Cultural Lag dan Korupsi
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mulai dipersiapkan sejak era Presiden Abdurrahman Wahid dan dibentuk pada era Presiden Megawati Soekarnoputeri sejauh ini sudah berusaha keras dan bersungguh-sungguh dalam memberantas korupsi. Tetapi kenyataannya perilaku korup masih merupakan gejala yang tidak mudah dijinakkan.
Kenapa korupsi di negara kita sulit diberantas ?
Salah satu pendapat itu bersumber pada apa yang sering disebut sebagai “Cultural Lag", kesenjangan atau kelambatan proses budaya. Pendapat itu sudah dikenal sejak adanya upaya pemberantasan korupsi pada era Orde Baru.
Organisasi modern yang mendasari sistem dan manajemen pemerintahan termasuk institusi pemberantasan korupsi pada dasarnya merujuk pada peradaban Barat yang individualis dan materialistis serta rasionalistis. Tiap individu harus bertanggung jawab atas segenap perbuatannya di depan hukum tanpa pandang bulu.
Menyerap Nilai Barat
Padahal masyarakat kita, meskipun telah banyak menyerap nilai-nilai budaya Barat dalam manajemen pemerintahan melalui sistem pendidikan, tetapi mentalitas budaya masih dipengaruhi oleh nilai tenggang rasa yang cenderung permisif. Meskipun demikian sesungguhnya, tidak ada yang salah terhadap budaya tenggang rasa tersebut.
Persoalannya adalah nilai tenggang rasa yang semestinya menjadi ikatan emosi guna membangun kesetiakawanan dan harmoni kehidupan, diterapkan secara salah. Nilai tenggang rasa itu diterapkan juga untuk hal hal negatif termasuk perbuatan korup yang merugikan masyarakat.
Dalam hal ini bangsa kita mengalami “gagap budaya", tidak bisa secara tepat memadukan rasa tenggang rasa dengan disiplin atau patuh terhadap rule of the game dalam manajemen.
Sudah saatnya kita menyelaraskan nilai rasa tenggang rasa dalam proses manajemen pemerintahan yang berarti tidak ada pandang bulu dalam menerapkan aturan. Hal ini tentu jauh berbeda dalam menerapkan nilai tenggang rasa sebagai tali ikatan dalam kehidupan sosial.
Kita perlu menyadari bahwa ketika menjalankan fungsi manajemen modern, maka nilai peradaban Barat-lah yang kita berlakukan dengan tidak pandang bulu. Sebaliknya dalam kehidupan sosial masyarakat sehari-hari, yang berlaku adalah nilai ketimuran yang diwariskan oleh leluhur bangsa melalui proses budaya.
Perlu ada kesadaran sosial baru bahwa nilai tenggang rasa merupakan dasar terbentuknya masyarakat rukun dan bersatu padu yang bersih dari noda hitam. Sebaliknya perlu ada kesadaran pula bahwa nilai tenggang rasa bukan untuk membenarkan perbuatan tercela, siapa pun yang melakukan hal tercela tersebut.
Ambil nilai yang baik dari budaya Barat dan pelihara nilai budaya bangsa yang relevan dengan zaman. Dan yang tidak boleh dilupakan adalah pandai pandai menerapkan nilai budaya dari manapun asalnya, secara tepat dalam kehidupan.
DR KH As'ad Said Ali
Mantan Wakil Kepala BIN, Pengamat sosial politik, Mustasyar PBNU periode 2022-2027. Tinggal di Jakarta.