China Didesak Gunakan Pengaruhnya di Myanmar, Fakta Sikap AS
Pemerintah Amerika Serikat (AS) mengatakan China harus menggunakan pengaruhnya untuk meminta pertanggungjawaban kepemimpinan militer Myanmar atas kerusuhan yang sejauh ini telah merenggut lebih dari 500 nyawa.
Junta Myanmar menghadapi protes setiap hari sejak menggulingkan pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi pada 1 Februari. Militer menanggapi dengan tindakan keras brutal yang menewaskan ratusan warga sipil.
Pada hari Rabu 31 Maret 2021, AS mengatakan akan terus meminta China untuk meminta pertanggungjawaban mereka yang bertanggung jawab atas kudeta tersebut.
"Apa yang telah dilakukan junta di Burma bukanlah untuk kepentingan Amerika Serikat. Ini bukan untuk kepentingan mitra dan sekutu kami, dan itu bukan untuk kepentingan Beijing," kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price, dikutip Deutsche Welle, Kamis 1 April 2021.
Tidak seperti negara-negara Barat yang mengutuk keras aksi militer tersebut, Cina menanggapi kudeta dengan hati-hati dan menyebut pentingnya stabilitas.
Gencatan Senjata dan Tiga Kelompok Etnik Bersenjata
Junta Militer Myanmar kini menawarkan gencatan senjata kepada kelompok etnis bersenjata di negeri itu. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi ketegangan dan dukungan terhadap aksi rakyat yang menolak kekuasaan dari kudeta militer di negeri tersebut.
Tiga kelompok etnik bersenjata di Myanmar menyatakan bersedia bergabung dengan seluruh kelompok etnik untuk memerangi junta militer. Ketiga kelompok etnik bersenjata tersebut adalah Arakan Army (AA), Tentara Aliansi Demokratik Nasional Myanmar (MNDAA), dan Tentara Pembebasan Nasional Ta'ang (TNLA).
Ketiganya membentuk aliansi yang dinamakan Brotherhood Alliance alias Persaudaraan Aliansi sebagaimana dilansir The Irrawaddy, Selasa 30 Maret 2021.
Brotherhood Alliance menyatakan, pihaknya siap bergabung dengan seluruh kelompok etnik jika pembunuhan brutal terhadap demonstran anti-kudeta terus berlanjut.
Pada Senin lalu, Brotherhood Alliance mengutuk junta militer Myanmar saat korban tewas Myanmar mencapai 510 orang di seluruh negeri.
AA sendiri merupakan kelompok etnik bersenjata yang memperjuangkan otonomi yang lebih besar di Negara Bagian Rakhine. AA telah menjadi salah satu kekuatan paling tangguh yang menghadapi militer Myanmar, alias Tatmadaw, selama dua tahun terakhir.
Pertempuran antara AA dengan Tatmadaw terus meningkat sejak November 2018 hingga awal November 2020. Konflik tersebut menimbulkan ratusan korban dari warga sipil dan menyebabkan lebih dari 200.000 orang mengungsi.
Baru-baru ini, junta militer mencabut AA dari daftar kelompok teroris setelah pertempuran antara kedua belah pihak dihentikan pada November.
Juru bicara AA Khaing Thukha mengatakan kepada The Irrawaddy bahwa sudah saatnya keompok etnik bergandengan tangan untuk melindungi warga sipil yang ditindas junta militer.
“Kami harus melakukan yang terbaik untuk melindungi nyawa dan harta benda orang-orang yang tertindas,” kata Khaing.
Dia menambahkan, pasukan keamanan Myanmar memperlakukan warga sipil dengan sangat kejam.
“Warga sipil yang tidak bersalah ditembak secara brutal dan dibunuh oleh militer setiap hari,” sambung Khaing.
Khaing bertutur, AA mengutuk keras tindakan tidak manusiawi yang dilakukan polisi dan tentara Myanmar terhadap warga sipil.