Covid-19, Vaksin dan Gerakan Ultra Liberal
Serbuan Covid-19 varian Delta yang sempat mengagetkan banyak negara termasuk Indonesia mulai surut, meskipun bukan berarti ancaman Covid-19 telah berakhir karena virus terus bermutasi menebar ketakutan.
Berdasarkan sukses story sejumlah negara khususnya Amerika Serikat dan Inggris, Covid-19 memakan korban minimal manakala suatu negara telah menginjeksi warganya dengan “Vaksin”. Besarnya jumlah vaksin yang dibagikan ke masyarakat berbanding terbalik dengan jumlah angka kematian karena Covid-19.
Semakin banyak vaksin dibagikan, semakin kecil jumlah angka kematian warga masyarakat karena telah tercipta “imunitas kelompok”. Kebijaksanaan Indonesia untuk terus menggenjot vaksin sudah tepat dan sedang berproses menuju 70 juta orang.
Selanjutnya bagaimana menjaga proses tersebut secara konsisten agar mencapai 70 persen jumlah penduduk, meskipun persoalannya tidak sederhana mengingat produksi vaksin dunia yang terbatas dan adanya kendala persoalan koordinasi pusat dan daerah serta antara daerah tingkat satu dg tingkat dua.
Vaksinasi-Prokes-Disiplin Masyarakat
Tapi vaksin saja tidak cukup, diperlukan disiplin masyarakat yang kuat dalam menerapkan prokes. Disiplin sosial menjadi suatu yang mahal seperti yang kita rasakan, sulit diterapkan. Selama ini kita alpa mendidik disiplin sosial, terutama kurangnya suri tauladan para elite. Padahal, ibadah khususnya salat lima waktu menjadi contoh bagaimana disiplin itu berjalan secara instan dimana makmum mengikuti gerakan imam dengan tertib secara otomatis, suatu kesadaran patuh terhadap norma tanpa dipaksa oleh siapapun.
Kelemahan masyarakat lainnya yang terbaca selama Covid- 19 adalah mudah terpengaruh asing. Anjuran atau gerakan anti-vaksin, dan masker serta tidak percaya virus merupakan pengaruh gerakan politik dari luar negeri yang dikenal dengan Kelompok Ultra Liberal. Gerakan itu muncul dari internal kaum Neo-Liberalisme sendiri setelah melihat realitas bahwa kaum Neo-Lib gagal mengendalikan globalisasi.
Ternyata globalisasi lebih menguntungkan kaum konglomerat tertentu (a.l. Bill Gate & Rockefeller) karena mereka bisa memindahkan modal dan kegiatan usaha kesuatu negara lain yang lebih menguntungkan. Dan secara tidak terduga Republik Rakyat China mengambil manfaat lebih besar, tampil sebagai raksasa ekonomi dunia.
Kaum Ultra Liberal tersebut menjadikan para konglomerat itu sebagai “kambing hitam" dituduh sebagai biang keladi Covid-19 bekerja sama dengan WHO. Suatu tuduhan yang absurd dan karena asumsi konyol inilah Donald Trump memutuskan negaranya keluar dari WHO.
Bukankah musuh Neo-Lib (peradaban Barat) menurut Fransis Fukuyama adalah budaya Timur (China, Jepang, India) dan Islam (Timur Tengah & Asia Tenggara)?. Jangan heran tokoh Ultra Liberal Amerika: Donald Trump mengumumkan perang dagang lawan China yang menjadi saingannya, anti-Islam dan mendukung gerakan White Supremacy menekan warga kulit berwarna. Inilah ciri utama gerakan tersebut, kenapa sebagian kita mau terpengaruh ?.
Ultra Liberal menganggap Covid diciptakan oleh konglomerat global (mereka menyebutnya iluminati) , suatu pihak yang memperoleh keuntungan besar dan dianggap bertanggung jawab mundurnya ekonomi negara kulit putih tertentu khususnya AS dan negara Anglo Saxon. Terjadi apa sering kita dengar dengan “proxy war” atau teori konspirasi yang canggih. Padahal sebenarnya konflik diantara internal kaum Neo-Liberalisme itu sendiri.
Mengendalikan Globalisasi
Gerakan anti-vaksin dan Covid-19 di seluruh dunia termasuk di Indonesia, merupakan bagian dari upaya mereka untuk mengendalikan globalisasi demi kepentingan White Supremacy. Pro dan kontra terhadap isu Covid-19 dan Vaksin berlangsung di seluruh dunia. Di Amerika misalnya Gubernur California (Partai Republik) menolak kebijakan Pemerintah Federal (Demokrat) tentang kebijakan keharusan memakai masker, suatu pertentangan antara Partai Demokrat versus kelompok radikal dalam Partai Republik (Donald Trump cs).
Kenapa kita di Indonesia khususnya sejumlah kaum intelek terpengaruh oleh agenda Kelompok Ultra Liberal ? Tentu saja sesuai azas demokrasi perbedaan pendapat tidak dilarang, tetapi dalam hal ini suatu perbedaan yang tidak produktif. Covid-19 adalah suatu masalah atau realitas yang harus diatasi bukan sekadar untuk diperdebatkan.
Kita mengambil pelajaran dari Amerika Serikat, tokoh Ultra Liberal Presiden Trump tidak terpilih lagi sebagai Presiden karena kegagalannya mengatasi Covid-19 yang bersumber pada pandangan politiknya yang ultra liberal. Presiden Joe Biden sebaliknya meyakini Covid-19 harus dibasmi dengan kebijakan yang rasional dan pragmatis. Hanya kurang dari 6 bulan, Biden mampu membalik keadaan, mengebut injeksi vaksin dan kini menuju normalisasi kehidupan. Trump dihukum oleh rakyatnya terlempar dari kekuasaan.
DR KH As'ad Said Ali
Pengamat Sosial Politik, tinggal di Jakarta
Advertisement