Curhat Kiai Tarekat, Kisah Gus Yahya soal Mbah Syahid Kemadu
Sebuah pondok yang cukup terkenal dan didirikan kurang lebih pada 1970-an didirikan KH Ahmad Syahid bin Solikan (Mbah Syahid). Pondok ini terletak di jln Rembang-Blora 14 km atau lebih tepatnya di desa Kemadu, Kec. Sulang, Kab.Rembang.
Kini, pondok pesantren ini telah menjadi pondok yang cukup besar dan mempunyai banyak santri dari pelbagai kalangan. Kurang lebih mencapai 1000 santri putra dan santri putrid, menuntut ilmu di pesantren tersebut. Pondok ini sering disebut dengan sebutan Pondok ALHAMDALLAH, karena semasa hidupnya, Kiai Syahid sering menyebut Alhamdulillah, sampai-sampai beliau dijuluki sebagai Kiai Alhamdulillah oleh masyarakat sekitar.
Meskipun beliau mendapat musibah beliau tetap mengucapkan syukur karena beliau selalu menganggap semua itu takdir yang harus di jalaninya dan yang terbaik dari rabb-nya. Kiai Syahid Kemadu selalu menganggap itu semua adalah ujian yang harus beliau hadapi.
Mbah Syahid wafat dengan umur 78 tahun tepatnya pada 3 September 2004 di RSUD Rembang. Sedangkan istri pertamanya, Nyai Hj Sofiyah, wafat pada umur 73 tahun tepatnya pada Mei 1994.
Mbah Syahid wafat meninggalkan seorang istri, Nyai Hj Nur Rohmah Syahid, dan dua orang putra (Gus Rabbi’ Lutfi dan Ning Safiqoh Samiyah). Mbah Syahid akhirnya dimakamkan dipemakaman keluarga tepatnya berada di samping makam istri pertamanya, di pondok pertama yang dibangun (pondok pesantren putra).
Di pondok ini tersedia sekolah Islam (Madrasah) dan sekolah Umum, kedua-duanya diberi nama An-Nuraniyah, yang artinya “HATI YANG BERSIH”.
"Meskipun beliau mendapat musibah beliau tetap mengucapkan syukur karena beliau selalu menganggap semua itu takdir yang harus di jalaninya dan yang terbaik dari rabb-nya. Kiai Syahid Kemadu selalu menganggap itu semua adalah ujian yang harus beliau hadapi."
Ada beberapa kisah terkait Mbah Kiai Syahid Kemadu. Untuk ngopibareng.id, KH Yahya Cholil Staquf, pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin Rembang berkisah tentangnya:
Mbah Kiai Syahid Kemadu menikah dengan Mbah Nyai Shofiyah yang usianya agak jauh lebih sepuh.
"Pada waktu dia disunat, aku sudah ikut rewang", kata Mbah Shofiyah, menggambarkan perbedaan umur diantara beliau berdua. Maksudnya, pada waktu Mbah Syahid disunat di usia kanak-kanaknya, Mbah Shofiyah sebagai tetangga sudah ikut bersama-sama perempuan-perempuan dewasa lainnya membantu orang tua Mbah Syahid mempersiapkan masakan untuk kondangannya.
Mbah Syahid sangat menghormati isterinya.
"Orang-orang itu salah sangka", beliau berkata, "dikiranya aku ini keramat. Padahal yang punya keramat itu sebenarnya ya Nyai --maksudnya: Mbah Shofiyah. Aku bisa begini ini karena Nyai. Kalau bukan karena dia, mustahil aku bisa istikamah ".
Memang, Mbah Shofiyah tergolong kaya-raya. Kebun dan sawahnya luas. Beliau mewakafkan lahan untuk membangun pesantren bagi suaminya dan mencukupi segala nafkah dari panen pertaniannya. Mbah Syahid tidak perlu memikirkan apa-apa selain mengajar santri dan menekuni jalan mendekat kepada Allah.
Belum lama ini, saya melakukan perjalanan selama tiga minggu bersama seorang kyai thoriqoh yang sudah sepuh juga, sebut saja "Mbah Zen" --bukan nama sebenarnya. Itu membuat saya jadi cukup dekat dengannya, sehingga beliau lantas tidak sungkan-sungkan menceritakan berbagai hal pribadi, bahkan curhat.
"Dulu aku pernah mengawini seorang janda kaya", ia berkisah, "Dia yang minta, malah nggrenjik-nggrenjik minta dinikah".
Diam-diam saya jadi iri mendengarnya.
"Pada mulanya kupikir enak, karena dia mencukupi nafkah rumah tangga", Mbah Zen melanjutkan, "Apalagi dia janji mau ngajak pergi haji berdua.... Tapi aku cuma tahan tiga bulan, terus kulepas".
"Dilepas gimana, Mbah?"
"Ya kuceraikan".
"Lho? Memangnya kenapa?"
"Sebagian wadhifah wirid thariqah-ku jadi terbengkelai gara-gara dia".
"Kok bisa gitu?"
“Lha tiap malam dianya minta terus...."
Demikian kisah Gus Yahya Staquf. (adi)