Cerpen "Jejak": Seperti Anak Kembar Tak Identik
Oleh : Endang P. Uban
Beberapa waktu lalu dalam grup Perempuan Penulis Padma, beredar pengumuman tentang dibukanya sebuah kesempatan sekaligus tantangan bagi para penulis yang ingin karya cerpennya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan dibaca oleh masyarakat internasional. Kesempatan itu diberikan oleh sebuah penerbit yang berpusat di Amerika yang didirikan oleh Ibu Lian Gouw: Dalang Publishing. Salah satu yang kemudian bersuka ria mengikuti kesempatan dan tantangan itu adalah Wina Bojonegoro, cerpenis dan pendiri Perlima sendiri.
Hari ini, kabar gembira itu tiba. Salah satu cerpen Wina yang berjudul "Jejak" telah berhasil tayang di laman Dalang Publishing dan bisa dibaca di sini: https://indonesian.dalangpublishing.com/your-stories. Setelah melewati penggodogan berkali-kali dan cukup memberikan tekanan—menurut tuturan Wina, karya ini mampu menembus dunia berbahasa asing.
Tak butuh waktu lama, saya membaca. Satu komentar saya: beda rasa. Saya merasa cukup terikat dengan cerpen ini meski perkenalan dengan Wina sendiri belumlah terlalu lama. Betapa tidak? Pada masa awal perkenalan dengan Wina, sayalah yang mendapatkan kesempatan membacakan "Jejak" dalam format naskah aslinya, pada acara 100 hari Pembacaan Cerpen Wina Bojonegoro di jendela siaran langsung Instagram. Ini adalah masa awal saya belajar memberanikan diri membaca cerpen agar terdengar hidup di telinga pemirsanya.
Saya masih ingat, pada bagian akhir pembacaan cerpen itu suara saya tersendat. Ada isak yang sengaja ditahan agar tak pecah. Cerpen "Jejak" memberikan sebuah rasa yang saya hayati sekali kedalamannya. Bercerita tentang keresahan akan nama diri dan budaya Jawa yang menghilang terbawa arus modernisasi, yang tak dapat dihindari siapa pun. Tergerus gemerlapnya budaya luar semacam grup band Black Pink dari Korea, yang dibesarkan oleh bantuan media. Sementara, orang Jawa sendiri seperti sudah lelah menularkannya pada keturunannya. Atau, seperti Pak Besar (nama tokoh dalam naskah asli, yang dalam terjemahan menjadi Pak Wibowo Besari) yang bagai berteriak di dalam tempayan, hanya bergaung kembali pada dirinya sendiri.
Pengalaman sejak kecil saat ayah ibu selalu menggaungkan mantra ojo nganti ilang jawane (jangan sampai hilang identitas kejawaannya), membuat saya mengenal betul rasa gelisah yang dikisahkan Wina. Mendengar Pak Besar bagaikan mendengar ayah saya bicara. Sebagai orang yang dulu berkecimpung dalam dunia seni tari Jawa, saya juga tahu betapa ‘sepi’-nya apa yang dulu saya lakukan. Ketika teman-teman sekolah saya lebih suka tari modern dan mengeluhkan gerakan tarian saya sangat lambat, membuat mengantuk. Dalam "Jejak", Wina menorehkan kuas rasanya di batin saya dengan sangat fasih. Setelah membaca cerpen-cerpennya yang lain, Wina memng sangat istimewa dalam perkara satu itu. Namun, goresan rasa ini tidak saya temui dalam "Jejak" edisi baru, sebut saja begitu.
"Jejak" edisi baru, membuat saya seperti menelusuri Wikipedia edisi budaya. Kesan yang ditinggalkan adalah: Oh, begitu rupanya yang disebut tingkeban—dan rujukan budaya Jawa lainnya. Wina seperti mengemban sebuah misi berat untuk memberikan pengetahuan itu kepada pembacanya. Hampir tak bersisa ruang imajinasi lagi karena jejalan paparan tentang apa saja yang ada dalam budaya Jawa. Ketika membaca, benak saya hanya sibuk memproses semua paparan itu untuk diingat, seperti agar tak salah dalam menjawab ujian esok hari di sekolah.
Sependek pengetahuan sebagai pembaca cerita dan pembelajar dalam kepenulisan, bercerita berarti menyampaikan imajinasi dan rasa. Gelisah, senang, sedih, kecewa, dan semua rasa lainnya, ingin bisa dirasakan juga oleh pembaca. Rasa itulah yang diterjemahkan oleh pembaca ke dalam dirinya sebagai sebuah kenikmatan dalam menyimak cerita. Di situlah seninya bercerita, Itu pula sebabnya, menurut saya, mengapa penulisan cerita masuk ke dalam bidang seni.
Jika harus membandingkan kedua edisi itu, tentu saja saya lebih suka pada edisi asli. Ingin rasanya saya dimanjakan lagi oleh karya Wina. Serasa dielus, diperdengarkan, atau dininabobokkan melalui barisan kata-kata indah yang memunculkan berjuta imajinasi. Membaca kedua edisi itu, seperti menatap pada anak kembar tak identik. Mudah-mudahan pengibaratan ini tepat. Namun, begitulah yang terbayang oleh saya. Satu ibu, melahirkan dua anak kembar dengan perbedaan yang tampak jelas.
Tentu saja tetap terbuka kemungkinan penalaran dan penafsiran yang berbeda dari pembaca lain. Jika ingin membuktikan apakah ulasan rasa ini benar atau tidak, cerita aslinya dapat ditelusuri dalam kumpulan cerita pendek Kisah-Kisah Pembunuh Sepi dari Padmedia Publisher. Tentu saja, jangan lupa membaca edisi baru melalui tautan yang saya sematkan di bagian atas tulisan.
Bagaimanapun, saya mengucapkan selamat dan menjura kepada guru saya ini. Satu hal yang perlu dicermati, Wina selalu pantang menyerah dan tak takut untuk mencapai impian serta memenuhi kecintaannya pada dunia kepenulisan.