Cipta Mahfud-Ramli
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfudz MD geram. Setelah dituding sebagai penjilat oleh ekonom yang juga mantan menteri Rizal Ramli.
Inilah gegeran antara dua orang akademisi yang juga mantan aktivis. Hanya satu berada di pemerintahan, satunya lagi di liar pemerintahan. Mahfudz sebagai menteri. Ramli mantan menteri.
Rizal Ramli pernah menjadi menteri di kabinet Presiden Joko Widodo. Tapi hanya sebentar. Setelah gegeran dengan sesama menteri tentang pengembangan Blok Masela di Maluku.
Ramli terpental. Ia kembali menjadi pengritik keras pemerintah. Bisa disebut paling wahid. Apa pun dari pemerintah di matanya salah. Demikian juga apa pun yang keluar dari Mahfudz MD.
Terakhir ia intens mengritik menteri asal Madura itu. Setelah lahir Perpres tentang Cipta Kerja. Dia kutip pernyataan Mahfudz dulu saat mengomentari Pilkada. Yang dikatakan saat ia masih menjadi Ketua Mahkmah Konstitusi.
Saat itu, salah satu kader Gus Dur itu mengatakan dengan sistem seperti saat itu, malaikat pun bisa jadi iblis. Artinya, sistem pemerintahan yang ada tidak ada ruang bagi orang untuk baik di dalamnya.
Pernyataan itu yang dipelintir Rizal Ramli melalui cuitan di akun twitternya. Seakan ia menyamakan Mahfudz MD, pejabat yang dikenal tak punya urat takut itu telah juga menjadi iblis.
Tak hanya itu. Dalam beberapa cuitannya, Rizal Ramli terkesan menempatkan sikap Mahfudz MD soal UU Cipta Kerja sebagai bagian dari kemerosotan independensinya sebagai akademisi setelah ia menjadi menteri.
“Saya kadang-kadang sedih membaca beginian. Ternyata, bobot intelektual kawan saya Mahfud MD semakin merosot. Luntur di mesin cuci kekuasaan. Ironi!” ucap Ramli.
Ia lantas menyebut para tokoh zaman pra dan paska kemerdekaan yang telah teruji integritas, karakter, dan keberpihakannya pada rakyat. Misalnya, Mohammad Hatta, Dr Tjipto, Natsir, dan Agus Salim. Juga Ir Sutami, Jend Hoegeng, Prof Mahar Marjono, Prof Slamet Iman Santoso, dan Prof Koesnadi Hardjasoemantri,
“Omongan kawan saya Mahfud bahwa semua orang akan berubah dari Malaikat menjadi setan setelah masuk kekuasaan adalah penghinaan terhadap sejarah tokoh-tokoh besar Indonesia,” tambah Rizal Ramli.
Melihat kritik Rizal Ramli yang sudah cenderung personal itu, Mahfudz MD pun nggak terima. Ia balas cuitan ekonom yang pernah sama-sama jadi menteri di jaman Presiden Gus Dur itu dengan menyebut Rizal Ramli makin ngawur dan bodoh.
Rupanya Mahfudz betul-betul tersinggung dengan kenyinyiran Rizal Ramli kali ini. Dengan tegas ia meladeni pengritik pemerintah nomer wahid itu karena sudah dianggap keterlaluan. Dan kalau pun ia menyebut Ramli makin ngawur dan bodoh, itu karena sudah dianggap menyinggung secara personal.
Selama ini, Mahfudz selalu menjadi orang pemerintahan yang paling blak-blakan. Ia tak segan berdebat dengan siapa saja dengan argumentasi ilmiah dan akademik. Latar belakangnya sebagai guru besar hukum memberi modal besar untuk itu.
Kalau ia merasa harga dirinya sudah tersinggung oleh pernyataan orang lain, berarti memang sudah dianggap berlebihan. Omongan Rizal Ramli tentang dirinya sudah dianggap di luar kapasitasnya sebagai pejabat publik yang memang harus terus berkomunikasi dengan masyarakat.
“Ketika Rizal bilang Mahfud MD itu intelektualnya merosot dan menjadi penjilat, itu kan nggak ada hubungannya dengan yang kita diskusikan. Saya bilang, kamu yang bodoh dan ngawur, kan gitu, kan setara itu," kata Mahfud terakhir kali di Jakarta.
