya dilakukan secara damai, tak perlu keras dan galak. Menurutnya, kondisi hari ini berbeda dengan zaman perang di era sebelum kemerdekaan.
"Kalau dakwah jangan galak-galak," kata Mbah Moen.
Menurutnya, para alim ulama perlu memilah dalil untuk memberikan motivasi dalam dakwah seseorang, sehingga dakwahnya menjadi lentur dan tidak marah-marah.
Pesan ini pernah disampaikan Kiai Maimoen Zubair dalam acara silaturahmi Forum Alumni Santri Sarang (FASS) Jabodetabek di Kalibata, Jakarta Selatan, pada 7 November 2017.
Sepanjang hidupnya, Mbah Moen dikenal sebagai seorang alim, ahli fikih, sekaligus penggerak baik di lingkungan organisasi keagamaan maupun pada kehidupan politik.
Mbah Moen lahir di Rembang pada 28 Oktober 1928, bertepatan saat Sumpah Pemuda diikrarkan. Dia adalah pimpinan pondok Pesantren Al-Anwar Sarang, Rembang.
Mbah Moen merupakan putra Kiai Zubair, Sarang, seorang alim dan faqih. Ayahnya merupakan murid dari Syaikh SaĆd al-Yamani serta Syaikh Hasan al-Yamani al-Makky.
Basis pendidikan agama Mbah Moen sangat kuat dipengaruhi dari orang tuanya. Dia meneruskan pendidikan mengajinya di Pesantren Lirboyo, Kediri, di bawah bimbingan Kiai Abdul Karim. Selain itu, selama di Lirboyo, Mbah Moen juga mengaji kepada Kiai Mahrus Ali dan Kiai Marzuki.
Mbah Moen mulai belajar di Makkah pada usia 21 tahun. Saat itu dia didampingi oleh kakeknya sendiri, yakni Kiai Ahmad bin Syuaib.
Di Makkah, mbah Moen mengaji kepada Sayyid Alawi bin Abbas al-Maliki, Syekh al-Imam Hasan al-Masysyath, Sayyid Amin al-Quthbi, Syekh Yasin Isa al-Fadani, Syekh Abdul Qodir al-Mandaly dan beberapa ulama lainnya.
Mbah Moen juga mengaji ke beberapa ulama di Jawa. Beberapa di antaranya kepada Kiai Baidhowi, Kiai Ma'shum Lasem, Kiai Bisri Musthofa (Rembang), Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Muslih Mranggen (Demak), Kiai Abdullah Abbas Buntet (Cirebon), Syekh Abul Fadhol Senori (Tuban), dan beberapa kiai lain.
Sepanjang hidupnya, Mbah Moen juga menulis kitab-kitab yang menjadi rujukan santri. Di antaranya, kitab berjudul al-Ulama al-Mujaddidun.
Selepas kembali mengaji dengan beberapa kiai, Mbah Moen kemudian mengabdikan diri untuk mengajar di Sarang, Rembang, tanah kelahirannya. Pada 1965, Mbah Moen kemudian istikamah mengembangkan Pesantren al-Anwar Sarang.
Pesantren ini kemudian menjadi rujukan santri untuk belajar kitab kuning dan mempelajari turats secara komprehensif.
Di bidang politik, Mbah Moen menjabat sebagai Ketua Majelis Syariah Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dia juga pernah menjadi anggota DPRD kabupaten Rembang selama 7 tahun.
Begitu selesai masa tugasnya, Mbah Moen mulai berkonsentrasi mengurus pondoknya yang baru berdiri selama sekitar tujuh atau delapan tahun. Namun tenaga dan pikirannya masih dibutuhkan oleh negara. Mbah Moen diangkat menjadi anggota MPR RI utusan Jateng selama tiga periode.
Advertisement