Charlottesville, Mimpi Buruk Rasisme di AS
BANYAK warga yang kaget. Bagaimana mungkin? Di Charlottesville, Virginia, negara bagian yang berbatasan langsungan dengan ibukota Washington DC ini tiba-tiba menyentak Amerika. Kota kecil yang pada tahun 2014 silam dinobatkan oleh Biro Nasional Penelitian Ekonomi (NBER) sebagai kota paling bahagia di Amerika, tetiba bergolak dengan isu yang sangat serius; rasisme.
Kota yang menjadi letak Universitas Virginia yang semula terkenal sebagai tempat progresif kemudian menjadi sarang kelompok Neo Nazi, KKK dan gerakan Alt-Right. Orang menyebutnya sebagai kota biru didalam negara merah. Kota universitas yang bebas ditengah basis Partai Republik yang konservatif. Dari sini sebenarnya terlihat bahwa benih-benih rasisme bisa tumbuh subur di tempat dimana orang bisa menenteng senapan mesin di jalanan itu.
Muasal keributan berawal dari perebutan klaim identitas dari sebuah patung. Sebagaimana lazimnya di Amerika, dibeberapa titik strategis didirikan monumen atau patung untuk menghormari seseorang yang dianggap berjasa. Selain patung Thomas Jefferson, juga berdiri patung Jenderal Robert E. Lee, panglima tentara Konfederasi dalam perang saudara di AS. Pada bulan april lalu, Patung Lee yang diputuskan untuk diganti sesuai rapat dewan kota, mendapatkan penolakan.
Reaksi keras muncul pada bulan Mei dimana organ dan kelompok yang kerap disebut white nationalist atau supremacist (Nasionalis Putih) yang dipimpin oleh Richard Spencer yang juga seorang alumnus Universitas Virginia menggelar demonstrasi. Dalam tuntutannya, dia menyebutkan bahwa "Patung Lee tidak bisa diganti, kami tidak bisa diganti, orang kulit putih punya masa depan, kekuatan, keindahan dan ekspresi".
Kemarahan kelompok-kelompok tersebut semakin menjadi-jadi tatkala dewan kota mengambil voting untuk menggeser dua patung yang dibangun untuk menghormati tokoh konfederasi yakni Robert E Lee dan Letnan Jenderal Stonewall Jackson yang berada dikompleks Emancipation Park dan Justice Park. Sesudahnya, kelompok rasis yang sudah lama berdiri di seantero Amerika, Ku Klux Klan (KKK) membawa bendera konfederasi dalam reli yang melibatkan 50 orang yang dibalas dengan aksi kontra sebanyak 1000 orang.
Pada Jumat malam, 11 juni 2017, berbagai kelompok white supremacist itu bergabung untuk memprotes pencopotan patung Jenderal Lee. Kelompok WS menabrakkan mobil dikerumunan demonstran yang kontra dan berakibat tewasnya seorang perempuan dan melukai 19 orang lainnya. Ditambah lagi 2 aparat dari negara bagian Virginia tewas ketika helikopternya jatuh dalam operasi pengendalian kerusuhan.
Sehari sesudahnya, presiden Trump memberikan pernyataan dan menyebut bahwa "rasisme itu setan (kejahatan)". Dia mengutuk segenap ujaran kebencian, bigotri dan kekerasan yang dilakukan semua pihak. Tanpa menyebutkan secara jelas terhadap kelompok White Nationalist atau neo nazi dibelakangnya. Dalam keterangan lanjutan, dia menyebutkan kelompok "alt left" yang merujuk pada aktivis yang kontra pada gerakan WS juga punya andil sebagai pihak yang bersalah.
Keterangan ini mendapatkan dukungan penuh dari kelompok WS. Diantaranya mantan ketua KKK David Duke memuji Trump. Dalam cuitannya dia bilang "Terimakasih presiden atas kejujuran anda tentang Charlottesville dan mengutuk teroris kiri di Black Lives Matter (BLM), organisasi kebebasan sipil untuk kesetaraan Afro Amerika.
Reaksi pejabat negara mulai bermunculan. Jaksa Agung federal Jeff Sessions menyebutnya sebagai terorisme domestik seraya menegaskan bahwa pihaknya memastikan akan menuntut secara serius dan melakukan investigasi. Sebagaimana dokumentasi yang dilakukan oleh Southern Poverty Law Center terhadap kelompok neo nazi beberapa tahun terakhir malah tidak mendapat tanggapan dari pejabat federal.
Pada februari lalu, administrasi Trump malah mengeluarkan kelompok WS ini dari daftar potensial teroris domestik. Dia mengalokasikan dana 10 juta dolar untuk hibah penanganan kekerasan ektrimis dengan target tunggal pada isu Islam radikal. Padahal dalam periode akhir administrasi obama, DHS, kantor deradikalisasi pemerintah mengucurkan dana 400.000 dolar untuk kelompok Life after Hate yang fokus pada deradikalisasi neo nazi.
Reaksi dari dalam UVA juga terlihat masif. Pada 16 agustus, para mahasiswa dan sivitas UVA mendeklarasikan penolakan terhadap rasisme. Sebanyak 4.000 orang menyalakan lilin, bernyanyi lirih seraya mengutip puisi Maya Angelou "still I rise". Puisi yang menunjukkan ketegaran hati dan ketegasan sikap serta optimisme akan haraoan dalam posisi sulit.
Banyak pihak melihat, Trump sangat berhati-hati karena kelompok WS ini adalah pendukung beratnya dalam pemilihan presiden. Beberapa simpatisannya berada dalam lingkaran Gedung Putih diantaranya adalah Sebastian Gorka. Baru-baru ini Trump juga memecat dua anggota dewan penasehat urusan bisnis yang mengkritik responnya terhadap kerusuhan Charlottesville. Sekalipun diinternal partainya, reaksi keras juga muncul.
Banyak anggota Kongres yang frustasi terhadap penanganan isu tersebut oleh administrasi Trump. Pimpinan mayoritas Senat, Mitch Mc Connell menyebut "tidak ada yang baik dari neo nazi". Jeff Hays, ketua Partai Republik Colorado menyebutkan Trump "membuat masalah untuk dirinya sendiri".
Dari kelompok bisnis, CEO Wallmart, Doug McMillon mengatakan Trump kehilangan kesempatan untuk menyatukan negeri. Senada dengan itu, Theda Skocpol, profesor politik dari Harvard menilai bahwa presiden telah kehilangan sikap moral untuk bicara kepada atau tentang Amerika.
Ditengah tekanan keras terhadap performa administrasinya, kita tunggu apakah Charlottesville akan menjadi pemicu kerusuhan yang lebih besar akibat rendahnya komitmen moral presiden Trump? Sehingga berdampak pada buruknya penanganan pasca kerusuhan. (Paidi Darmawan)
Advertisement