Ceroboh, MUI Sumbar Sesatkan Jam’iyyah Islamiyah
“Janganlah sampai terjadi, Bidang Kerukunan dan Ukhuwwah yang melakukan, tetapi justru hasil rapatnya tidak merukunkan atau tidak mengukhuwwah-kan atau tidak mengayomi kita sesama muslim yang bersaudara,” kata Abdul Aziz Jamal.
Setelah menolak konsep Islam Nusantara, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Barat secara ceroboh menyebut sesat Jam’iyyah Islamiyah. Hal itu terungkap dalam Hasil Keputusan Rapat Koordinasi Bidang Kerukunan dan Ukhuwwah Majelis Ulama Indonesia/MUI dan MUI Kab/Kota se-Sumatera Barat, tertanggal 21 Juli 2018/08 Dzulqaidah 1439 H.
Dalam keputusan tersebut, MUI Sumbar menyebutkan pada point B bagian 1 (a, b, c), tentang Aliran Sesat pada nama “Jam’iyyatul Islamiyah (JmI)”.
Yang isinya, antara lain, Jam’iyyatul Islamiyyah (JmI) yang membawa ajaran Karim Jama’, yang telah dinyatakan sesat-menyesatkan oleh keputusan MUI di masa Buya Amir Syarifuddin dan dilarang oleh Kajati Sumbar Bidang Ukhuwwah mengamanahkan kepada MUI Sumbar untuk terus memantau dan mendalami gerakan mereka dan mengambil sikap dan tindakan yang sepatutnya dilakukan.
MUI Sumbar dan MUI Kab/Kota se-Sumbar bersepakat untuk terus berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait untuk menghentikan penyebaran ajaran JmI dan mengingatkan untuk akan kesesatan ajaran mereka.
Selain itu, MUI Sumbar diamanahkan untuk berkoordinasi dengan MUI Pusat dalam mengantisipasi gerekan mereka di tingkat nasional.
Menanggapi hal itu, Dewan Pimpinan Jam’iyyah Islamiyah Sumatera Barat memberikan klarifikasi, ditandatangani Dr. H. Abdul Aziz Jamal, M.Sc (Ketua) dan Ir. H. Zulkarnain Moesbar (sekretaris ) serta diketahui Ketua Dewan Penasehat Prof. Dr. Firwan Tan, SE., M.Ec., DEA., Ing.
Berikut ini beberapa hal yang perlu kami klarifikasi:
Nama lengkap pencetus cikal bakal organisasi “Jam’iyyatul Islamiyah” adalah Buya K.H. Abdul Karim Djamak (Alm), wafat pada tahun 1996 (dalam usia 90 tahun) bertepatan dengan Idul Adha, yang bergelar Timo Daharo Tunggak Nagari Mendapo Rawang Koto Teluk Tiang Agama Sakti Alam Kerinci, pada hari Jum’at tanggal 12 Maret 1971 di Sungai Penuh, Kabupaten Kerinci. Bersama dengan K.H. Amir Usman (Alm) dan Ketua Umum DPT Sekber Golkar Kabupaten Kerinci Mayor Minha Rapat (Alm), dalam wadah Sekber Golkar pada waktu itu, dengan nama organisasi “Jam’iyyatul Islamiyah”.
Selanjutnya Buya K.H. Abdul Karim Djamak (Alm) bertindak sebagai Pembina Jam’iyyatul Islamiyah, bukan seperti yang tertulis dalam Hasil Keputusan Rapat Kordinasi Bidang Kerukunan dan Ukhuwwah Majelis Ulama Indonesia/MUI dan MUI Kab/Kota se-Sumatera barat, tertanggal 21 Juli 2018/08 Dzulqaidah 1439 H, yang ditulis “Karim Jama””. Jadi, bisa saja yang dimaksudkan dalam hasil keputusan tersebut adalah -“Karim Jama”” -“Karim Jama”” yang lain, bukan “Abdul Karim Djamak”.
“Sebab, tiga kata dalam nama tersebut tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Jadi, sepintas lalu hasil keputusan tersebut tidak terkait dengan organisasi kami,” tutur Abdul Aziz Jamal pada ngopibareng.id, Sabtu 28 Juli.
Dalam petikan kalimat “yang telah dinyatakan sesat-menyesatkan oleh keputusan MUI di masa Buya Amir Syarifuddin dan dilarang oleh Kajati Sumbar Bidang Ukhuwwah” yang tersebutkan di atas perlu diklarifikasi. Kalimat “yang telah dinyatakan sesatmenyesatkan“, tidak disebutkan apa bunyi pernyataannya? sehingga hal ini bisa menimbulkan syakwa-sangka dan buruk sangka antar umat, serta hanya karena
katanya. Ajaran apanya yang sesat? Siapa yang sesat? Bagian mananya yang sesat?
Hal-hal inilah yang perlu dijelaskan lebih lengkap oleh MUI Sumbar, sebagai kaum yang terpelajar. Kalimat “oleh keputusan MUI”, pun tidak dicantumkan bunyi keputusannya. Sehingga sekali lagi, dapat menimbulkan pra-duga pra-duga yang
macam-macam. Kalimat “di masa Buya Amir Syarifuddin” pun tidak diklarifikasi, “di masa“ itu kapan?
Jadi hendaknya, MUI Sumbar langsung saja tabayun kepada Buya Amir Syarifuddin, bukan kepada yang lain. Kalimat “dan dilarang oleh Kajati Sumbar Bidang Ukhuwwah” pun tidak disebutkan: Kapan dilarangnya? Apa bunyi larangannya? Siapa yang dilarang? Jadi, agar kita tidak terburu-buru dan gegabah dalam mengambil keputusan, apalagi hasil rapat, hendaknya diteliti dan dijerami terlebih dahulu.
“Janganlah sampai terjadi, Bidang Kerukunan dan Ukhuwwah yang melakukan, tetapi justru hasil rapatnya tidak merukunkan atau tidak mengukhuwwah-kan atau tidak mengayomi kita sesama muslim yang bersaudara,” kata Abdul Aziz Jamal.
“Jadi, sepintas lalu hasil keputusan tersebut tidak terkait dengan organisasi kami,” kata Abdul Aziz Jamal.
Diingatkannya, nama organisasi kami adalah “Jam’iyyatul Islamiyah”, yang disingkat dengan “JmI”, bukan “JI”. Cara penulisannya yang benar adalah “Jam’iyyatul Islamiyah“, double “y“ pada kata “Jam’iyyatul“ dan single “y“ pada kata “Islamiyah“, bukan seperti yang tertulis dalam Hasil Keputusan Rapat Koordinasi Bidang Kerukunan dan Ukhuwwah Majelis Ulama Indonesia/MUI dan MUI Kab/Kota se-Sumatera Barat, tertanggal 21 Juli 2018/08 Dzulqaidah 1439 H, yang ditulis “Jam’iyyatul Islamiyyah (JmI)”, dengan menggunakan double “y“ di kata “Islamiyyah“.
Sebab, cara penulisan yang benar “Jam’iyyatul Islamiyah“ (19 hurufnya) tersebut terkandung rahasia makna yang sangat mendalam. Jadi, jika penulisannya “Jam’iyyatul Islamiyyah”, maka jumlah hurufnya 20, yang tentu maknanya sangatlah berbeda. Jadi, organisasi kami bernama “Jam’iyyatul Islamiyah“, bukan “Jam’iyyatul Islamiyyah“.
“Jadi, sepintas lalu hasil keputusan tersebut tidak terkait dengan organisasi kami,” kata Abdul Aziz Jamal. (adi)