Cor Perunggu Bejijong Menembus Eropa
Menyimpan sejarah masa lalu kerajaan Majapahit Kabupaten Mojokerto cukup mendapat warisan tak ternilai. Selain situs-situs sejarah, masyarakat di daerahnya menjadi orang-orang kreatif.
Mereka menangkap idiom-idiom Majapahit kemudian dijadikan aneka
usaha. Bidang kerajinan utamanya. Pasar pun lantas merespon. Tak heran, jika akhirnya mancanegara menjadikan Mojokerto sebagai jujugan berburu kerajinan yang berbau Majapahitan.
Biar saja perang dagang yang berkecamuk antara dua raksasa ekonomi, AS dan China. Tak usah dipedulikan. Kalau dipedulikan 32 ribu pelaku UKM (Usaha Kecil Menengah) di seluruh Mojokerto bakal kena imbas. Bakal kena dampak. Puluhan ribu orang juga akan ngganggur kalau hanya mikirin dua raksasa itu berseteru.
Dari puluhan ribu UKM itu memang tak banyak yang mampu menembus pasaran ekspor. Tapi ada di antaranya sakti mandraguna hingga produknya melenggang leluasa ke pasaran dunia.
Dari yang tidak banyak itu kerajinan cor perunggu masuk dalam kategori yang bisa diandalkan. Produksinya jadi jujugan kolektor mancanegara.
Cor Perunggu memang memiliki daya pikat lebih di ranah usaha kecil menengah. Wajar kalau akhirnya mampu menciptakan pasar sendiri di beberapa negara Eropa.
Prestasi yang sudah ditorehkan ini tinggal menggali, memoles, serta terus mengembangkan potensinya untuk meraup pasar ekspor yang lebih lebar.
Salah satu cor perunggu dengan pasar mendunia itu adalah milik Supriyadi. Aktivitas UKM ini di Jalan Mariyoen, Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto.
Mengusung motto pelopor generasi muda berbasis Mojopahit, para seniman perajin perunggu ini mewadahi
komunitasnya dengan nama Sanggar Bhagaskara.
Masing-masing perajin ternyata memiliki keahlian turun-temurun. Usaha mereka menggeliat sejak tahun 1998. Saat itu hanya bermodal 2 juta Sanggar Bhagaskara kemudian mengembangkan seni cor perunggu yang sebelumnya lesu.
Kerja keras itu membawa hasil. Semula produksi cukup dihandel dua perajin saja. Mulai produksi hingga memasarkan produk. Namun kini model seperti tak sanggup lagi. Sekarang Sanggar Bhagaskara menghidupi 125 perajin.
Semula penjualan dilakukan dari pintu ke pintu. Pekerjaan yang sebenarnya ganda. Selain mengenalkan produk, sekaligus menjual barang untuk kelangsungan produksi.
Seiring terciptanya pasar yang lebih lebar, produk cor perunggu Bejijong kini sudah banyak dipajang di negara-negara di Eropa, sebagian Asia. Di antaranya negeri Belanda, Jerman dan Jepang.
Menjadikan perunggu sebagai barang seni, apalagi kualitas ekspor, bukan perkara mudah. Jelimet malah. Utamanya perkara desain. ”Itu terjadi jika pemesan membuat desain sendiri,” kata Supriyadi.
Perajin berkewajiban membuat sesuai desain setepat-tepatnya. Tak ada toleransi meleset walaupun hanya seinchi.
Jika desain berdasarkan kreativitas relatif lebih lentur. Produksi tinggal mengikuti trenpasar. Sedang jika ingin desain idealis, idiom Majapahitan menjadi pilihan untuk digarap
karena menjadi ciri khas.
Dikatakan Supriyadi, satu-satunya penghambat produksi cor prunggu adalah pengadaan bahan baku. Karena ini terkait dengan ketersediaan modal. Untuk perunggu sendiri bisa
didapatkan kapan saja, bahan melimpah.
Bentuk-bentuk produksi cor logam yang diminati pasar, sampai sekarang relatif belum beranjak, yaitu bentuk klasik Majapahitan, Budha, kontemporer, dan juga bentuk abstrak.
Untuk cor perunggu, yang paling penting adalah cetakan cor. Cetakan harus sama persis dengan desain pemesan. Proses lanjutnya, cetakan direpro dengan bahan malam, sejenis bahan lilin. Kemudian dibungkus tanah liat. Setelah mengering, tanah liat baru dibakar, untuk menghilangkan malam.
Setelah itu baru dituang logam. Pengecoran selesai, tanah liat lantas dihancurkan, baru kemudian terlihat bentuk hasil cor.
Berikutnya adalah finishing, lalu pewarnaan. Kendati pasar ekspor sangat menjanjikan, produksi seni perunggu bukannya tanpa kendala.
Yang terbesar adalah soal permodalan. Masalah modal menjadi sensitif, karena produksi UKM ini bisa dikatakan menggunakan biaya tinggi. Terhitung mulai pengadaan bahan baku, hingga ke tangan konsumen, semuanya berbiaya besar.
Untuk pemasaran produk masih mengandalkan jaringan, selain harus tetap merawat pasar yang sudah ada. Seiring dengan kemajuan dunia digital dan teknologi informasi, menggarap pasar melalui dunia maya menjadi hal yang wajib.
Kendala yang lain adalah masalah harga. Persaingan tidak sehat dalam menentukan harga, membuat produksi tidak tumbuh sehat. Perajin atau UKM menjadi tak diuntungkan. Justru para pihak ketiga yang menangguk keuntungan paling besar.
Hingga saat ini Bali, Jakarta dan Jogja adalah mata rantai bagi datangnya para kolektor. Meski tak jarang buyer-buyer asing langsung datang ke tempat. Dalam sebulan, omzet produksi bisa mencapai Rp75 juta.
Untuk harga yang paling murah, desain kepala Budha misalnya, mulai harga Rp 30 ribu sampai harga tak terhingga mahalnya. widikamidi
Advertisement