Cetak Biru RI di Tangan Kader Muhammadiyah, Benarkah?
Deklarasi Djuanda 1957 oleh Kader Muhammadiyah Djuanda Kartawidjaya yang mengubah luas Indonesia secara hukum internasional menjadi 5,4 juta kilometer persegi dari awalnya yang hanya seluas 2,1 kilometer persegi.
Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Hajriyanto Thohari menyebut momentum tersebut, tepatnya tanggal 13 Desember 1957 adalah tanggal Proklamasi kedua Republik Indonesia.
Bagi Hajriyanto, memaknai Deklarasi Djuanda tidak musti seremonial, tetapi yang lebih penting adalah pemaknaan kembali bagi warga Indonesia untuk kembali ke jati dirinya sebagai bangsa maritim.
“Secara pengakuan (de jure) wilayah Indonesia ini milik kita semua melalui Deklarasi Djuanda. Tapi secara fakta (de facto) tidak karena kita masih tidak bisa ngopeni laut. Masih dikelola negara lain. Ironisnya, bangsa di negara kepulauan tapi sikap kita banyak sebagai orang darat,” kata Hajriyanto.
“Secara pengakuan (de jure) wilayah Indonesia ini milik kita semua melalui Deklarasi Djuanda. Tapi secara fakta (de facto) tidak karena kita masih tidak bisa ngopeni laut. Masih dikelola negara lain. Ironisnya, bangsa di negara kepulauan tapi sikap kita banyak sebagai orang darat,” ungkap Hajriyanto.
Mantan politisi Partai Golkar ini mengungkapkan hal itu, dalam Pengajian Bulanan PP Muhammadiyah di Aula KH Ahmad Dahlan Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jumat 7 Desember 2018.
Bagi Hajriyanto, implikasi dari pemikiran Djuanda hanya bisa dibangun dengan faktor manusia Indonesia yang harus kembali berjiwa maritim dan tidak memunggungi laut.
“Potensi laut Indonesia mencapai 12 ribu triliun. Jika bangsa ini mau maju, kembali ke laut. Semboyan Majapahit yang dipakai TNI adalah jalasveva jayamahe. Untuk menegakkan kedaulatan, di laut kita jaya. Ini strategi kebudayaan,” ungkap Thohari.
Sebelumnya, terdapat uraian Dekan Perikanan dan Kelautan Universitas Padjajaran (UNPAD) Dr. Yudhi Nurul Ihsan. Menurutnya, pengelolaan laut Indonesia masih tumpang tindih dan nyaris tidak optimal bahkan secara ironis merupakan negara penyumbang sampah di laut terbanyak kedua di dunia.
Kader Tulen Muhammadiyah
Mewakili pihak keluarga Ir. Djuanda, cucu Djuanda Sanandra Hanitiyo hadir dalam Pengajian Bulanan yang mengambil tema “Djuanda dan Kedaulatan Maritim” tersebut menyampaikan bahwa kakeknya adalah sosok kader tulen Muhammadiyah.
Ir. Djuanda Kartawidjaya yang lahir di Tasikmalaya tahun 1911 merupakan seorang teknokrat yang merancang cetak biru bagi bentuk Republik Indonesia. Selama 14 tahun Djuanda menjadi pejabat tinggi negara mulai dari Perdana Menteri sampai dengan beberapa jabatan Menteri.
Ketika lulus dari jurusan Teknik Sipil Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang Institut Teknologi Bandung) pada usia 22 tahun, Djuanda menolak bekerja sebagai pegawai kolonial Belanda dengan alasan nasionalisme.
Sebagai gantinya, Djuanda memilih menjadi Kepala Sekolah Muhammadiyah di Jakarta dengan gaji yang tidak dapat diandalkan dibandingkan dengan gaji pegawai kolonial.
Setelah Indonesia merdeka, Djuanda menerima ajakan Soekarno untuk merancang cetak biru Republik Indonesia.
Setelah wafat pada 7 November 1963, Presiden Soekarno memberikan gelar pahlawan nasional dan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Nama Djuanda diabadikan pada berbagai tempat seperti bendungan, jalan raya, monumen, bandara udara, stasiun hingga gambar pecahan mata uang dan perangko.
“Kantor PP Muhammadiyah (Menteng) ini dahulu adalah rumahnya Pak Djuanda. Beliau memang kader Muhammadiyah tulen dan cinta dengan Muhammadiyah,” ucap Sanandra. (adi)