Covid-19: Jangan Salahkan Rakyat Lagi!
Sangat menyedihkan dan teramat menjengkelkan ketika mendengar seorang pejabat tinggi negara dengan entengnya menyalahkan rakyat ketika angka penduduk Jakarta yang terjangkit Covid-19 melonjak pesat. Dengan ketus ia menibankan kesalahan utama kepada rakyat penduduk Jakarta yang saat lebaran lalu pulang mudik. Padahal sudah dihimbau (baca: diminta keikhlasannya), tahun ini untuk tidak pulang mudik dulu.
Mendengar celetukan yang mengecewakan ini saya jadi ingat idiom bahasa Inggris yang menyindir seseorang yang asal buka mulut.."Look who’s talking..?”. Seharusnya ia malu karena kehilangan kewibawaan dengan bukti rakyat tak menggubris himbauannya. Apa sang pejabat ini lupa bahwa para petinggi negara di tingkat pusat dan daerah sempat blingsatan mengeluarkan arah kebijakan yang ditangkap rakyat tanpa kepastian karena serba simpang siur. Yang satu bilang jangan, yang lain membolehkan asal…ini pun tidak jelas. Bepergian dilarang, tempat hiburan dan wisata digelar…dan masih banyak lagi yang aneh-aneh.
Kian membuat geleng-geleng kepala mengingat dulu sang pejabat begitu yakin bahwa apa yang telah ia lakukan mencegah penyebaran virus Covid-19 dan varian barunya, seakan sudah baik, maksimal, dan teruji. Dipastikan pejabat sejenis ini pasti gemar dan bangga mengumbar angka penyebaran virus Covid yang berhasil dicegah dengan memajang angka statistik korban Covid yang beberapa bulan lalu menunjukkan penurunan dengan nilai jumlah korban yang terjangkit relatif rendah.
Namun ketika tiba-tiba angka korban melonjak drastis, sang pejabat yang lihai cuci tangan di arena politik dengan mudah menyalahkan rakyat yang tidak disiplinlah, mungkin jengkel karena varian baru virus (Covid delta) yang datang tanpa pemberitahuan, alias kulonuwun. Kalau toh yang diekspos lonjakan dikarenakan hadirnya Covid versi mutakhir (delta), dari hasil laporan para dokter di lapangan, mayoritas yang terdampak masih dalam kategori virus Covid-19 sebagaimana yang sudah-sudah.
Yang sebenarnya sangat tidak lucu ketika ketika sang pejabat seenaknya menyalahkan rakyat. Dalam hati saya bertanya; mengapa harus kaget bos? Tanpa adanya mudik lebaran pun, lonjakan angka korban setiap saat bisa terjadi. Lonjakan yang terjadi dan bakal terjadi lagi adalah sebuah keniscayaan. Pasalnya sangat mudah diruntun. Lha, jumlah korban dengan angka rendah yang diperoleh selama ini diperoleh dari mana? Jangan-jangan diperoleh dari cara metode sampel ala hitungan lembaga survei saat melakukan hitungan dalam perhelatan Pilkada, Pilpres, di setiap Pemilu digelar.
Sampel lembaga survei menghitung suara peminat si A, B,atau C, memang bisa dijadikan rujukan yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah-akademis. Rujukan sumber data diperoleh dari jumlah penduduk-pemilih berdasarkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang terdaftar dan tercatat secara pasti, tetap, dan baku. Perbandingan pun dapat disimpulkan dari hasil olahan data yang ada dan tersedia. Pertanyaannya; bagaimana menentukan jumlah persentase korban Covid, di Jakarta misalnya? Taruhlah dari 10 juta warganya saja, berapa sih yang sudah melakukan atau dijaring untuk didaftar sebagai yang sudah melakukan PCR?
Jangankan melakukan tes PCR yang biayanya cukup mahal dan tak terjangkau bagi mayoritas penduduk, untuk yang melakukan tes Antigen yang lebih murah pun, masih terlalu mahal bagi mereka. Karena dalam beberapa hasil investigasi lapangan, mayoritas dari penduduk Jakarta mereka lebih memilih uang yang ada digunakan untuk membeli beras dan lauk pauk menjadi pilihan mereka. Nah kalau data yang tersedia hanya dari mereka yang sudah terdaftar melakukan PCR dan Antigen atau pun yang sudah terpapar yang jumlahnya tidak memadai untuk dipakai sebagai data yang mewakili realita lapangan, maka angka yang dihasilkan pun cenderung angka yang bisa dikategorikan sebagai angka abal-abal.
Oleh karenanya, lonjakan korban bisa kapan saja terjadi. Lonjakan ini menjadi sebuah keniscayaan karena datangnya dari jumlah kerumunan manusia yang tak terdata dan tak diketahui, apa, siapa, dan bagaimananya. Ditambah dengan tebaran yang berasal dari jenis virus Covid-19 yang sudah bermutasi dan lebih canggih menyebarkan wabah, tidaklah mengherankan lonjakan pun bisa terjadi sangat tiba-tiba, kapan saja, dan tak terduga. Tak terduga karena tak terdeteksi atau tak diketahui berapa riilnya jumlah penduduk yang terbebas dan terhimbas oleh Covid-19.
