Cetakan 'Republika’ Terakhir: Sebuah Refleksi
Media-media cetak berada pada senjakala. Satu per satu menyatakan berhenti cetak. Totak beralih ke media digital. BBC London, radio yang disiarkan lewat gelombang pendek lebih dari 70 tahun menghadirkan siaran bahasa Indonesia, pun berpamitan.
Hari-hari terakhir koran yang dibesarkan di kalangan intelektual Muslim Indonesia, Republika, akhirnya tak bisa bertahan pula. Media yang pernah dikaitkan dengan BJ Habibie ini, telah berpamitan untuk tidak terbit dalam edisi cetak.
Bagi Fachry Ali, seorang di antara intelektual Muslim terkemuka, memberi catatan atas Republika, berikut ini:
Sengaja saya ambil gambar-gambar koran Republika cetakan terakhir (31 Desember 2022) ini. Gambar (1) mengungkap halaman pertama yang utuh. Gambar (2) tulisan Erick Thohir berjudul ‘Perjalanan Penuh Makna’. Dan gambar 3 dan 4 masing-masing catatan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir dan Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf. (Sebenarnya, ada edisi Ahad, 1 Jan 2023, koran ini yang mengkisahkan Kerajaan Usmaniah. Tetapi tak bisa saya potret karena seseorang memindahkannya dari meja saya —ketika catatan ini ditulis.
Apa yang saya ingat tentang koran ini?
Salah satunya adalah kedatangan saya pada suatu hari, mungkin akhir 1994 atau awal 1995. Duduk di warung kopi di samping gedung Republika, saya meminta Herdi atau Sugeng SP atau Fadillah mengontak Hamid Basyaib dan AE Priyono untuk turun. Tetapi yang menjumpai saya bukan hanya mereka berdua. Melainkan juga Ade Armando. Apa tema obrolan kami waktu itu tak lagi tersimpan di benak. Kecuali komentar Hamid Basyaib atas pengantar saya pada buku ‘Kemelut Demokrasi Liberal’. Hamid memang penerjemah karya Boyd Compton itu yang diterbitkan LP3ES pada 1993(?).
Bagi saya, keberadaan Hamid Basyaib, Ade Armando dan AE Priyono di Republika mengindikasikan sesuatu. Walau tegak pada garis yang terputus-putus, bagi saya, ketiganya adalah kelanjutan harian ‘Abadi’. Jejak aktivitas mereka dalam dunia pergerakan ‘Islam kota’ terpatri di dalam ingatan saya. Ini, dalam catatan saya, berbeda dengan Parni Hadi. Walau muncul sebagai Pemimpin Redaksi Republika pada waktu itu, saya gagal mengingat nama itu di dalam struktur arsip kenangan saya.
Maka, dilihat dari konteks Hamid Basyaib dan kawan-kawannya di atas, Republika adalah alat penyedotan baru kalangan terpelajar ‘Islam kota’ dalam wujud media sosial, khususnya suratkabar, setelah Harian ‘Abadi’ menghilang dari peredaran pada 1960-an. Memang benar, media sosial dalam wujud majalah produk ‘Islam kota’ masih berusaha bertahan pada masa itu. Antara lain, ‘Panji Masyarakat’ dan ‘Kiblat’. Akan tetapi, Republika, sebagai koran, lebih memperlihatkan kesinambungannya dengan Harian ‘Abadi’. Ini terutama saya tekankan sejauh menyangkut awak yang mengisi darah yang menggerakkan jantung kedua koran itu.
Dari segi point of view, Republika tampil tanpa ideologi politik. Maka, ini berbeda dengan Harian ‘Abadi’. Kehadiran Republika, dengan demikian, adalah usaha merayakan keterlepasan, atau lebih tepat, ‘kemerdekaan’ berartikulasi ‘Islam kota’ dari beban ideologis masa lalu. Jika dilihat secara lebih dramatis, Republika adalah realisasi slogan Nurcholish Madjid pada pertengahan 1960-an: ‘Islam Yes, Partai Islam No.’
Apa yang bisa direfleksikan atas fenomena ini?
