Curhatan Susahnya Punya Anak Super Pandai
DI antara tamu-tamu saya, hari itu ada dua yang membawa masalah keluarga. Pertama seorang perjaka. Umur 25 tahun. Kerja sebagai operator turbin. Di PLTU Kendari, Sulawesi Tenggara. Gaji Rp 5 juta sebulan. Ia lagi pulang ke Surabaya memanfaatkan cuti satu bulan. Untuk menengok ibunya yang menjanda. Dan mengawini pacarnya yang akan dia ajak merantau ke Kendari.
Kedua, sepasang suami istri yang kelihatan kompak. Mereka kaya. Mapan sekali. Jabatannya tinggi sekali. Di perusahaan swasta raksasa. Di luar itu dia masih punya usaha. Yang juga sangat majunya. Dia pun punya anak. Tunggal. Wanita.
Putri tunggalnya itu luar biasa hebatnya.
Problem tamu yang pertama adalah pacarnya. Yang selama empat tahun terakhir dia tinggal cari-cari kerja. Mencari penghidupan di luar pulau. Ternyata sang pacar menolak kawin. Apalagi akan dibawa ke Kendari. Padahal, si pemuda sudah telanjur beli rumah di sana.
Sang pacar yang tinggal di Caruban, dekat Madiun, rupanya berubah sikap. Tidak mau lagi kawin dengannya. Alasan resminya: tidak mau dibawa ke Kendari. Putri seorang buruh tani miskin itu kirim SMS agar mencari saja gadis selain dirinya.
Jejaka tadi bingung dengan penolakan itu. Waktu belum punya pekerjaan dulu, dia tidak berani melamar. Setelah dapat pekerjaan mapan, lamaran ditolak. Dia sempat berpikir untuk berhenti bekerja. Demi calon istrinya. Dia ingin mencari pekerjaan baru di Jawa. Dia sudah janji kepada ibunya untuk menikah di masa cuti ini. Agar ibunya bisa segera punya pendamping baru. Calonnya sudah ada. Hanya, sang ibu baru mau menikah lagi kalau anak bujangnya itu sudah menikah.
Dia minta keputusan saya. Apa pun yang saya putuskan dia akan ikuti. Saya minta dia saja yang memutuskan. Ini menyangkut kehidupannya. Dia yang paling tahu. Tapi, dia terlalu bingung. Karena menyangkut ibu yang sangat dihormatinya.
Maka saya putuskan: lupakan pacarnya. Kembali bekerja. Rayulah ibunya. Agar segera menikah lagi. Tidak usah tunggu anaknya. Saya jelaskan alasan-alasan saya. Juga cara-cara meyakinkan ibunya.
Saat pamit, dia merasa lega. Masa cutinya tinggal lima hari saja.
Yang tidak kalah rumit adalah tamu kedua. Sebetulnya juga tidak rumit. Bahkan mestinya menyenangkan. Rumah tangganya rukun. Sang suami insinyur mesin. Istrinya insinyur kimia. Bekerjanya di perusahaan raksasa. Jabatannya tinggi luar biasa. Masih pula punya usaha. Bahkan beberapa.
Anaknya satu. Putri. Cantik. Genius.
Lho kan tidak ada masalah.
Saya kaget. Ternyata ada masalah besar. Punya anak terlalu pandai ternyata tidak mudah. Tidak seperti yang kita bayangkan. Atau impikan. Ayah ibunya itu ternyata luar biasa susahnya. Dan ternyata yang lebih menderita lagi adalah anaknya. Mempunyai anak superpandai ternyata tidak mudah. Padahal, saat ini banyak orang tua yang sampai memaksa anaknya agar juara. Ternyata memerlukan kriteria khusus menjadi orang tua bagi anak yang istimewa.
Saya akan menuliskan soal penderitaan anak genius ini minggu depan. Terutama bagaimana si anak ternyata merasa tidak pernah bisa dipahami oleh lingkungannya. Bahkan oleh keluarga sendiri. Suatu saat, tumben, nilai si anak tidak 100. Orang tuanya menegurnya. Si anak mendongkol. Dalam hati. Dia simpan kedongkolannya itu. Dia tidak pernah mau menjelaskan bahwa hari itu dia sengaja menjawab salah. Untuk sekadar ingin merasakan bagaimana rasanya sesekali tidak mendapat nilai 100.
Sebetulnya masih ada beberapa tamu lagi hari itu. Tamu ketiga ini juga membawa masalah keluarga. Tapi tidak perlu saya uraikan di sini. Terlalu biasa. Hanya problem sepele. Bagaimana pemuda ini terlalu dicintai istrinya. Sampai-sampai dia terlibat utang macet di beberapa bank. Dengan jaminan milik istrinya.
Kali ini dia tidak berani bicara pada sang istri. Sayalah yang diminta bicara.
Bagi saya, ini mudah. Saya tidak punya problem psikologis dengan suami istri yang belum punya anak ini. Toh saya baru kenal dia hari itu juga. Dan baru akan kenal istrinya keesokan harinya.
Alhamdulillah. Keputusan saya pun dituruti keduanya. Ini karena mereka sudah mengenal saya bertahun-tahun. Menurut perasaan mereka. Alhamdulillah. Istrinya juga bisa menerima. Toh saya tidak memutuskan untuk memisahkannya. (*)