Cucu dan Mantu untuk Ibu
Cerpen
oleh Dewi Purboratih
Sebagai perempuan normal, sehat dan tak mandul, juga yang cukup terpandang, tak pernah kesulitan keuangan. Boleh kan, kalau aku ingin punya anak?” Tak ada lagi yang mampu kusembunyikan di hadapan Nin, sahabatku.
“Ibu kamu setuju?” Sambil membenarkan letak kacamatanya, Nin tak sabar menunggu jawabanku.
“Saat kusampaikan keinginanku beserta semua alasannya, Ibu hanya berkata, ‘Nak, ini Indonesia!’ Lalu kurasakan pipi kiriku memanas sesudahnya.”
“Lalu …?” tanya Nin, yang tak mampu kujawab.
Setelah sekian lama bertahan, mataku mengembun kembali dalam diam.
***
Malang. Kota yang selalu sejuk, setidaknya bagiku. Tempat kita pertama bertemu masih tampak sama. Sebuah gereja yang megah dan bagus. Tak ada yang menyangka bahwa ada tempat ibadah dengan keindahan arsitektur yang telah tersembunyi di balik kawasan kumuh ini sebegitu lamanya. Berada di tepi ruas jalan aspal selebar lima meter, tempat truk beberapa pabrik mondar-mandir untuk bongkar muat barang.
Tak jauh dari gereja juga ada lokalisasi yang bagi beberapa orang disebut sebagai ponten umum, tempat para supir buang hajat. Sungguh pemandangan yang kontras.
Sama kontrasnya dengan pola pemikiran kita. Aku yang suka kebebasan dan kamu yang sangat konservatif. Namun, memang menarik ke bawah lebih mudah daripada mendorong ke atas. Kau tak cukup kuat menahan diri untuk berkata tidak terhadap setiap hal yang kumau. Termasuk hal-hal yang dulunya menurutmu adalah sebuah dosa.
“Ayo kita menikah!” Suaramu terdengar sangat gelisah.
“Maaf jika caraku keliru, tetapi kita akhiri saja semuanya. Aku ingin menanggungnya sendiri.”
“Kamu di mana? Ayo bertemu!” Kau kembali bertanya.
“Di depan gereja, Zoe. Tak usah repot, sebentar lagi aku pergi.” Segera kututup gawaiku memutus sambungan telepon darimu. Kututup pula kaca mobil dan segera berlalu. Aku ingin mengubur semua kenangan tentang kita. Akan lebih mudah bagimu melupakan aku jika yang kutinggalkan adalah rasa marah dan sakit hati.
Hubungan jarak jauh Banyuwangi-Malang, sebuah gaya berpacaran yang sengaja kupilih. Tepatnya, satu-satunya cara agar aku tidak terlibat dalam urusan tak penting tentang pertemuan rutin yang mungkin akan terlalu sering dan membosankan pada akhirnya. Belum lagi soal kecemburuanmu yang terlalu menyesakkan jika sedang berdekatan. Lebih daripada itu, aku sendiri tak yakin tentang keberadaanmu di hatiku. Jadi, meskipun ada jejak DNA-mu di hidupku sekarang, aku tetap memilih pergi.
***
“Kenapa Ibu berpisah dengan Bapak?” tanyaku dengan nada gusar.
“Bukan karena tak terima dengan keadaan yang timpang, keluarga tanpa orangtua laki-laki, melainkan karena kulihat Ibu begitu lemah mengambil sikap!” lanjutku tanpa peduli perasaan Ibu.
“Kenapa kau mengulangi pembicaraan ini? Tak ada lagi yang bisa diharapkan dari bapakmu sejak Ibu tahu dia masih memiliki hubungan gelap dengan beberapa wanita di masa lalunya,” jawab Ibu dengan ekspresi datar.
“Bukan itu yang aku tanyakan! Ibu sudah menceritakan hal itu berkali-kali! Kenapa setelah aku beranjak dewasa Ibu baru mengambil sikap?!” Sungguh, sebenarnya yang kuharapkan adalah jawaban yang berbeda darinya.
“Kamu tidak di posisi Ibu! Jika Ibu memutuskan bercerai saat kamu masih TK, Ibu kasihan. Ibu tak mau kamu tumbuh dengan status ‘tanpa bapak’! Karena itulah Ibu bertahan! Demi kamu!” Jawaban Ibu masih tetap sama seperti sebelumnya, walau kali ini alis di dahi yang ditumbuhi keriput halus itu mulai menegang.
“Oh ya? Lalu … apakah sejak aku TK hingga Ibu mengurus perceraian kala aku sudah lulus SMA, adakah sosok bapak hadir di antara kita? Tidak!”
