Chat Terakhir Pak Munif
Saya menyesal sekali tidak bisa mengantar Sekretaris DMI Kota Surabaya KH M Munif ke tempat peristirahatan terakhirnya. Tambah menyesal karena baru tahu beliau meninggal dunia sehari setelahnya.
Saya merasa ditilap beliau. Padahal sehari sebelumnya, masih berkomunikasi lewat WhatsApp. Membicarakan persiapan peserta Konferensi Wilayah (Konferwil) DMI Jawa Timur, 21 Desember 2021 mendatang.
Sungguh tak terduga. Saya pun tak mengerti kabar beliau meninggal karena seharian tak melihat group WhatsApp. Yang berseliweran pesan duka. Bendahara DMI, M. Jamil juga gagal menelepon saya untuk memberi kabar.
Baru pagi hari ini, Jumat 17 Desember 2021, saya menerima telepon darinya. “Kemarin Pak Arif ditunggu banyak orang,” katanya. “Lho ada apa? Ditunggu di mana,” kata saya langsung.
“Pak Arif nggak tahu ya kalau Pak Munif meninggal dunia? Beliau meninggal kemarin. Dimakamkan setelah dzuhur,” tambah Jamil.
Saya langsung lemes. Menyesali diri karena seharian tak menengok group WhatsApp DMI. Juga tidak menerima telepon Jamil yang missed call saat saya sedang rapat di suatu tempat.
Pak Munif --demikian saya memanggil-- adalah orang yang sangat penting dalam perjalanan hidup saya. Dia yang bisa meluluhkan hati saya untuk bersedia kembali menjadi Ketua DMI Surabaya. Selain Ketua Umum PP DMI Jusuf Kalla.
Ia pula yang merayu saya memimpin DMI Surabaya setelah tak berhasil menjadi Walikota Surabaya. “Pak Arif perlu terus menebar manfaat dengan menjadi Ketua DMI Surabaya,” katanya saat itu. Kebetulan periode kepengurusan DMI sedang berakhir.
Pak Munif adalah Kepala Dinas Sosial saat saya menjadi Wakil Walikota Surabaya. Ia salah satu pejabat Pemkot Surabaya yang juga kiai. Ia keluarga Pondok Pesantren Langitan, Tuban. Yang dipimpin almarhum KH Abdullah Faqih.
Kariernya di birokrasi dibangun dari bawah. Alumnus APDN (Akademi Pemerintahan Dalam Negeri) angkatan 1977 ini pernah menjadi lurah. Juga ajudan walikota saat Surabaya dipimpin Walikota Purnomo Kasidi.
Tidak banyak santri yang menjadi pejabat di Pemerintah Kota Surabaya pada zamannya. Apalagi santri yang juga lihat mengaji kitab kuning seperti Pak Munif. Juga punya komitmen besar terhadap perjuangan agama.
Latar belakang santrinya itu yang membuat ia masih punya banyak kegiatan setelah pensiun dari Aparat Sipil Negara (ASN). Usai purna tugas di Pemkot Surabaya, ia menjadi salah satu direktur Masjid Nasional Al Akbar Surabaya.
Di tempat ini, ia meninggalkan warisan yang sangat berguna. Menginisiasi pendirian TK dan Madrasah Ibtidaiyah di basement masjid terbesar di Jatim ini. “Beliau sebetulnya ingin ada SMP juga. Tapi sebelum terwujud, posisinya diganti orang lain,” kata putra menantunya.
Tapi semangat perjuangan untuk pendidikan ternyata tidak berhenti. Menggandeng Yayasan Sulaimaniyah dari Turki, Pak Munif mendirikan Ponpes Tanfidz Alqur’an di Masjid Arofah yang terletak di depan rumahnya, di kawasan Jemursari Surabaya.
Setelah sukses di Surabaya, ia bersama Yayasan Sulaimaniyah mengembangkan sayap ke berbagai daerah di Jatim. Di Surabaya saja, ponpes serupa sudah ada dua. Yang baru berdiri ada di kawasan Perak Surabaya Utara.
Di luar itu, ia aktif dalam berbagai organisasi sosial keagamaan. Selain di NU, ia menjadi pengurus MUI Kota Surabaya. Juga menjadi Sekretaris Ketua DMI Kota Surabaya. Semuanya dijalani dengan ikhlas dan penuh semangat.
Pak Munif akan berusia 69 tahun, Januari 2022 mendatang. “Selama ini tidak pernah mengeluh. Hanya saja, belum lama ini sempat tes gula darah dan hasilnya bagus. Jadi tidak pernah punya keluhan penyakit jantung,” kata Ny. Munif.
Diceritakan, Kamis pagi sampai sore masih melakukan aktivitas seperti biasa. Juga menerima tamu yang datang ke rumahnya. “Jadi betul-betul tidak ada tanda-tanda sakit sama sekali,” tambah Ny. Munif.
Sekitar pukul 10 malam, di kamar batuk-batuk. Tidak berhenti. Sampai minta ke belakang. Setelah ke belakang, wajahnya sudah berubah pucat. “Saya tuntun kembali ke tempat tidur,” kisahnya.
“Saat itu, Pak Munif minta maaf. Saya pun menjawab memaafkan semua kesalahannya sambil meminta agar mau dibawa ke rumah sakit. Dia mau,” tuturnya.
Pak Munif yang sudah dalam keadaan lemas itu langsung dibawa dengan mobil ke RSI Jemursari. Perlu perjalanan 15 menit dari rumah ke rumah sakit tersebut. Sesampai di IGD sudah tidak sadarkan diri.
Upaya memberi pertolongan medis sudah tidak membantunya. Termasuk obat-obatan yang dimasukkan ke tubuhnya. Pak Munif akhirnya menghembuskan napas terakhir pukul 23.00 WIB.
Ia meninggalkan seorang istri dan tiga orang anak. Juga telah meninggalkan warisan jaringan ponpes Sulaimaniyah yang dirintis bersama Yayasan Sulaimaniyah.
Pak Munif bukan sekadar birokrat yang telah purna. Tapi juga manusia purna dengan tinggalan berbagai manfaat dan jariyah yang tersebar di mana-mana.
Kematian indah karena tanpa sakit berkepanjangan.
Advertisement