Ini Inovasi Reduksi Pencemaran Air dari Irigas Pertanian
Mahasiswa doktoral Departemen Teknik Lingkungan Institut Teknologi 10 November Surabaya mengadakan penelitian mereduksi pencemaran air oleh limbah pestisida dan pupuk kimia pada kegiatan irigasi pertanian.
"Penelitian ini berjudul Constructed Wetlands - Microbial Fuel Cells (CWs - MFCs) sebagai Pereduksi Herbisida Glifosat dan Aplikasi Biosensor untuk Toxicity Warning pada Limpasan Persawahan," kata Kiki Gustinasari, Rabu, 21 Agustus 2019.
Menurut Kiki, penelitian ini dilandasi oleh pencemaran air oleh limbah pestisida dari kegiatan irigasi pertanian. Katanya, limbah pestisida dan pupuk kimia ini menjadi penyebab utama pencemaran air pada kegiatan irigasi pertanian,
"Padahal sektor pertanian menggantung air sekitar 70 hingga 90 persen dari seluruh kebutuhan air di bumi," katanya.
Ditambahkan Kiki, tujuan dari penelitiannya ini adalah membuktikan bahwa CWs MFCs sebagai infrastruktur ramah lingkungan mampu mereduksi residu herbisida glifosat, yang merupakan jenis pestisida pada sektor pertanian. Diakuinya, penggunaan herbisida glifosat memberikan dampak buruk terhadap makhluk hidup di perairan.
"Herbisida glifosat ini dapat menyebabkan tingkat kematian yang tinggi pada binatang amfibi, serta berefek letal bagi beberapa jenis plankton," kata perempuan kelahiran 1994 ini.
Lanjut Kiki, MFCs ini merupakan teknologi pembangkit energi dan pengurangan polusi melalui bakteri. Sedangkan CWs merupakan sistem berbasis alam yang banyak digunakan pada bidang pertanian sebagai filter areal pertanian dengan badan air.
Penggabungan MFCs ke dalam CWs terbukti mampu meningkatkan kinerja CWs dalam mengurangi residu herbisida glifosat.
"Pendekatan ini memiliki keuntungan ganda seperti intensivikasi kinerja CWs dan penghasil listrik," kata mahasiswi penerima beasiswa program Pendidikan Magister Menuju Doktor untuk Sarjana Unggul (PMDSU) ini.
Di samping itu, kata Kiki, MFCs - CWs pada penelitian ini juga bertujuan sebagai peringatan dini terhadap masuknya bahan-bahan yang tidak diinginkan pada limpasan persawahan.
Hal ini disebabkan jenis infrastruktur hijau tersebut mampu menghasilkan sinyal listrik melalui kinerja mikroba.
"Kinerja mikroba akan turun apabila terdapat zat racun yang mengganggu kehidupan mikroba tersebut," katanya.
Dengan turunnya kinerja mikroba, imbuh Kiki, maka dapat diketahui adanya zat yang tidak diinginkan memasuki area pertanian. Penurunan tersebut nantinya akan ditandai dengan indikasi dropping listrik.
"Indikasi inilah yang menjadi peringatan dini sebagai dasar pengambilan keputusan selanjutnya," kata mahasiswa asal Jombang.
Kata Kiki, banyak peneliti lain yang menggunakan CWs untuk menangani limbah pertanian. Namun, penelitian sebelumnya hanya memanfaatkan satu fungsi, yaitu mereduksi polutan. Sedangkan, konsep penelitian yang dilakukan ini selain untuk mereduksi polutan juga sebagai early warning system.
"Saya berharap penelitian bisa berjalan lancar hingga akhir. Tidak menutup kemungkinan penelitian ini akan diterapkan di lapangan, tentu dengan dukungan dari pihak pemerintah," katanya.