nickname. Seperti Chelsea yang dipanggil The Blues. Maka lahirlah nama 'Green Force'. Atas usulan Zainal Muttaqin. Reporter olahraga saat itu. Yang kini jadi direktur utama banyak perusahaan di grup DI's Way. Belakangan muncul nickname yang lebih membumi: Bajul Ijo. Harian Surya Surabaya yang konsisten memopulerkannya. Muncul pula meme Green Force yang legendaris itu: sketsa wajah heroik suporter Green Force. Dengan slogan 'Kami Haus Gol Kamu'. Muncul pula istilah 'Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa: Bahasa Bola'. Di Chelsea saya membeli banyak aksesori: kaus, jaket, topi, selendang. Tiba di Surabaya saya pun bilang: kita harus bikin beginian. Maka kami pun memproduksi topi Green Force, kaus Green Force, selendang Green Force. Saya pun minta rocker muda nan cantik dari Surabaya. Untuk menjadi modelnya. Mengenakan semua merchandise Green Force: Ita Purnamasari. Laris. Heboh. Gempar. Pabrik kausnya sampai kewalahan. Pun saat itulah lahir istilah Bonek. Dari situ pula saya mulai terlibat Persebaya. Mobil BMW saya hancur. Masih baru. Kinyis-kinyis. Kereta api hancur. Saya harus mengganti semua kerugiannya. Ketika tim muda Persebaya juara, lahir pula nickname yang lain: Bledug Ijo. Bledug adalah sebutan untuk anak gajah. Persebaya pernah disorot tajam. Saat itu saya masih di luar kepengurusan. Persebaya baru saja dikalahkan 0-12 oleh Persipura. Di Surabaya pula. Di depan suporter sendiri. Tidak masuk akal. Hari itu Persebaya dianggap memainkan sepak bola gajah. Yang skornya sudah diatur. Seperti pertunjukan sepak bola gajah beneran di Wai Kambas, Lampung. Sampai sekarang istilah sepak bola gajah masih populer. Untuk mengejek permainan pengaturan skor. Tapi suporter Persebaya ternyata bangga diejek sebagai gajah. Sampai tim juniornya diberi nickname Bledug Ijo. Waktu itu suporter senang atas kekalahan Persebaya 0-12. Hanya dengan kalah seperti itu pesaing beratnya, PSIS Semarang, tersisih. Dan Persipura lolos ke babak final. Masa lalu yang kelam. Untung Persebaya terus maju. Semua itu bermula dari Chelsea. Saya pun harus ke Chelsea lagi. Sabtu lalu. Maka, saya hanya dua jam melihat demo besar anti Brexit di Westminster. Di pusat kota London. Di depan Downing Street. Saya bergegas ke stasiun bawah tanah. Di dekat Big Ben itu. Untuk segera ke Chelsea.Kereta yang ke arah stadion itu ternyata yang jurusan Wimbledon juga. Kereta yang sama yang saya naiki sehari sebelumnya. Saat saya salat Jumat di masjid tertua itu (Baca: Jesus di Quran). Letak stadion Chelsea di pertengahan antara stasiun Westminster dan Wimbledon. Saya harus turun di Stasiun Fulham. Begitu turun dari kereta 'rasa Chelsea' sudah tampak. Tanda arah ke stadion Chelsea langsung terlihat. Stasiun Fulham Broadway ini agak besar. Ada shopping center di bagian depannya. Tanpa bertanya pun kita langsung tahu: di mana letak stadionnya. Semua orang mengarah ke kiri. Yang pakai atribut biru-biru itu. Dari depan stasiun pun stadionnya sudah kelihatan.Persoalannya: saya belum punya karcis. Saya pikir, saya bisa beli di stadion. Toh lawan Chelsea hari itu tim lemah: Sheffield United. Tim yang baru naik kasta. Pasti tidak penuh. Ups, ternyata penuh juga. Intinya: saya gagal masuk stadion. Ya sudah. Toh saya kan hanya ingin bernostalgia. Itu pun tidak tercapai. Semuanya sudah baru. Saya sudah tidak mengenali stadion ini. Tidak mengenali lingkungannya. Tidak ada lagi yang jual atribut seperti dulu. Yang ada kios resmi klub. Kios-kios kaki lima agak jauh dari stadion. Itu pun tidak ada lagi yang jualan topi. Hanya kaus, jaket dan selendang. Dan beberapa emblem. Dan foto-foto tua. Saya balik ke stasiun. Di kereta, saya langsung buka online: beli karcis untuk nonton di Liverpool minggu depan. Takut kehabisan.(Dahlan Iskan) Papua Chelsea PLN