“Andai kau tahu perjuangan Ibu!”
“Andai Ibu tahu perjuanganku! Bila waktu bisa diputar kembali, aku akan merasa lega jika Ibu meresmikan perceraian itu sejak aku masih anak-anak. Tak perlu kulihat tangis Ibu selama dua puluh lima tahun! Tak perlu, Bu!”
Pembicaraan kami terhenti seketika. Terantuk pada sebuah keheningan yang riuh oleh pikiran kami masing-masing. Aku pun meningalkan Ibu di ruang keluarga. Kubanting pintu kamar keras-keras. Tak ada drama hujan tangis. Sepertinya air mata kami berdua memang sudah lama mengering oleh sengatan kegetiran hidup.
Sebenarnya, Ibu adalah sosok pahlawan dalam hidupku. Aku ingat setiap hal yang Ibu lakukan untuk memastikan semua kebutuhanku tercukupi dengan baik. Sosok wanita cerdas yang selalu terlihat cantik di setiap kesibukannya. Panutanku yang tak pernah berkata lelah walau aku tahu tidurnya hanya empat jam sehari demi semua kewajiban terhadap anak, serta pekerjaan yang harus tuntas dengan sempurna.
Suatu hari, persis di hari yang sama saat Bapak pergi, kala itu pikiranku belum bisa mencerna semua kejadian dengan logika yang utuh. Kulihat Ibu masih bisa tertawa ketika menemaniku sarapan sebelum berangkat sekolah. Padahal malam harinya kudengar isak tiada putus tatkala telepon dari nomor gawai Bapak berdering. Seorang wanita mengabarkan Bapak tak akan pulang selamanya.
Telepon dari Bapak sendiri juga tak pernah terdengar lagi sejak kali terakhir kulihat dia mengemasi baju-bajunya, persis saat Ibu masih di kantor. Bapak tergesa-gesa. Tanpa kata, pun tanpa tatap mesra. Tanpa pesan. Ibu pun tak bertanya apa-apa tatkala mendapati lemari pakaian bapak, kosong.
“Bapak ke mana Bu? Tadi Bapak membawa koper besar dan mobil baru.” Ibu sama sekali tak menjawab pertanyaanku dan hanya tersenyum mengelus kepalaku sambil memeluk tubuh kecilku begitu erat.
Secara ekonomi, kehidupan kami tak pernah terganggu. Finansial kami tetap stabil, terlebih karena Kakek adalah seorang pensiunan jenderal polisi, dan Ibu adalah seorang konsultan keuangan. Gangguan justru muncul dari lingkungan keluarga. Bukan lingkungan sekolah ataupun masyarakat, seperti yang selama ini dikuatirkan Ibu.
Serangan dari saudara-saudara Ibu terhadapku. Tentu, Ibu tak pernah tahu, hingga menginjak remaja, aku menceritakan semuanya. Itulah yang menjadi awal perang dingin antara kami berdua, aku dan Ibu. Ibu menganggapku terlalu mengada-ada, sedangkan aku menilai Ibu tak peka pun tak bisa mempercayaiku.
Waktu bergulir begitu cepat, tak banyak yang ingin kuingat tentang masa kanak-kanakku. Yang penting uang sekolah beres, nilai bagus dan bersikap sopan, tak ada guru yang akan merepotkanku dengan urusan panggil-memanggil orang tua. Asalkan berperilaku baik dan tak melakukan pelanggaran norma yang serius, maka masyarakat akan bersikap ramah.
Aku merasa tak adil atas stigma bahwa anak broken home selalu rusak. Bukankah banyak pecandu narkoba, perusak gadis, penipu, pencuri yang berasal dari keluarga baik-baik? Orang tua pun lengkap! Generalisasi yang dilakukan masyarakat sungguh merupakan hal menyakitkan bagi orang-orang seperti kami.
“Nak, istilah broken home hanyalah keadaan yang menggambarkan kegagalan orang tua mempertahankan keutuhan rumah tangga. Namun, seorang anak tetap memiliki tanggung jawab atas dirinya sendiri. Maka berhasil atau tidak, menjadi rusak atau baik-baik saja, itu adalah pilihan. Kamu yang harus memutuskan. Kamu pula yang menjalaninya.” Ibu selalu berpesan demikian. Sebuah pengajaran berharga yang juga membuatku frontal terhadap Ibu.
Dari semua hal yang terjadi, aku yakin, kami saling mencintai tetapi mengungkapkannya dengan cara yang sama-sama menyakitkan. Ibu mempertahankan pernikahan hanya karena aku, di sisi lain, aku menyesal Ibu tak menyudahinya sedari dulu jika itu hanya karena aku. Kami merasa terjebak dalam kerumitan yang seolah tak mampu kami urai sendiri.
