Curhatnya Ganis Rumpoko, Bikin Nyesek Bacanya, Begini Tulisannya
Kira-kira begitu jawaban Raras, adikku yang masih berusia enam tahun, ketika kutanya ke mana Papa. Hari itu di Liverpool masih menjelang pukul sebelas siang dan aku baru selesai mencuci pakaian saat kudapati wajah mama kosong sembari mengabarkan tentang Papa. Sebagian dari kalian mungkin sudah membaca berita yang beberapa hari lalu berkeliaran di komen blog ini, berikut celoteh cemooh di sosial media ku. Di tengah persiapan kuliahku yang rumit, kabar dari rumah ini pastinya memakan banyak energi. Maaf jika respon atas berita itu baru sempat kutuliskan sekarang.
Masih ingat betul di kepalaku, hari itu Jumat sekitar pukul lima atau enam sore di Liverpool saat Papa menelpon dengan menggunakan video call. Di Batu sudah hampir tengah malam. Papa menunjukkan Raras yang masih loncat-loncat di tempat tidur dan belum menunjukkan kantuk sama sekali. Percakapan seputar apa saja yang dilakukan dan lain sebagainya. Papa bercerita malam itu dia baru pulang dari Pupuk Bawang dan ingin langsung tidur. Sempat kudengar Papa bilang pada Raras, besok hari Sabtu Raras libur dan bisa ikut Papa jalan-jalan.
Untuk itu, ketika kabar itu sampai di telingaku, yang ada di benakku hanya Raras dan aku langsung coba menghubunginya. Tak langsung tersambung, wajah anak itu baru muncul di layar ponsel beberapa jam kemudian dengan senyum tengilnya. Kutanya bagaimana harinya, hingga kutanya apakah hari itu jadi pergi sama Papa. “Kak, Papa itu lho katanya mau ajak adik ke amongtani liat kelinci, tapi terus langsung pergi sama temen-temennya,” katanya sedikit mengadu. Adikku ini memang suka sekali dengan binatang, kalau sudah besar dia mau jadi penjaga kebun binatang katanya. Hampir setiap sore dia main-main ke Balaikota Amongtani Batu untuk bermain bersama kelinci dengan anak-anak lainnya.
Di sini, aku tidak bermaksud membela siapapun. Aku hanya mencoba menuliskan apa yang selama ini kuketahui dan yang pasti sangat amat terbatas karena aku tidak ada di tempat kejadian dan aku juga bukan ahli hukum. Sebatas yang aku tahu, hari itu, Papa tidak punya agenda pertemuan dengan siapapun dan hanya ingin meluangkan waktu untuk Raras yang sedang galau karena Mamanya mengantarku pindah ke Liverpool. Hampir sepuluh tahun Papa menjalankan amanat sebagai walikota Kota Batu, tak ada lain semangat yang beliau ceritakan selain agar bisa membantu yang lain.
“Tadi, Dik, Papa jalan ke desa ini, masyarakat di sana semua senang karena jalannya sudah bagus…”
“Kamu lihat foto yang tadi Papa kirim? Itu SD di Batu, kayak sekolah intersional kan? Itu gratis, Dik…”
“Papa tadi ikut panen lho, Dik…”
Kira-kira seperti itu lah cerita Papa kalau lagi meneleponku malam-malam. Aku yang hampir sepuluh tahun ini banyak berada di luar kota, tak pernah absen mendengarkan kisah gembiranya di Kota Batu melalui telepon.
“Kamu sudah di rumah ini, Dik?”
“Iya lah, Pa, sudah ngantuk,”
“DJ nya siapa yang main?”
“Iya Pa, bentar lagi pulang,”
*OOT dikit ya, bukan OTT*
Pastinya, peristiwa ini sangat seksi untuk diulas dengan bumbu-bumbu manis getir mengundang nafsu klik bait. Dari hampir sepuluh tahun, pernahkah ada judul berita media daring semacam: “Mengejutkan, Sekolah Di Kota Batu Gratis, Siapa Mau Pindah Ke Sini” atau “Enggak Sengaja Hamil? Tenang! Biaya Persalinan Di Kota Batu Gratis lho Ibu-Ibu”? Kalau ada, sepertinya tak akan banyak mengundang apresiasi, begitu di klik, tutup lagi, nggak di-share, nggak komen ke akun personal yang bersangkutan dan keluarga. Beda dengan berita OTT seperti kemarin yang meski tulisannya minim data, bahkan cuma salin tempel akun sosmed (enggak kaget juga sih kalau ada yang ngutip tulisan ini cuma sebagian tanpa konteks terus diberi judul melenceng jauh), langsung banyak menuai komen, share, dan kecaman personal. Aku tidak ingin menyalahkan jurnalis zaman now atau warganet karena memang lebih mudah membicarakan keburukan dari pada mengingat kebaikan. Namanya juga lyfe.
Eh, enggak sepenuhnya betul juga sih. Enggak sedikit juga yang menyampaikan dukungan lewat apapun. Mereka yang bersimpati menuliskannya dengan detail segala kinerja nyata yang telah dirasakan. Sangat disayangkan, aku tidak sampai hati membacanya secara utuh. Kuucapkan terimakasih dan mohon doa untuk segala prosesnya.
Di tulisan yang lain (yang mendadak banyak komen dan share), aku menyebutkan bahwa aku fans-nya KPK. Bagaimana sekarang? Sikapku masih sama, aku mendukung penuh upaya pemberantasan korupsi. Ketika peristiwa cicak vs buaya, kerap kali aku turun ke jalan bersama kawan-kawan yang lain untuk mendukung KPK yang terus menerus dikriminalisasi. Yang aku tahu ketika itu, KPK adalah lembaga negara yang di dalamnya terdapat banyak negarawan arif nan bijaksana. Pernah kulihat di televisi, cara kerja KPK yang heroik seperti FBI dan semua bukti penyidikannya dilaporan secara transpran. Kuharap, dalam kasus ini, KPK masih seperti yang saat kudukung di foto ini. Foto yang sempat menjadi profil picture Papa dan Mamaku. (Ganis Rumpoko)
Advertisement