Customer Service Maya
Beginilah model pelayanan pelanggan di era milenial. Pengunjung bisa berkomunikasi secara langsung dengan petugas customer service melalui perangkat komunikasi virtual. Peralatan ini kemungkinan akan segera ngetren.
***
Ada pengalaman baru saat berkunjung ke kantor perusahaan asuransi asal Prancis di Jalan Sudirman, Jakarta Pusat itu. Saya menikmatinya saat mengurus penarikan dana dua polis unit link yang saya buka 10 tahun lalu.
Untuk masuk ke lobi, ada tiga tahap yang harus saya lewati.
1. Check in secara online.
2. Registrasi secara online.
3. Verifikasi secara online.
Setelah melalui tiga tahap itu, barulah bisa menyelesaikan proses permohonan secara onsite atau offline.
Check in secara online, semua sudah tahu caranya. Aplikasi yang digunakan adalah Peduli Lindungi.
Petugas keamanan di pintu gerbang meminta saya memperlihatkan layar smartphone untuk memastikan apakah aplikasi sudah di-update. Setelah itu, saya wajib memindai QR-code yang terpajang di situ.
Lolos tahap pertama, saya bertemu petugas baris kedua yang memegang senjata thermo gun. Fungsi senjata itu untuk memastikan suhu badan saya tidak melebihi batas tertinggi.
Tahap ketiga adalah registrasi secara online. Ada aplikasi lain yang harus saya gunakan: Aplikasi antrean. Saya diminta mengisi tujuan datang ke kantor tersebut. Ada beberapa tombol yang terpampang di layar komputer. Kalau sudah memilih salah satunya, komputer akan memberikan selembar kertas berisi nomor antrean dan konter yang sesuai.
Tiga tahapan sudah selesai. Saya diminta menunggu di ruangan khusus. ‘’Tunggu sampai ada panggilan dari aplikasi,’’ kata petugas keamanan.
Tak sampai 10 menit, nomor antrean saya dipanggil. Jumlah pengunjung Rabu siang memang tidak terlalu ramai. Saat tiba di mesin antrean pukul 10:30, saya menjadi pengunjung urutan 400-an.
Sesuai arahan petugas keamanan, saya segera menuju ke konter customer service di ruangan yang lain lagi. Di situ saya celingukan. Sebab petugasnya tidak tampak. ‘’Berdiri saja di depan komputer, nanti petugas customer service akan menyapa,’’ kata petugas keamanan yang lain lagi.
Saya ikuti petunjuknya dengan berdiri di depan komputer.
Tiba-tiba, ‘’Blip!’’
Layar komputer terbuka. Muncul petugas customer service berhijab yang menyapa dengan ramahnya. Sembari bertanya-tanya, petugas itu memandu saya untuk mengisi formulir yang sudah tersedia. Hasilnya diperlihatkan secara fisik melalui kamera khusus.
‘’Semua sudah beres. Silakan serahkan formulir ke petugas onsite di konter selanjutnya,’’ kata petugas itu.
Virtual customer service system merupakan pengembangan sistem pelayanan pelanggan konvensional menggunakan aplikasi video conference. Layanan ini dibangun untuk mengurangi sebanyak mungkin kontak fisik antara nasabah dengan petugas pelayanan pelanggan.
Prosedur kesehatan untuk mencegah penularan virus Covid-19 memang merekomendasi pengurangan kontak fisik. Maka aplikasi video conference menjadi solusinya.
Membangun virtual customer service system seperti itu tidaklah rumit. Setiap konter pelayanan pelanggan hanya perlu dipasang sebuah mini PC dengan web camera beresolusi HD atau full HD, sebuah ghooseneck microphone dan speaker monitor. Video monitornya menggunakan layar PC berukuran 19 inchi.
Di ruangan pelayanan pelanggan itu terdapat 5 meja. Masing-masing dilengkapi satu set perangkat yang sama. Posisinya berjejer dengan jarak masing-masing 1,5 meter. Sesuai prosedur kesehatan standar Covid-19.
Alat yang sama dipasang juga di konter petugas pelayanan yang berada di ruangan lain. Komunikasi secara online bisa diatur, apakah satu perangkat petugas akan melayani satu perangkat nasabah atau beberapa perangkat nasabah.
Bila melayani beberapa perangkat nasabah, petugas akan memberlakukan sistem antrean menggunakan breakout room meeting. Bila hanya melayani satu nasabah, harus disiapkan perangkat dengan jumlah yang sama. Begitu pun jumlah akun aplikasi video conference-nya.
‘’Wah layanannya canggih betul ini,’’ komentar saya kepada petugas keamanan yang memandu.
‘’Ini fasilitas terbaru kami Pak. Memang paling canggih,’’ jawabnya dengan nada bangga.
Mendengar jawabannya, saya hanya tertawa dalam hati. Ingatan saya melayang ke masa lima tahun yang lalu.
Ketika masih sendirian dalam bisnis penyediaan jasa video conference tahun 2016, saya sudah merancang sistem ini. Sistem itu saya namakan CS Maya. Namun CS Maya tidak direspons pasar. Klien-klien merasa belum memerlukannya.
Pandemilah yang membuat kebutuhan terhadap CS Maya itu muncul dan terus meningkat. CS Maya mulai saya perkenalkan kepada eksekutif Lazismu untuk melayani para muzaki yang hendak menunaikan zakat. Sekarang konsep CS Maya telah menjelma dengan aneka nama.