Bisa saja Ibu memutus belenggu pernikahan itu, tetapi karena aku, dia bertahan. Dia meremehkan ketangguhan hati seorang anak kecil. Semua itu membuatku menyesali keberadaan diriku sendiri. Terlebih karena saudara-saudara Ibu yang membenciku hanya karena wajahku mirip bapak. Pada akhirnya, mereka berhasil membuatku beranggapan bahwa wajahku adalah wajah kutukan. Ya, serangan dari keluarga dekat pasti terasa lebih menyakitkan daripada pandangan miring masyarakat.
“Nda, jika kamu bertanya seribu kali lagi, maka jawaban Ibu tetap akan sama, Nak! Kelak kau akan paham tatkala sudah menjadi orangtua.” Kudengar suara Ibu lembut berbisik kepadaku yang sedari tadi membenamkan diri di bawah selimut. Di ranjang kesayanganku, sesaat setelah aku membanting pintu.
***
“Boleh aku mengetahui alasanmu berkeras hati? Bahkan kau rela meninggalkan ibumu! Nda, pergi dari rumah itu bukan hal baik.” Nin memegang bahuku, mengejutkanku dan memberiku tissue.
“Tumben, ya, kamu bisa menangis.” Nin melihatku dengan heran. Menangis memang hal tabu yang pantang kulakukan di hadapan orang lain, ibuku sekalipun.
“Nin, aku butuh anak. Aku perlu seseorang untukku bisa melalui hari tanpa merasa kesepian. Aku butuh sosok untukku bisa melimpahkan kasih sayang.”
“Kan kamu punya Zoe? Ayolah, tiap orang pasti punya kelemahan!” Nin mencondongkan tubuh rampingnya kepadaku yang duduk di sofa cokelat tua kesayangannya.
“Tapi aku benar-benar tak ingin menikah dengan Zoe.”
“Lantas kau mau menikah dengan siapa? Ada orang ketiga?” Nin terlihat mulai bingung dengan jawabanku.
“Justru itu, bukan dengan siapa pun. Aku memang tak ingin menikah. Jadi aku tak perlu memiliki ketakutan bahwa hidupku kelak akan dikacaukan oleh orang ketiga seperti hidup ibuku. Aku tidak percaya laki-laki. Bahkan Zoe.”
“Tak heran Ibu menamparmu. Di Indonesia, mana ada anak lahir tanpa adanya lembaga pernikahan. Ya, ada sih … tetapi masih dianggap tak lazim. Melawan norma, Nda!”
“Tapi ini hidupku Nin, aku yang memutuskan. Biar aku saja.” Kugosok wajahku dengan kedua telapak tangan. Ada rasa frustasi saat kulihat sahabat dekatku mulai menentangku.
“Jalan yang kau pilih terlalu ekstrem menurutku. Sebagai teman, aku tak bisa mendukung ataupun mencegahmu. Aku tahu persis sikapmu. Yang bisa kulakukan cuma satu. Datanglah ke mari kapan saja kau perlu teman berbagi lelah. Baik atau buruk, kamu tetap sahabatku, Nda. Jangan merasa sendirian.”
“Kau memang bisa diandalkan. Bantu aku memberi kabar tentangku pada Ibu. Aku terlalu malu untuk menyapa, tetapi juga terlalu marah untuk tetap tinggal bersamanya.”
“Baiklah. Sudah berapa bulan?” Pandangan Nin tertuju ke arah perutku.
“Dua bulan ....”
***
“Mama! Ayo kapan kita ke rumah Nenek? Mama bilang akan membawaku bertemu Nenek di hari Natal terdekat, saat aku sudah bisa membaca?” Suara manja Chi membuatku luluh. Namun, aku masih ragu untuk pulang.
“Papa Guru ikut kan, Ma?” Pertanyaannya memancing jawaban yang terlalu pelik untuk disampaikan sehalus mungkin dalam bahasa anak-anak.
“Papa saja, tak usah pakai kata ‘guru’ segala. Kan sebentar lagi kita jadi satu keluarga, Chi.” Sudah satu minggu menjelang pernikahanku dengan Bie, anakku masih memanggilnya dengan sebutan "Papa Guru".
Kali ini aku benar-benar teringat Ibu. Lima kali Natal terlewatkan tanpa sosok yang melahirkanku ke dunia ini. Ada rasa rindu bercampur ragu. Aku rindu saat kami bisa saling bertatap muka setiap hari, tetapi juga ragu bilamana pertengkaran lebih sering terjadi daripada pertemuan kami—jika aku membalas pesan singkat ataupun mengangkat telepon yang selalu berdering setiap hari Senin jam delapan pagi. Hari libur kerja Ibu.
