Kembang Kempis Pedagang Kampung Pecel Jombang di Tengah Pandemi
Seratusan warga Jombang kompak berjualan pecel. Lokasinya di Desa Sumbermulyo RT 08 RW 02, Kecamatan Jogoroto. Desa yang lebih dikenal dengan nama Kampung Pecel itu kini tak seramai tahun sebelumnya. Pedagang yang sudah puluhan tahun meracik nasi pecel di lokasi itu, kini menjerit akibat pandemi yang tak kunjung menyurut.
Kampung Pecel mulai dikenal sejak 2005. Bupati setempat kemudian meresmikan Kampung Pecel di tahun 2017. Awalnya pedagang pecel hanya berjumlah 50 orang. Lambat laun jumlah pedagang bertambah seiring berkembangnya zaman. “Pada 2017 Kampung Pecel diresmikan Bupati dan pada 2020 jumlah penjual pecel ada sekitar 125,” kata Fuad, Kepala Desa Sumbermulyo kepada Ngopibareng.id pada Jumat, 21 Agustus 2020.
Kampung ini rencananya akan dikembangkan menjadi pusat oleh-oleh serta pujasera. Meski kini rencana ini sedikit tersendat. Covid-19 berdampak pada lesunya pengunjung Kampung Pecel dan perekonomian yang nyaris berhenti.
Mandek Lima Bulan
Ngopibareng.id lantas berkunjung ke rumah salah satu pedagang. Ditemui di dapur tradisionalnya, Suliyatun sibuk menuangkan adonan rempeyek ke dalam wajan berisi minyak goreng. Dengan sabar dan telaten Suliyatun menjaga gorengannya agar tidak gosong.
Dengan wajah penuh keringat Suliyatun mengaku sudah berjualan pecel sejak 20 tahun yang lalu. Wanita yang akrab disapa Mbah Tun itu merintis usahanya dengan berkeliling menggunakan sepeda onthel.
Mbah Tun menjajakan lapaknya di Kebon Rojo. Tempat ini adalah salah satu taman bersantai termasyhur di Kota Santri. “Saya berjualan sejak tahun 2000, waktu itu saya keliling pakai sepeda. Nanti saya berhenti di Kebon Rojo karena pembelinya banyak. Saya biasa mangkal pukul 05.00 hingga 10.00 WIB,” ujar Mbah Tun sambil tangannya cekatan mengangkat rempeyek yang telah matang.
Setelah Kampung Pecel dikenal, jualan pecelnya semakin ramai. Namun titik favoritnya tetap di sekitar Kebun Rojo. Setiap harinya Mbah Tun mengantongi uang Rp 1.3 juta. Namun, setelah diserang pagebluk Covid-19, pendapatannya menurun drastis menjadi Rp 450 ribu.
Pandemi yang penularannya tak kunjung surut, serta penutupan Taman Kebon Rojo memaksa Mbah Tun mandek berjualan selama lima bulan terakhir. Dua minggu belakangan ia mencoba kembali menjual pecel. Mbah Tun sengaja mengurangi porsi jualannya. Sayang, baru dua kali membuka lapak, suara klakson mobil Satpol PP menjadi momok baru, selain Covid-19.
Setiap melihat mobil polisi dari jarak 60 meter, jantungnya berdegup kencang. Mbah Tun bergegas mengemasi rombongnya dan berpindah posisi di seberang lapak mangkalnya. “Sudah jualanyan sepi, omzetnya anjrot eh masih diobrak. Begitu dengar suara tot-tot dan lihat mobil Satpol PP saya buru-buru pindah ke seberang agar bisa berjualan, ” keluh Mbah Tun.
Sementara, untuk bisa bertahan hidup, Mbah Tun bergantung pada penghasilan menantunya yang berjualan bakso. Ia bersyukur, dalam kondisi sulit, ada bantuan bahan pokok dari pemerintah.
“Saya libur sejak Maret sampai Juli. Saat itu saya cuma mengandalkan uang dari menantu yang jualan pentol. Untungnya dapat bantuan beras 10 kilogram, telur, kacang hijau, dan kentang,” rincinya.
Seminggu Libur Tiga Hari
Berbeda dengan Mbah Tun, penjual pecel lainnya Marwati memilih tetap berjualan dengan sistem libur tiga hari. Dengan mengenakan daster hijau, Marwati menceritakan sehari-hari menjajakan pecelnya di area Kebon Rojo. Kendati diimbau tidak boleh berjualan karena Covid, Marwati tak punya pilihan lain.
Marwati yang berjualan sejak tahun 1982 mengaku sedih lantaran sepinya pembeli. Hal tersebut berpengaruh pada fisiknya dan membuatnya sering merasa pusing. Jualannya sering tak habis. Daripada mubazir sayuran pecel itu ia berikan ke teman atau sapi ternaknya.
Seperti Mak Tun, ia juga takut dengan Satpol PP. “Saya bingung kalau nggak jualan makannya bagaimana, tapi jualan kok sepi. Akhirnya saya akali tiga hari libur kalau sepi. Saya pusing, kalau ada Satpol PP saya gemeteran dan sangat takut kalau diobrak,” keluh Marwati.
Untuk menyokong kebutuhannya, Marwati sempat berjualan aneka bothok. Pendapatan dari berjualan pecel tak mampu mencukupi kebutuhannya. Bahkan Marwati harus meminjam ke saudara agar bisa berjualan.
Uang dari pemerintah sejumlah Rp200 juga tak sanggup menutup pengeluarannya. “Dulu sebelum ada Corona sehari bisa Rp270 ribu, sekarang cuma Rp40 ribu. Uang segitu nggak bisa buat makan dan jualan. Saya dapat Rp 200 dari pemerintah tapi juga nggak cukup, akhirnya saya sampai pinjam-pinjam adik,” tutupnya.
Sementara Fuad, Kepala Desa Sumbermulyo tak berhenti mengusulkan warganya agar mendapat bantuan dari pemerintah. Baik dari tingkat kabupaten pun provinsi. “Desa membantu mengusulkan agar warga menerima bantuan. Sudah 95 persen warga kami dapat bantuan dari BLTDD, Kemensos dan provinsi,” tandasnya.