Kalau pun Mahfudz harus menjelaskan tentang Perpu Cipta Kerja yang kontroversi, memang itu sudah menjadi salah satu tugasnya. Ia harus menjadi salah satu penyampai visi dan kebijakan presiden atau pemerintah.
Apalagi, Mahfudz bisa menjelaskan argumen hukumnya dibalik keputusan pemerintah ini. Tidak mungkin dan seharusnya demikian ia membawa suara pemerintah di hadapan publik. Tidak seperti ketika Rizal Ramli yang terkesan memiliki visi sendiri ketika menjadi menteri di Kabinet Jokowi dalam waktu yang singkat.
Bahwa dalam sistem demokratis setiap kebijakan harus melampaui dulu proses debat publil itu ya. Di berbagai negara, setiap kebijakan publik melalui proses panjang. Ada debat publik sedemikian rupa sampai ia menjadi sebuah kebijakan yang dijalankan.
Inilah yang membuat birokrasi pemerintahan tidak bisa bertindak cepat seperti korporasi. Setiap tahap dari kebijakan harus melalui proses panjang. Melibatkan sebagian besar pendapat publik sesuai dengan konstitusi atau perundang-undangan masing-masing negara.
Namun, suara publik tidak bisa hanya direpresentasikan oleh perorangan. Kecuali ia memang menjadi anggota parlemen atau kelompok kepentingan dari sebuah masyarakat politik. Bukan pemain solo yang selalu mengatasnamakan suara publik.
Kalau pun ada pemimpin opini publik, selalu saja pengaruhnya diukur melalui track record personalnya. Seseorang yang memang benar-benar dipercaya sebagai pembawa suara nurani rakyat. Bukan sekedar pernah ikut memerintah dan berani bersuara vokal sebagai oposisi pemerintah.
Sayangnya, dengan adanya media sosial, percakapan publik menjadi seringkali tak terkendali. Seperti masuk ke dalam ranah personal yang seharusnya tidak sampai terjadi. Seperti gegeran antara Mahfudz MD dan Rizal Ramli yang dipicu kebijakan publik berupa Perpres tentang Cipta Kerja.
Ketika liberalisasi informasi yang dipicu revolusi digital terjadi, fungsi penyaring itu ada di lembaga pers. Yang dalam proses kerjanya diikat oleh sebuah etik jurnalistik. Yang itu melekat pada profesi jurnalistik sebagai penyampai informasi publik dan lembaga pers.
Dalam menyampaikan setiap informasi, profesi jurnalistik dan lembaga pers selalu mempertimbangkan kelayakan berita dan kelayakan muat. Tidak semua yang layak diberitakan dianggap layak muat. Ketika itu bertentangan dengan norma-norma umum, seringkali peristiwa penting tak lolos muat.
Liberalisasi informasi menjadikan standar moral dalam berkomunikasi menjadi tanpa batas. Setiap orang bisa menyampaikan uneg-unegnya. Bahkan, termasuk kebencian yang teah merasuk dalam dirinya. Secara sadar dan tanpa sadar, seringkali cara berkomunikasi seseorang mencerminkan sifat aslinya.
Saya tidak tahu rumus baru dalam percaturan wacana publik dalam platform media baru. Namun, tampaknya masih perlu upaya terus menerus untuk membangun wacana publik yang lebih berkeadaban. Sehingga demokrasi yang terbangun ikut berkeadaban pula.
Saya tahu visi Mahfudz MD sebagai seorang akademisi maupun sebagai politisi. Ia bukan seorang pejabat negara yang biasa. Seorang pejabat yang selalu berani berbicara apa adanya. Bisa menjelaskan narasi kebijakan publik pemerintah secara lebih baik dengan tanpa beban.
Bahwa ia harus menjadi bagian dari visi presiden dan pemerintahan, itu sudah seharusnya. Justru aneh kalau mengharapkan dia berani berbeda dengan presiden seperti Rizal Ramli yang pernah lakukan saat di pemerintahan. Sebab, tidak ada visi menteri dalam sistem presidensil.
Saya pun tak melihat Mahfud yang kenal dulu berbeda dengan sekarang. Tetap bersuara lantang. Meski hasil akhirnya belum tentu sesuai dengan kelantangannya. Seperti saat ia menyuarakan kejanggalan skandal Sambo maupun tragedi Kanjuruhan. Dan memang tak semua harus sesuai dengan yang kita harapkan!