Cucu Jantiko
Baru kali ini saya merasa tua usia. Ketika mengikuti rangkaian Haul Muasis (peringatan kematian untuk para pendiri) Lembaga Pendidikan Miftahul Huda, Gogodeso, Blitar, Jawa Timur. Yang digelar di komplek madrasah di desa tempat saya lahir dan besar.
Kebetulan, diantara para pendiri itu adalah bapak dan ibu saya. Bahkan, lahan tempat para warga di sekitar menyekolahkan anaknya sejak 1961 itu adalah waqaf keluarga. Yang sekarang berkembang luasannya sampai 3 kali lipat.
Apa hubungannya dengan perasaan tua? Haul hari minggu kemarin diadakan dengan rangkaian Semaan Alquran rutin Jamaah Jantiko Mantab. Jamaah yang didirikan KH Hamim Jazuli yang kesohor dengan panggilan Gus Mik. Kiai dari Ponpes Alfalah, Ploso, Kediri.
Kiai yang semasa hidupnya dianggap unik –keramat dalam bahasa pesantrennya– itu mendirikan Jamaah Jantiko Mantab tahun 1986. Pusatnya di Ploso Kediri. Tapi kegiatannya merambah ke berbagai kota. Termasuk di Jogjakarta. Di kota ini, dulu jamaah ini dipelopori GPBH Joyokusomo. Adik Sri Sultan Hamengkubuwono X.
Saya hanya sekali bertemu dengan Gus Mik. Pertemuan singkat di Hotel Elmi, Surabaya. Ini hotel yang terkenal menjadi tempat Gus Mik menerima curhatan para santrinya. Santri yang berasal dari berbagai kalangan. Mulai dari tokoh masyarakat, pejabat pemerintah, pengusaha, sampai dengan mereka yang masuk dalam kategori preman.
Karena baru sekali berjumpa Gus Mik, saya belum sempat kecipratan berkah keramatnya. Tapi dari pertemuan itu kemudian saya menjadi “santri” Ploso. Banyak santri yang mengelilingi Gus Mik di hotel Elmi kemudian menjadi orang sukses. Bahkan, Gus Dur – Presiden RI Keempat KH Abdurrahman Wahid– termasuk yang mengakui keramatnya Gus Mik.
Kebesaran Gus Mik sempat melegenda. Pernah menjadi laporan khusus di Majalah Tempo. Gus Dur juga pernah menuliskannya dengan apik di majalah tersebut. Tulisan yang jernih tentang kiprah seorang kiai besar dengan jamaah yang tersebar dari berbagai kalangan. Dengan berbagai “cerita unik dan nyleneh” Gus Mik selama hidupnya.
Majlis rutin Jantiko Mantab berlangsung sehari penuh. Mulai setelah salat Subuh. Dari pagi sampai sore diisi khataman Al-Quran oleh para khafidz (penghafal). Pembacaan kitab suci oleh para khafidz tersebut disemak atau didengarkan para jamaah. Kegiatan itu berlangsung sampai jelang Maghrib. Hanya disela jeda saat salat fardlu dan makan siang.
Begitu maghrib, dilakukan salat berjamaah. Diteruskan dengan pembacaan Dzikrul Ghofilin yang dipimpin Gus Ferry Husnul Maab, cucu pertama Gus Mik. Setelah Gus Mik wafat tahun 1993, Jamaah Jantiko Mantab Indonesia dipimpin putra keduanya Gus Sabuth Pranoto Projo. Gus Ferry adalah putra pertama Gus Sabuth.
Pembacaan Dzikrul Ghofilin berlangsung sampai waktu salat Isya tiba. “Saya lahir setahun setelah Jantiko Mantab berdiri,” kata Gus Ferry. Jadi kini usianya baru 37 tahun. Wajahnya ganteng. Mewarisi kegantengan kakek dan ayahnya. Jika ia bersanding dengan Gus Sabuth, tidak tampak seperti bapak dan anak. Lebih tampak seperti kakak-beradik.
