Covid-19 di Indonesia Membaik Disebut Ilusi, Ini Penjelasannya
Narasi kasus Covid-19 Indonesia semakin membaik, banyak muncul baik dari pemerintah pusat maupun lokal. Pandemic Talks membuat analisis kondisi kasus yang tampak semakin turun dengan fakta rendahnya penerapan testing dan tracing yang dilakukan pemerintah untuk menangani wabah Covid-19.
Diketahui selama delapan bulan pandemi, Indonesia baru memeriksa 1,6 persen dari total populasi. Berdasarkan data dari Worldometer per 28 Oktober 2020, Indonesia menjadi negara terendah dalam persentasi populasi yang telah dites, di bawah Amerika Serikat, China, Brazil, India, bahkan Pakistan dengan jumlah tes mencapai 2,0 persen dari total populasi.
Angka sebenarnya, per 28 Oktober, Indonesia sudah memeriksa total 4,4 juta orang, Pakistan sebanyak 4,3 juta orang, Brazil sebanyak 21,9 juta orang, India sebanyak 105 juta orang, Amerika Serikat sebanyak 135 juta orang, dan China mencapai 160 juta orang diperiksa.
Selain itu, jumlah rerata orang yang dites sepanjang Oktober cenderung turun. Di awal Oktober, rerata jumlah orang yang diperiksa mencapai 40 ribu per hari, namun terus menurun menjadi 20 ribu per hari di minggu keempat Oktober. Rerata tes Covid-19 di tiga pekan terakhir yaitu 33.990, 28.291, dan 27.841 per hari.
Menurut Pandemic Talks, data ini menunjukkan jika kapasitas tes di Indonesia tidak konsisten dan jauh dari batas standar minimal kapasitas tes sebanyak 38.500 orang per hari.
Temuan lain, tes nasional tidak merata dan sebagian besar terpusat di DKI Jakarta mencapai 45 persen. Sedankan populasi di Jakarta kurang dari 5 persen penduduk Indonesia. Hal serupa juga terjadi pada sebaran laboratorium rujukan Covid-19 yang terpusat di Jawa. Sebanyak 90 dari 164 laboratorium atau 54 persen dari total laboratorium Covid-19 berada di Jawa. Sebanyak 21 persen atau 35 laboratorium pemerintah ada di Jakarta.
Lainnya, angka suspek terus meningkat dengan jumlah mencapai 169.833 pada 28 Oktober. Sementara di hari yang sama, terdapat 27.334 orang yang dites Covid-19. "Selisih yang tinggi antara suspek dan orang yang dites menandakan bahwa kapasitas tes PCR belum memadai dan tidak adekuat untuk mengejar derajat transmisi wabah," tulisnya.
Belum lagi permasalahan testing. Masalah lambatnya proses testing dengan hasil PCR keluar hingga 1 minggu masih terjadi, diikuti kapasiatas tes rendah, dan tracing yang buruk dengan rata-rata 3 orang kontak erat dengan pasien Covid-19.
Sedangkan tracing standar WHO harus dilakukan minimal kepada 30 kontak erat. "Implikasinya, data tidak akurat, suspek makin menumpuk, pelacakan kontak terhambat, penanganan terlambat, transmisi wabah tidak terkontrol," tulisnya lagi.
Berbagai hal itu menyebabkan munculnya ilusi kasus yang cenderung menurun lantaran data tidak menggambarkan kondisi yang sebenarnya, dan kapasitas testing seolah meningkat. "Memberikan rasa aman palsu yang akan mengurangi kedisiplinan masyarakat terhadap protokol kesehatan," lanjutnya.
Kawal Covid-19 pun menyarankan sejumlah perbaikan strategi testing, yaitu peningkatan kapasitas laboratorium di luar Pulau Jawa, meningkatkan tes PCR pada kontak erat, serta tidak menggunakan rapid test antobodi pada suspek dan kontak erat.