Salah satunya adalah sifat non-ideologis Republika secara struktural tegak pada transformasi kelas menengah ‘Islam kota’. Berkat pembangunan ekonomi Orde Baru selama lebih dari dua dekade —jika diukur dari kelahiran Republika pada 1993 (lihat gambar terakhir)— masyarakat Islam mengalami mobilitas vertikal secara massif. Berbeda dengan masa kelahiran Harian ‘Abadi’, Republika secara teoretis lebih diuntungkan. Alasannya sederhana. Yaitu jumlah kaum terpelajar Islam telah tumbuh berlipat-lipat dibandingkan dengan masa Harian ‘Abadi’.
Kaum terdidik Muslim yang kian membesar itu, sekali lagi secara teoretis, bukan saja memerlukan bahan bacaan harian, melainkan juga menelorkan para penulis dalam jumlah lebih dari memadai. Dengan demikian, di samping sebagai sumberdaya manusia mumpuni, perkembangan kelas menengah ‘Islam kota’ ini sekaligus juga pasar luas bagi Republika. Sifat non-ideologis Republika memperkuat asumsi teoretis ini. Bukankah pada umumnya kelas menengah di manapun cenderung mengabaikan aspek ideologis?
Tetapi, mengapa Republika ‘tidak berkembang’ —seperti postulasi teoretis di atas— dan pada akhirnya berhenti terbit dalam bentuk cetakan esok, 2 Januari 2023?
Selain karena terdesak perkembangan teknologi digital, ada dua hipotesa di sini. Pertama adalah bahwa transformasi kelas menengah Islam kota justru menciptakan dilema bagi surat kabar seperti Republika. Benar bahwa mereka membutuhkan bahan bacaan harian. Kendatipun demikian, keterpelajaran yang dimiliki membuat mereka lebih leluasa (untuk menghindari kata ‘lebih selektif’) memperoleh informasi dari sumber-sumber lain baik dalam maupun luar negeri.
Dalam konteks ini, kita bisa mengajukan ‘sub-hipotesa’ tambahan. Misalnya, kekosongan bahan bacaan berkualitas bagi kelas menegah ‘Islam kota’ telah diisi oleh Harian ‘Kompas’ dan Majalah ‘Tempo’, ‘The Jakarta Post’ misalnya, sepanjang kurun awal Orde Baru hingga terbitnya Republika pada 1993. Dan pada saat yang sama, terbitan-terbitan luar negeri juga telah membanjiri Indonesia. Siapapun yang melek pada 1980-an, tak akan melupakan kehadiran ‘Far Eastern Economic Review’, ‘The Asial Wall Street Journal’ —di samping ‘Times’ dan ‘Newsweek’, serta ‘Financial Times’ dan ‘The Economist’
Dengan demikian, sebelum kelahiran Republika, kelas menengah ‘Islam kota’ telah tersajikan dengan alternatif bacaan beragam dari dalam maupun luar negeri.
Kedua, dan mungkin yang paling krusial. Perkembangan ‘pesat’ pertumbuhan kelas menengah ‘Islam kota’ terhenti hanya sebatas kekuatan sosial-budaya. Selebihnya, jalannya sejarah ini tak berlanjut kepada perkembangan kelas kapitalis. Yang terakhir ini, sebagaimana telah menjadi kebijakan politik-ekonomi Orde Baru, dilakoni hampir secara ‘eksklusif’ oleh aktor-aktor Tionghowa. Maka, secara sederhana, kendatipun kehadiran Republika tegak pada pertumbuhan kelas menengah kota yang kian meluas, suratkabar ini tak mempunyai basis material-finansial. Tak terlalu ‘akrab’ dengan media-media ‘Islam’, kaum kapitalis ini cenderung mempercayakan iklan-iklan perusahaan mereka kepada media-media massa lain.
Hampanya basis material inilah yang secara struktural berkaitan dengan absennya Republika dalam bentuk cetak datang ke rumah saya esok hari —2 Januari 2023. (Maka, langganan koran cetak saya tinggal ‘Kompas’ dan ‘The Jakarta Post’). Saya harap, keduanya bisa langgeng dalam bentuk cetak.
Fachry Ali
Penulis sejumlah buku di antaranya yang legendaris, Merambah Jalan Baru Islam.
Advertisement