Untuk secara maksimal meredam amukan Covid-19, kita terlalu miskin untuk bisa berbuat lebih jauh. Betapa ngeresnya hati ini ketika mengetahui bahwa Joe Biden mengajukan anggaran pemulihan ekonomi Amerika kepada Kongres dengan nilai angka yang terdengar sangat menyesakkan dada..3 triliun dollar AS (Rp42.000 triliun). Alokasi untuk memerangi Covid tentunya dianggarkan sangat besar. Begitu juga dengan Eropa, dan apalagi Jepang. Rata-rata mereka berani menyediakan dana pemulihan ekonomi semasa gempuran virus Covid yang jumlahnya rata-rata dengan nilai dua digit dari GDP mereka. Bagaimana dengan kita? Sangat dan teramat jauh…sekali!
Indonesia hari ini hanya mampu menyediakan dana pemulihan ekonomi sekitar Rp800 triliun (plus minus 50 milar dolar AS) setara plus minus 4% GDP. Dana memerangi Covid-19 termasuk di dalamnya. Sangat kecil dan memprihatinkan. Dipatok tidak lebih 4% dari nilai GDP kita. Sementara itu bayangkan, pada saat Krisis 98 terjadi, pemerintah melakukan kebijakan penyelamatan perbankan (bailout) senilai setara plus minus GDP tahun 1997 atau plus minus GDP tahun ’98. Dan hebatnya yang menikmati fasilitas dan keuntungan program ini adalah para pemilik bank dan perusahaan-perusahaan besar yakni; para cukong-konglomerat yang waktu itu perusahaannya dalam keadaan sekarat. Hasilnya, mereka sekarang kembali gemuk dan berjaya, sementara rakyat komunitas penanggung hutang negara, tetap hidup dalam pemiskinan, kemiskinan dan sakit-sakitan sosial ekonominya.
Dengan bertahan seperti yang dianggarkan oleh menteri keuangan kita, seperti gambaran di atas, kemenangannya memang ekonomi kita dinilai baik, stabil, dan prima. Menterinya pun mendapat gelar Menteri Keuangan terbaik dunia dari lembaga internasional. Hanya saja diperoleh atas bayaran mahal rakyat yang hidup menderita, sakit-sakitan, mati tak mau. Begitu pun banyak perusahaan Zombie bertebaran karena yang mereka perlukan adalah suntikan dana segar untuk bertahan hidup. Eh yang diberikan pinjaman-hutang yang pasti menjadi beban mereka untuk dibayar kemudian hari. Sementara sekarang ini, pendapatan mereka terus melorot, terancam bangkrut.
Dengan realita di atas, kepada penyelenggara negara, dalam hal ini pemerintah, sudahilah alokasi dana untuk penggencaran pembangunan di sana-sini yang sifatnya tidak mendesak dan lebih sebagai proyek mercu suar. Negara miskin yang dimiskinkan oleh sistem dan gaya hidup kita sendiri hendaklah diterima sebagai kenyataan, bahwa kita tergolong negara tidak kaya tak punya dana. Sementara mencetak uang pun tak ada keberanian.
Terobosan ekonomi yang revolusioner tak mungkin dilakukan karena bertahan dalam citra ‘ekonomi Indonesia’ par excellence sangatlah penting sebagai pencitraan. Dengan ‘cost’ atau harga yang harus dibayar dengan mengorbankan rakyat hidup dalam penderitaan panjang pun dilakukan, demi menyelamatkan APBN yang stabil dan selalu tampil prima. Termasuk utak-atik pajak yang membuat ekonomi rakyat semakin kelabu. Pertanyaannya; mana yang perlu diselamatkan, APBN-nya, atau rakyatnya terlebih dulu dan paling utama?
Dengan kenyataan ini sebaiknya warga yang sadar akan pentingnya membangun civil society yang kuat, bersatu dan bergotongroyonglah secara bersama memerangi Covid-19 kali ini. Mengharap terlalu banyak dari pemerintah semata akan membuat bangsa ini semakin masuk dalam ancaman bahaya kekacauan yang bisa muncul tiba-tiba. Hal yang sangat mungkin ditimbulkan oleh amok massa yang frustrasi hilang kesabaran sehingga memompa amarah rakyat yang tergerus oleh kemiskinan di jalan buntu tanpa kejelasan solusi.
Sebagai himbauan, dari pada menjelek-jelekkan sana-sini, termasuk bawel percuma mengkritisi pemerintah, sebaiknya kita bersikap menjalankan tugas sebagai warga negara yang baik dengan cara hidup bergotong royong melawan Covid sambil memperkecil ruang pelebaran kemiskinan.
Tentunya dengan jalan berbagi. Setidaknya cara ini yang saya ambil di lingkungan terbatas. Saya mulai dari kehidupan di sekitar rumah tinggal saya dengan sebatas kemampuan, untuk kemudian dikembangkan lebih luas dan lebih melebar lagi sesuai kemampuan!
*Dikutip sepenuhnya dari Watyutink.Com
Advertisement