Daging Para Ulama Beracun, Ini Penjelasan Kiai Pesantren
Ulama adalah pewaris para nabi. Ulama mendapat ilmu dari generasi sebelumnya, dan bersambung hingga Rasulullah, itulah yang harus ditaaan dan didengarkan fatwa-fatwanya.
Begitu pun ulama bisa juga dikritik bila tidak selaras dengan garis-garis keislaman, khususnya berdasar Al-Quran dan Al-Hadits. Ada yang menyebut: Daging para ulama beracun. Ungkapan ini perlu mendapat penjelasan yang ahlinya.
Guna memahami hal itu, berikut penjelasan Ust Abdul Wahab Ahmad, pakar dari Universitas Islam Negeri Kiai Achmad Siddiq (UINKHAS) Jember:
Bila para pembaca memperhatikan kolom komentar ketika saya membuat status yang membongkar kekeliruan fatal Syaikh Ibnu Taymiyah atau tokoh Taymiyun dalam hal akidah, biasanya akan didapati para fans fanatik mereka berkomentar bahwa daging para ulama beracun. Mereka hendak mengesankan bahwa tindakan meluruskan kesalahan akidah itu sebagai tindakan mencoreng nama baik ulama (mengghibah) dan itu sama seperti memakan daging ulama yang beracun sehingga efek buruknya akan kembali kepada saya pribadi.
Sebenarnya, mereka salah tempat dan hanya playing victim ketika menulis komen semacam itu sebab sejatinya ulama yang mula-mula menulis bahwa daging ulama beracun adalah seorang Imam Besar mazhab Asy'ari, yakni Imam al-Hafidh Ibnu Asakir al-Asy'ari. Beliau geram ketika melihat orang-orang dengan begitu mudahnya termakan hoax tentang Imam Abul Hasan al-Asy'ari hingga mereka dengan entengnya menghina dan merendahkan Sang Imam Ahlussunnah Wal Jamaah itu.
Pembelaan pada al-Asy'ariyah
Imam Ibnu Asakir kemudian berkata dalam mukaddimah kitab "Tabyin Kadzib al-Muftari", sebuah kitab yang dibuat khusus olehnya untuk membela Imam Abul Hasan al-Asy'ari dan para pengikutnya dari berbagai hoax murahan, sebagai berikut:
... إن لُحُوم العلماء رَحْمَة اللَّه عَلَيْهِم مَسْمُومَة وعادَة اللَّه فِي هتك أسْتار منتقصيهم مَعْلُومَة...
"... Sesungguhnya daging para ulama itu beracun dan bagaimana kebiasaan Allah dalam membalas para pencela ulama telah diketahui bersama..."
Jadi, perkataan emas itu sejatinya ditujukan bagi para pencela Imam Abul Hasan al-Asy'ari dan para ulama Asy'ariyah. Salah tempat kalau menjadikan perkataan emas itu justru untuk menyudutkan balik ulama Asy'ariyah yang menjelaskan akidah yang benar dan membongkar kesesatan. Sebagaimana maklum bagi para pembaca kitab Turats bahwa salah satu pencela Asy'ariyah yang tanpa segan melabeli Asy'ariyah dengan aneka label sesat seperti misalnya label "jahmiyah", "jahmiyah khuntsa", "ahli bid'ah" dan lain-lain adalah Syaikh Ibnu Taymiyah dan para Taymiyun. Bahkan Syaikh Ibnu Taymiyah pernah menukil dalam konteks membenarkan ucapan pembenci fanatik Imam Asy'ari yang bisa-bisanya mengatakan gosip murahan bahwa Imam Asy'ari tidak istinja', tidak berwudhu dan tidak shalat (lihat: Ibnu Taymiyah, Bayan Talbis al-Jahmiyah).
Karena itu, marilah nasehat Imam Ibnu Asakir al-Asy'ari di atas agar tidak mudah merendahkan ulama Ahlussunnah Wal Jamaah Asy'ariyah dikembalikan kepada tempat asalnya. Jangan mudah mencela dan memberi label sesat para ulama seperti Imam Ibnu Furak, Imam Baihaqi Imamul Haramain, Imam Ghazali, Imam Izzuddin bin Abdissalam, Imam Nawawi, Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dan Ibnu Hajar al-Haitami dan para ulama Asy'ariyah yang lain yang keilmuannyya diakui seluruh dunia. Ketika ada Taymiy yang melabeli mereka sebagai jahmiyah, ahlut ta'thil, ahli bid'ah dan sebagainya, maka semestinya kita mengingatkannya bahwa daging para ulama beracun. Jangan malah playing victim.
Demikian penjelasan Ust Abdul Wahab Ahmad dari Jember.