Ceruk Menggiurkan Bisnis Kopi Tingkatan Hilir
Kembali ke Laptop: (pinjam istilah Thukul Arwana). Kembali bicara soal kopi maksudnya. Hari kemarin (31/08), Sabtu hari ini (01/09), mungkin juga besok (02/09), tak ada topik yang lebih mengasyikkan ketimbang bicara daging hewan kurban. Bicara sate, gulai, tongseng, kare, dan seterusnya.
Bagi yang diet berat karena kolestrol tentu hanya bisa cemberut. Bagi yang dilarang dokter, tipis-tipis dan sembunyi-sembunyi menjajal aneka daging olahan kambing sembari menggembol obat penurun tensi darah di saku kanannya. Sementara saku kirinya mengantongi bawang lanang mentah untuk dikunyah sebagai penawar alami tradisional. Bagi yang tahes alias sehat semua dilahap. Setengah mateng, yang gosong, yang terpedo, hingga urat-urat pilihan yang dipercaya sebagai penambah stamina.
Asyik bukan... Ya, semua yang terkait dengan Idul Kurban selalu mengasyikkan. Selalu dinanti dengan segala persiapan. Sayangnya, bau masakan terkait daging kurban cepat membawa bosan. Ada istilah Bahasa Jawa yang kontekstual menggambarkan suasana ini, yaitu unger-ungeren. Nengok kanan-kanan kiri, setiap rumah, punya daging semua. Cara masaknya pun sejenis.
Nah, pas bukan kalau kembali ke laptop. Mari bicara kopi dan ngopi lagi. Boleh jadi, karena dia jenis minuman, maka tingkat kebosanan yang ditimbulkan sangat rendah. Boleh jadi juga, kopi memang tidak pernah membosankan. Pahitnya memang masih selalu sama, namun sensasinya yang selalu bergeser dan berbeda.
Kembali ke laptop! Kopi bukan barang baru. Demikian Dimas Pratama – owner butuhkopi.co – mengatakan dalam tulisannya. Dimas menggarisbawahi, di era informasi dan teknologi yang demikian dahsyat, sektor ini begitu berdinamika. Semakin berwarna. Semakin kekinian. Semakin hits. Alhasil, konsumen kopi pun semakin kentara tersegmentasi.
Pertama terdapat segmen urban (bukan kurban lho ya, red). Kedua – ini yang jumlahnya sangat besar – adalah segmen mayoritas. Segmen urban ditandai dengan munculnya home brewer. Munculnya alat-alat seduh kopi manual yang kekinian. Alat-alat tersebut terlihat eksklusif, cantik, dan mahal. Beriring juga dengan masifnya penjualan alat-alat tersebut yang begitu mewarnai toko-toko online.
Home brewer, dipahami, adalah kalangan yang mengaku bahwa pengalaman menikmati kopi tidak hanya saat meminum kopi. Tak hanya saat nyeruput kopi. Melainkan, juga pada saat menyeduhnya. Kategori peminum kopi ini kadang cukup kritis dengan kualitas kopi. Acapkali juga rewel dengan jenis berikut varietas kopinya.
Sedangkan, segmen mayoritas, segmen yang memiliki ceruk pasar sangat besar ini, biasa disebut sebagai sekadar peminum kopi. Karena sekadar, maka dia bisa dan biasa minum kopi sembarang. Kopi sembarang itu kopi segala jenis, kopi segala merk, dan mungkin juga kopi segala campuran. Kopi pokoknya warna hitam yang dituang air panas mendidih.
Segmen sembarang ini ada juga yang menamainya sebagai peminum kopi kirangan. Kirangan itu kosakata bahasa Jawa, yang artinya tidak tahu. Jadi, ketika sedang ngopi, kemudian ditanya pengopi di sebelahnya, atau ditanyai temannya yang baru datang: Itu kopi apa? Jawabnya sederhana: tidak tahu. Enak? Entahlah! Kadang jawabnya tetap satu kata, lumayan! Dia lalu sibuk kembali dengan handphone dan wifi gratisannya.
Kopi bukan barang baru. Artinya, kopi adalah barang lama. Barang lama dalam artian bukan barang expired lho. Tapi merupakan komoditas yang sudah sangat lama diupayakan secara lintas dunia. Kini, komoditas ini, semakin memuncaki perdagangan antarbenua.
Kopi urban, home brewer, benar-benar sedang menggejala. Semua sosial media membicarakannya. Malah komplit dengan aktivitas fotografi yang mampu membetot keingintahuan hingga membawanya ke ranah tren dan viral. Tapi pernahkah segmentasi gaya ngopi urban ini benar-benar dihitung seberapa besar pengikutnya? Lalu, soal pasar, lantas seberapa besar ceruk pasarnya?
