Cultural Experience dari Jogja yang Siap Dilejitkan
Anda tahu sumbu filosofis? Pernah dengar istilah tersebut? Bagi yang (pernah) tinggal di Jogja, istilah tersebut tentu sangat akrab.
Tapi, pernahkah membayangkan sumbu filosofis tersebut sebagai atraksi wisata? Menjadi daya tarik wisatawan agar lebih lama tinggal di Jogja. Atau menjadi kekuatan wisata budaya yang memiliki story telling yang kuat?
Bagaimana kalau sumbu filosofis tersebut dikupas oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan pariwisata dan budaya Jogja? Di tengah ramainya virus corona. Seru. Gayeng. Ada yang minta langsung action! Waktu dua jam yang disediakan, molor lebih dari satu jam. Dijadwalkan rampung jam 16.00, acara baru selesai pukul 17.00 lebih.
Bank Indonesia, Dinas Pariwisata, Dinas Kebudayaan, Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) DIY, Diskominfo hingga perwakilan Unesco membincangkan Sumbu Filosofis tersebut dalam Focus Group Discussion (FGD). Tema FGD, Akselerasi Pariwisata DIY: Penngembangan Jogja Cultural Heritage. FGD berlangsung di Aula Besar Bank Indonesia Perwakilan Yogyakarta. Hadir pula sejumlah akademisi.
Mengawal paparan, Pimpinan Bank Indonesia Perwakilan Yogyakarta Hilman Trisnawan menegaskan pihaknya sangat mendukung pelaku industri pariwisata. Mengingat, saat ini, salah satu sumber utama perekonomian adalah pariwisata. “Tapi kami tidak punya kompetensi. Bisanya hanya memfasilitasi atau ngoprak-oprak. Menyiapkan ruangan seperti sekarang ini. Yang tahu apa yang harus dilakukan untuk Yogya adalah Bapak Ibu semua,” ujar Hilman. Merendah.
Hilman berharap dari FGD ini bisa didapat kajian serta isu strategis terkait pariwisata yang bisa diajukan pada Rakorpusda. Rapat Kordinasi Pusat dan Daerah. Dilakukan setiap triwulan. Dalam waktu dekat, yang menjadi bahasan utama Rakorpusda adalah pariwisata.
Kepala Dinas Pariwisata DIY Singgih Raharjo memantik diskusi dengan menjelaskan sumbu filosofis. Sebelum menjadi “Komandan” di pariwisata DIY, Singgih lama di Dinas Kebudayaan. Karenanya, ia begitu fasih mengurai perihal sumbu filosofis ini.
Sumbu filosofis berupa bangunan yang berderet dari Selatan ke Utara. Dari Kandang Menjangan di selatan Pondok Krapyak, kemudian Keraton, dan Tugu di utara. “Sumbu filosofis ini menggambarkan kepiawaian bagaimana menata kota yang baik. Semua yang dibangun di Jogja memiliki alasan kultural,” ungkap Singgih.
Dikatakan, sumbu filosofis itu juga melambangkan proses kehidupan manusia. Kandang Menjangan simbol kesuburan perempuan, di mana manusia berasal. Awal kelahiran. Kemudian tumbuh melalui jalan yang utama. Disimbolkan jalan Margo Utomo. Dan seterusnya. Singgih menjelaskan secara runut dengan mengurai maknanya.
Singgih lantas mengungkapkan perlunya storynomics tourism. Yakni sebuah pendekatan pariwisata yang mengedepankan narasi, konten kreatif dan living culture serta menggunakan kekuatan budaya sebagai DNA destinasi.
Secara tidak langsung Singgih berharap penggarapan sumbu filosofis sebagai kekuatan pariwisata dengan lebih serius. Diperkuat narasi atau story tellingnya. Menjadi daya tarik wisata. Sehingga bisa meningkatkan jumlah wisatawan. Memperlama lenght of stay (waktu tinggal wisatawan) maupun spending money (belanja wisatawan).
Singgih menegaskan, Jogja sungguh sangat beruntung. Karena budaya atau warisan budaya terjaga dengan baik. Baik yang tangible maupun intangible.