Dalam setiap kegiatan Semaan dan Dzikrul Ghofilin, Gus Ferry tiba sebelum maghrib. Sedangkan Gus Sabuth menjelang Isya. Setelah selesai jamaah Isya, Gus Sabuth dan Gus Ferry baru naik panggung untuk meneruskan bacaan dzikrul ghofilin dan doa khatmil-Qur’an. Rangkaian acara seharian itu kemudian ditutup dengan Tausyiah (nasihat kebaikan) oleh Gus Sabuth. Ketika Gus Mik masih hidup, ia lah menjadi gongnya.
Rasanya, kelak Gus Ferry bisa jadi yang akan meneruskan legacy merawat jamaah yang didirikan kakeknya. Jamaah yang tetap terjaga dan terus berkegiatan mesti pendirinya telah wafat. “Jantiko Mantab ini tidak aneh-aneh. Tidak ikut cawe-cawe di luar kegiatan pengajian. Di luar khataman Al-Qur’an dan Dzikrul Ghofilin,” pesan Gus Sabuth kepada jamaahnya.
Gus Sabuth sendiri tampak sabar melayani jamaahnya. Sejak ia datang, puluhan santri sudah antri untuk bisa bersalaman dan mencium tangannya. Ini memang salah satu adab santri kepada kiai. Apalagi kiai khidmah yang biasa memimpin jamaah thariqah seperti Jantiko Mantab ini. Selesai memberi tausyiah, ia masih menyediakan waktu untuk jamaahnya.
Sambil tetap duduk di atas panggung, ia didatangi para jamaah untuk mendapatkan nasehat secara personal. Sebagian membawa botol minuman untuk didoakan sang kiai. Hampir satu jam, Gus Sabuth melayani para jamaahnya secara stau per satu. Masih tetap dengan duduk bersila di ujung panggung.
‘’Sabar sekali ya Gus Sabuth,’’ kata Choirul Anam, mantan lurah Gogodeso yang ikut dalam kegiatan tersebut. Saat berhadapan dengan jamaah atau santrinya, seorang kiai memang tidak saja menjadi ahli agama. Ia menjadi tempat curhatan dalam berbagai hal. Mulai soal keluarga sampai dengan masalah utang piutang.
Sejak dulu kala, kiai dianggap sebagai tumpuan segalanya. Selain untuk menimba ilmu keagamaan, juga menjadi pengaduan dalam segala masalah kehidupan. Ketika memberi ceramah, kiai –terutama dari kalangan pondok pesantren– biasanya bertindak sebagai motivator seperti seorang coach di komunitas profesional di dunia modern.
Tidak jarang, sepenuh hari-harinya kiai menyediakan waktu bagi para santri-santrinya. Menerima berbagai lapisan masyarakat untuk berkonsultasi dan atau sekadar ‘’sambatan’’ tentang berbagai masalah kehidupannya. Karena itu, banyak kiai yang lebih memahami hati masyarakat ketimbang pimpinan formal lainnya.
Tidak banyak kiai yang berhasil mewariskan karyanya sampai ke anak cucu. Tak sedikit pondok pesantren yang menyurut saat ditinggal kiai utamanya. Tapi tidak dengan Pondok Pesantren Al-Falah Ploso. Ponpes ini semakin besar, meski telah ditinggal pendirinya. Termasuk jamaah Jantiko Mantab tinggalan Gus Mik ini.
Eh, saya sempat usil menanyakan ke Gus Sabuth kenapa majelis semaan dan dzikirnya dinamakan Jantiko Mantab? Apa artinya? ‘’Jantiko itu singkatan dari Jamaah Anti Kolir. Kolir itu istilah untuk kaum miskin, susah, dan kurang beruntung. Sedangkan mantab ya berarti yakin,’’ katanya. Dulu jamaah Gus Mik sebagian memang orang-orang bermasalah.
Yah… dulu kala pernah sekali ketemu dengan Gus Mik yang kematiannya ditangisi ratusan ribu orang. Kini, saya masih dipertemukan dengan cucunya yang meneruskan warisan kebaikan yang telah dibikin kakeknya. Malam itu, dari samping saya melihat sosok Gus Mik di dalam diri Gus Ferry. Ia seperti ditakdirkan menjadi cucu Jantiko.
Advertisement