Belum ada data akurat yang bisa menjelaskan soal itu. Namun fenomenanya benar-benar bisa dirasakan. Setidaknya, sampling sederhananya, toko peralatan kopi yang menyasar konsumen penikmat kopi, bukan lagi menjadi dominasi Philocoffee (Jakarta) dan Otten Coffee (Medan). Pencarian kata kunci “V60 drip”, misalnya, di situs Bukalapak menghasilkan sekitar 230an penawaran produk dari berbagai retailer. Maka, cukup meyakinkan bahwa home brewer memang berkembang begitu pesat saat ini.
Lantas, apakah berkembangnya segmen home brewer akan berdampak pada berkurangnya pengunjung kedai kopi? Bisa iya bisa tidak. Begitu jawabnya. Tapi sepertinya akan banyak tidak-nya ketimbang iya-nya. Pasalnya? Ada kenikmatan yang tidak bisa didapatkan saat menyeduh kopi sendiri di rumah secantik dan semahal apapun peralatan home brewernya.
Kedai kopi, nyata-nyata, memberikan pengalaman bersosialisasi yang asyik. Sebuah informal yang ngangeni. Di suasana ekonomi politik seperti saat ini, plus perkembangan teknologi informasi yang demikian mengharu-biru, sesuatu yang informal menjadi gaya bersosialiasi yang kontekstual. “Bahwa manusia butuh bertemu. Butuh berbincang satu sama lain. Itu ada di kedai kopi,” kata Adi Taroepratjeka dalam sebuah workshop manual brewing di sebuah hotel di Surabaya, dalam suatu kesempatan belum lama ini.
Adi Taroepratjeka adalah pakar di dunia kopi. Dia adalah satu dari sedikit penilai kualitas kopi berlisensi internasional yang ada di Indonesia. Licensed Q Grader namanya. Bukan sekadar Q Grader, Adi adalah Q Grader pertama dari Indonesia yang memiliki gelar instruktur. Orang yang berlisensi untuk mengajarkan materi Q Grader kepada orang lain. Konon, hanya ada sekitar 50 instruktur Q Grader di seluruh dunia ini.
Segmen manual brewing ini, kata Adi, diyakini memang berkembang, namun skalanya belum masif. Boleh jadi, ini karena persepsi masyarakat yang belum begitu mengimbangi pesatnya pertumbuhan kedai kopi berkonsep manual brewing.
Sedangkan segmen sekadar peminum kopi yang merupakan kalangan mayoritas, tidak membutuhkan banyak persepsi untuk duduk dan menyeruput kopi. Pokoknya bisa duduk, pokoknya bisa akses wifi free, pokoknya segera dilayani, selesai. Acapkali si mayoritas ini tak peduli dengan kopi yang diminumnya. Tak peduli kopi yang dipesannya. Maka kata sembarang, kata kirangan begitu akrab dan melekat. Kopi sembarang. Kopi kirangan. Kopi hitam.
Bisa dicatat, yang mengiringi kopi sembarang, kopi kirangan, kopi hitam itu maksimal hanya tiga permintaan. Kopi puahit, kopi muanis, dan kopi susu. Bisa meracik pada situasi pas, lalu menyajikan dengan cepat permintaan ini, tak perlu waktu lama sebuah warung kopi akan segera kembali modal dan untung besar. Jangan tanya pengunjungnya, selalu akan bejibun. Berdusel-dusel, berhimpit-himpit, dan berjam-jam. Andaikan boleh bawa bantal, mereka pasti akan mampu bertahan 3 hari 3 malam, asal wifi free tetap terkoneksi dengan lancar.
Segmentasi pasar mayoritas ini acapkali juga meluncurkan kritik pedas terhadap penikmat manual brewing. Bikin kopi kok lama. Bikin kopi kok ribet. Kopi kok ndak ada gulanya. Kopi kok kecut. Kopi secakir saja kok mahalnya minta ampun. Huuiih kopi opooo ngono kuwi, dan seterusnya. Semoga saja kritikan, cibiran, ini tak menjadikan baku hantam di dalamnya.
Lalu, Anda, akan memilih yang mana? Memilih salah satu tentu bisa. Memilih keduanya juga tidak masalah (meski ini jarang terjadi). Memilih salah satu pasti akan kehilangan wacana. Kehilangan criticism. Saling menyalahkan. Saling melempar umpan. Saling “ngecap”. Maka perlu jalan tengah. Perlu dialogis. Perlu kepintaran. Memerlukan sinergitas antarpenyambung lidah kopi.
Indonesia memiliki Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. Pemerintah bisa menyuport habis lembaga ini untuk melakukan langkah-langkah lebih kreatif agar masyarakat mendapatlan kopi yang semestinya kopi. Mendapatkan kopi yang baik. Mendapatkan kopi yang menyehatkan, toh kopi memiliki antioksidan yang juga diperlukan badan. Terakhir, perlu regulasi yang asyik oleh pemerintah agar hilir kopi tidak mawut dengan ekonomi kopi yang sak karepe dewe terkait komoditas kopi itu sendiri. (widikamidi: berdasarkan tulisan dimas pramata encietynews)