Soal keberuntungan ini, Ketua GIPI DIY Bobby Ardyanto, punya kesan yang lain. Sebagai pelaku industri pariwisata di Jogja, Bobby menegaskan, tidak pernah kehabisan produk. Betapa besar dan beragamnya kebudayaan kita. Tinggal bagaimana promosinya dan menjaga produknya terus menarik. Meningkatkan kualitasnya dengan standar internasional.
Lanskap pariwisata terus berubah. Wisatawan tak lagi sekadar sight seeing. Mereka menginginkan experience. “Para wisatawan datang tidak lagi hanya sekadar melihat-melihat. Mereka kini lebih suka ikut menjadi bagian dari budaya setempat,” urai pemilik Joglo Mandapa Butik Hotel ini.
Bobby menyebutkan UNWTO, organisasi pariwisata dunia, memperkirakan 40% wisatawan global melakukan perjalanan wisata dengan maksud mengenali keragaman budaya. “Sekitar 10-15 persen wisatawan dunia menginginkan sesuatu yang baru. Terjadi juga perubahan paradigma pariwisata dunia. Yakni tiga S, serenity, sustainability, spirituality (ketenangan, keberlanjutan, kerohanian).”
Menyambut perubahan seperti itu, Bobby mengusulkan agar story telling diperkuat. Digitalkan. Sehingga memudahkan wisatawan mancanegara untuk mendapatkan cerita yang benar secara mudah. Bobby yakin, story telling Sumbu Filosofis kalau digali, diperkuat, bisa membuat wisatawan bertahan tiga hari di Jogja.
Bobby juga mengajak asosiasi yang berada di bawah GIPI untuk terus membantu mengembalikan identitas (budaya) Jogja. Bagi yang bergerak di kuliner, seperti Perhimpunan Pengusaha Jasa Boga Indonesia (PPJI), Indonesia Chef Association (ICA), Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), bisa memperkuat gastronomi (kuliner) lokal. Sehingga bisa memberi extra ordinary experience bagi wisatawan. “Ini bisa dilakukan untuk memperkuat sumbu filosofis,” tegasnya.
Apalagi, sumbu filosofis ini juga menjadi ‘program unggulan’ Dinas Kebudayaan DIY. Sejak 2017, Dinas Kebudayaan DIY sudah memprogramkan Sumbu Filosofi sebagai nominasi Warisan Budaya Nasional dan Dunia. “Kami sudah mengusulkan Sumbu Filosofi sebagai warisan budaya dunia ke Unesco,” ujar Agus Suwarto, kepala seksi Pengembangan Warisan Budaya Benda Disbud DIY yang hadir mewakili Kepala Dinas Kebudayaan DIY.
Ruby Muhammad Aris dari Indonesian Hotel General Manager Association (IHGMA) mengusulkan dibuat Festival Sumbu Filosofi. Sebuah festival yang dikemas dengan kekuatan story telling dan standar event kelas dunia.
Sedangkan Ike Janita Dewi, akademisi yang juga pengurus GIPI, meminta adanya kepastian atas interpretasi cerita Sumbu Filosofis. Dinas Pariwisata atau Dinas Kebudayaan membuat buku panduan baku mengenai Sumbu Filosofi ini. Ada berapa titik di Sumbu Filosofi, apa maknanya. “Bakukan story tellingnya. Susun dalam sedikitnya dua bahasa,” katanya.
“Ya bukunya harus berstandar sehingga bisa menjadi panduan bagi pemandu wisata. Harus kongkret. Karena membahas hal seperti ini sudah sering. Maka, sekarang yang lebih penting adalah action,” tegas Hari Rachmadi dari Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI).
FGD yang digelar atas inisiatif GIPI dan Bank Indonesia ini merupakan awal dari sebuah sinergitas. Semua yang hadir berharap, sinergitas semakin meningkat. Dan FGD semacam ini bisa menjadi agenda rutin untuk mengurai persoalan yang muncul pada pariwisata DIY.
Secara khusus mengenai Sumbu Filosofi, diharapkan dalam waktu dekat ada tindak lanjut yang bisa dilakukan. Semua yakin, kekuatan sumbu filosofi sebagai cultural experience maupun atraksi bisa menarik wisatawan. Tidak hanya wisatawan domestik, tetapi juga wisatawan mancanegara. Sumbu filosofi ini siap dilejitkan. Siapa tahu bisa menjadi obat lesu pariwisata Jogja. Bahkan Indonesia.
Anda juga tertarik mengeksplore sumbu filosofi? (wan)