Cerita Timbul, Jadi Guru Puluhan Tahun Baru Lulus PPG di Unusa
Belajar tak mengenal usia, itulah yang dilakukan perempuan bernama C. Timbul Sri Rahayu. Ia merupakan salah satu peserta dari 201 peserta yang mendapatkan gelar baru sebagai guru profesional setelah mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG) Sekolah Dasar di Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa).
Mengajar bukan hal baru baginya, sejak 35 tahun lalu tepatnya pada 1988. Sri sudah memulai karir sebagai seorang guru di Sekolah Dasar (SD) Katolik Santa Maria, Kotabaru, Pulau Laut, Kalimantan Selatan.
Pada awalnya, perempuan kelahiran Magelang, 3 Oktober 1969 ini, tidak pernah membayangkan untuk menjadi guru, apa lagi untuk mengajar di SD. Cita-citanya menjadi seorang prajurit negara, seperti sang ayah.
Namun, keinginannya justru ditentang orang tuanya. Nasibnya mulai berubah ketika dia didaftarkan di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Van Lith, Muntilan, Kab. Magelang, Jawa Tengah, oleh saudaranya.
"Dari situ saya mulai mencintai pendidikan guru. Dan setelah lulus, saya dipanggil oleh yayasan yang dimiliki oleh perkumpulan para biarawati. Pihak sekolah tersebut mengatakan, bahwa tidak ada seorang pun yang mau ke Kalimantan untuk mengajar di sana. Maka saya memberanikan diri untuk pergi ke Kalimantan bersama guru yang telah mengajar di sana," ungkap Rabu, 15 Maret 2023.
Di tempat asing, Timbul banyak belajar hal baru. Bertemu anak-anak yang polos, baik bahasa, emosi, maupun cara pandangnya. Timbul banyak belajar mengendalikan diri, agar tak mudah marah dan bersabar.
Emosinya juga semakin diuji ketika menghadapi anak-anak yang dijauhi temannya karena suatu hal yang berbeda dari teman yang lain.
Pengalamannya justru membuatnya mantap mengajar di jenjang SD. "Meski pernah mendapat tawaran mengajar di Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA)," ungkap perempuan yang pernah menjabat sebagai Sekretaris Wanita Katolik, Ranting Kotabaru, Kalimantan Selatan tahun 1990–1999 ini.
Perempuan yang saat ini mengajar di SD Katolik Indriyasana VII, Surabaya, menceritakan bahwa saat pertama kali mengajar di SD, dia mendapat tempat mengajar di Kalimantan.
Di tempat itu, ia tak banyak paham akan bahasanya. Sulit untuk mengetahui, apa maksut pernyatan murid-muridnya. Namun, ia tak menyerah, telaten mengikuti dan mendengarkan apa yang anak-anak katakan.
Diungkapkannya, kegemarannya mengajar semakin bertambah ketika melihat anak didiknya yang belum bisa membaca. Kondisi itu jadi penyemangat, mengar agar anak didiknya bisa membaca.
"Dukanya menjadi guru SD, jika ada orang tua yang memanjakan anaknya dengan tidak mengizinkan anak didiknya mengikuti kegiatan sekolah karena orang tua terlalu protect," pungkasnya.
Belajar di Unusa
Setelah puluhan tahun mengajar akhirnya ia memutuskan melanjutkan pendidikan PPG di Unusa. Dia juga banyak mendapat pengalaman baru terutama penggunaan IT, dia banyak dibantu oleh para dosen, guru pamong, teman mahasiswa, dan juga admin. Mereka tak henti memberi bantuan jika ia mengalami kendala.
"Saya senang belajar di Unusa, karena para dosen, guru pamong, dan bagian admin menerima serta membantu dengan maksimal. Apa lagi pada waktu saya upload tugas dan penyelesaiannya semua ikut membantu," ungkapnya.
Studi PPG di Unusa pun mendapat dukungan dari keluarganya. Di usia yang tak muda, serta memiliki anak berusia remaja, keluarganya justru tak banyak menuntut. Anaknya yang duduk di bangku SMP paham, ibunya sedang sibuk menimba ilmu.
"Tempat kerja, semua pihak mendukung bahkan memberikan kelonggaran waktu dan menyiapkan guru pengganti untuk kegiatan belajar mengajar di kelas," imbuhnya.
Dia Berharap, meski sudah selesai PPG, ia ingin agar tetap berjuang untuk menambah wawasan dan menambah pengetahuan melalui siapa pun. Jangan berhenti dan berpuas diri dengan ilmu yang sudah dimiliki.
"Bagi teman-teman semua, jangan takut untuk menerima perubahan dan jangan patah semangat jika mengalami kesulitan, karena banyak orang yang bersedia membantu kita asalkan kita mau meminta bantuan dengan tulus," tukasnya.
Advertisement