Dadar Gulung, Gulung-Gulung Jangan Sampai Modar
Embah saya, Mbah Toemi namanya, nun jauh di sana, di Desa Blitar, yang masih wilayah Jawa Timur, mungkin sedang mengarang cerita. Cerita itu meluncur begitu saja. Spontan. Mungkin juga dipersiapkan lama. Setidaknya idenya.
Idenya jelas cemerlang. Se cemerlang (mungkin) BJ Habibie yang menciptakan pesawat terbang buat Indonesia. Betapa si embah, yang giginya sudah tanggal semua itu, harus membuat situasi terkendali manakala saya kecil kudu diam dan anteng saat sedang rewel-rewelnya.
"He hei, tahu dadar gulung endak. Iyo, jajan itu, yang warnanya ijo! Kalau dicokot rasanya manis. Manis tebal. Manisnya dari dalam. Tapi bukan yang kalau dicokot muncrat lho ya. Itu namanya jemblem. Dadar gulung manisnya dari kinco-nya. Hayo... tahu enggak kenapa dadar gulung namanya dadar gulung," tebakan Mbah Toemi.
Rewel pun segera terhenti. Tergantikan memikir tebakan yang dahsyat itu. Tebakan dadar gulung yang kalau berhasil menjawab akan diajak naik dokar ke pasar lalu pulang bawa oleh-oleh jajanan arum manis ngik ngok.
"Buatnya didadar lalu digulung-gulung mbah," teriak si bocah
"Salah!"
Bocah pun pias. Jawaban salah berarti petaka. Petaka tak jadi naik dokar ke pasar. Itu artinya ada keasyikan yang bakal hilang. Itu artinya jajanan arum manis yang biasa dijajakan dengan bunyi ngik ngok dari dawai senar pancing juga batal di genggaman.
"Kalau jawaban salah, yang benar apa dong mbah. Kalau salah gak jadi naik dokar ya mbah..," rewel ganti merajuk gaya bocah.
"Wis nyerah... gak iso njawab? Masih ada kesempatan. Kok gampang men nyerah to ngger-ngger," kata simbah penuh ejekan.
Pias si bocah jadi sedikit riang. Lalu nemu jawaban. Naik dokar masih membayang.
"Bikinnya tepung diuleni mbah. Dijladreni dulu. Pilih pathi yang bagus. Tidak yang apek. Tidak boleh encer, tidak boleh pekat. Lalu jladrenan didadar dulu. Seperti ndadar endog pitik. Atau endog bebek. Setelah didadar kinconya ditaruh di atasnya. Kemudian digulung. Biar ndak udar, masuk lagi ke wajan. Didadar lagi sebentar biar kuncian tepung benar-benar lengket. Jangan lama-lama nanti gosong. Setelah dingin diplastik satu-satu biar tangan kotor dan debu ndak nempel dan jadi penyakit. Kalau segera dimakan ndak perlu diplastik, sekali pegang hleppp aja langsung," terang bocah dengan nyala dokar.
"Hebuatttttt, ini baru cucu kue, eh gue namanya," teriak simbah kegirangan. Memuji pengetahuan cucunya yang sudah tidak rewel lagi.
Si bocah tak lagi mbethuthut. Tak lagi cemberut. Jawaban benar. Artinya janji naik dokar ke pasar makin di depan mata. Horeee. Asekkk. Dokarrr.
Teriakan riang membahana itu senyap sesaat begitu embah Toemi memulai lagi kalimatnya. "Jawabmu bener seratus ngger. Bijine satus. Nanti tak bilang gurumu kalau kamu bener-bener pinter. Tapi bukan itu jawaban yang simbah inginkan."
"Lalu mbah," sergah si bocah seperti muka sedang kehilangan uang.
Embah pun segera mendinginkan suasana. Biar gembira tak jadi tangis.
"Sabar ngger, kata simbah. Naik dokar tetep. Pulang juga tetep bawa arumanis ngok ngik kesukaanmu. Yang penting kamu ndak rewel pasti simbah turuti. Kalau begitu ayo berangkat nyegat dokar," ajak simbah melunak.
Kepalang basah, merasa digodai sama simbahnya, si bocah merangsek bertanya. "Lalu mbah, yang bener jawaban dadar gulung itu apa?"
Sembari menunggu dokar lewat, dengan muka sumringah simbah berkata," Dadar gulung itu aslinya ya kamu itu ngger. Tadi kamu itu kan rewelnya bukan main. Bikin orang jengkel saja. Rewel itu boleh kok. Sampai gulung-gulung di tanah pun juga boleh. Hanya saja harus tahu situasi. Kalau simbah, situasinya ya seperti dadar gulung itu. Boleh ngosel-ngosel, boleh gulung-gulung tanah, tapi jangan sampai modar! Modar karena rewel, itu ndak boleh!"
Masak gulung- gulung bisa modar mbah?
Ya bisalah!
"Kalau gulung-gulungnya dekat jurang. Lalu glundung ke bawah. Kalau gulung-gulungnya dengan jalan tol Jokowi lalu ada truk dan bus lewat. Mecedel kamu ngger."
"Filosofi bangetttt, ah seperti BJ Habibie saja embahku Toemi ini. Sayang Negara tak ada tempat dan waktu untuk menilai kecanggihan-kecanggihan tradisi seperti ini. Pasti yang seperti ini bukan hanya milik embah saya, tetapi juga embah-embah canggih yang lain," kata saya.
Lahir ceprot, sepertinya orang sudah mengenal kue dadar gulung ini. Konon, sejumlah lontar menyebut, zaman Majapahit sudah mengenal panganan ini. (Pada Festival Makanan Majapahitan 2017 lalu, kue dadar gulung banyak disajikan di meja-meja pameran, red).
Lalu kenapa dadar gulung namanya seperti cara dan teknik membuatnya? Jawabnya tak lebih dari yang sudah dikatakan oleh nalar sang bocah yang sedang rewel dan dibujuk oleh simbahnya dengan naik dokar dan diajak ke pasar.
Apakah dadar gulung masih bisa disebut sebagai jajanan Nusantara? Jajanan Indonesia?
Coba simak penelusuran Wikipedia sebentar. Mari kita bertanya-bertanya sebentar. Yang tercatat disana justru Malaysia yang disebut lebih dahulu. Bukan Majapahit. Bukan Nusantara.
Adalah: Kue dadar gulung dalam Bahasa Malaysia disebut kuih ketayap. sering diucapkan kuih lenggang dialek Sabah.
Itu di Malaysia. (Malaysia memang keren!)
Jadi, dadar gulung sejatinya merupakan penganan khas Indonesia dan Malaysia. Panganan ini dapat digolongkan sebagai pancake yang diisi dengan parutan kelapa diulet dengan gula Jawa. Isinya dadar gulung sebagian ada yang menyebut kinco, sebagian lain menyebutnya unti.
Malaysia? Sepertinya sama. Isinya dadar gulung adalah parutan kelapa dicampur dengan gula. Nah apakah gulanya gula Jawa? Entahlah. Mungkin gulanya gula Malaysia. (widi kamidi)
Advertisement