Sebagai orang tua Chi, aku berhasil membesarkannya dengan tanganku sendiri. Tak ada hal yang menurutku kurang ataupun timpang. Aku berusaha sebaik mungkin merangkap sebagai ibu sekaligus ayah yang baik bagi gadis lincahku. Tak jarang aku mengajak Chi pergi bersenang-senang di taman hiburan, taman safari, wahana bermain dan ke mana pun Chi ingin. Membanjirinya dengan banyak hadiah juga sering kulakukan. Bahkan bersikap seperti ibu yang dulu selalu tangguh saat mengurusku. Semua beres.
Egoku memang sempat membusung. Aku merasa menang. Tak butuh laki-laki untuk membentuk sebuah keluarga yang bahagia. Sempat terlintas untuk memamerkan semua keberhasilanku ini pada Ibu dengan berkata, “Lihat Bu, aku tidak menikah, aku punya anak, dan semua baik-baik saja. Aku pun tak perlu menangis semalaman karena pengkhianatan laki-laki.”
Ya, semua beres. Semua tampak terkendali hingga suatu ketika Chi mulai memiliki teman berinteraksi di play group-nya. Namun tentunya sejak saat itu, Chi mulai menanyakan banyak pertanyaan yang inti sebenarnya hanyalah soal keberadaan sosok bernama papa. Tak ada yang menghina Chi, tak ada yang menggunjing Chi, tetapi putri pandaiku ini melihat sendiri sebuah kemewahan teman-temannya yang tak ia miliki.
“Ma, siapa yang jemput dia?” telunjuk Chi mengarah pada para lelaki yang menggendong teman-temannya saat pulang sekolah.
“Itu papa mereka, Sayang,” jawabku enteng.
“Ma, papa itu apa?” pertanyaan sulit dan terdengar serius mulai keluar dari bibir merahnya yang lucu.
“Ma, Chi punya papa?”
“Ma, mengapa di rumah kita tak ada papa?”
“Ma, papa di mana?”
"Ma, papa itu ganteng nggak sih?”
“Ma, apakah papa sayang Chi?”
“Ma, apakah kita bisa beli papa seperti kita beli boneka?”
Sekali dua kali, aku bisa mengabaikan pertanyaan gadis kecil berambut ikal ini. Namun, lambat laun aku tak mampu lagi mencari jawaban terbaik untuk mengobati keingintahuan Chi. Pertanyaan yang tak terpikirkan sebelumnya. Sungguh memberikan kegelisahan, terlebih jika sudah menjadi menu wajib setiap hari dalam setiap waktu kebersamaan kami.
Aku rindu Ibu. Kini aku tahu perasaan Ibu. Aku bisa memahami alasan yang membuat Ibu memilih bertahan hingga aku dewasa. Bukan … bukan kesengajaan untuk menjadikan aku sebagai kambing hitam melainkan untuk memberiku ketenangan. Kini, sikapku, pilihan hidupku telah membuat hidup Chi ada dalam kebingungan yang tak bisa kujelaskan dengan cara sesederhana apa pun.
Aku mendapati sebuah pemahaman yang berusaha Ibu katakan kepadaku tetapi tak bisa menemukan cara yang tepat. Adalah lebih mudah berkata, “Bapak kerja lembur di luar kota.” Daripada berkata, “Bapak? Kamu ndak punya Bapak.” Mataku pedih seketika, mengembun dan basah.
Ternyata, aku tak mampu menghadapi dunia Chi sendirian. Hal ini membuatku perlu terus berkomunikasi dengan Bie, guru pembimbing Chi. Kesabarannya membuatku mampu membuka hati dan membuat gadis cilik semata wayangku memanggilnya "Papa Guru" seiring waktu.
Sikap Bie menunjukkan dengan lugas bahwa masih ada laki-laki baik di dunia ini, pun laki-laki yang tak mudah putus asa seperti Zoe. Bie, membuatku menyerah kalah dan berhasil membujukku untuk pulang, bertemu Ibu, meminta restu.
“Kita perlu memulai semuanya dengan doa dari ibumu. Dia pasti senang melihatmu pulang membawa cucu dan calon menantu. Percayalah, Nda.” Sambil menggendong Chi, Bie berbisik lembut di telingaku, di ibadah malam natal yang keenam.
(Cerpen ini telah dibukukan dalam antologi fiksi “Layaknya Mentari”), AE Publishing, 2020)