Cerita tentang Peci, Semoga Kita Baik-baik Saja
Sejak menginjak umur 60 tahun, saya suka mengenakan peci hitam. Sebelum itu, hanya kalau ke mesjid saja mengenakan peci hitam. Selebihnya, nggak pakai peci, karena isteri saya bilang lebih oke kalau nggak pakai peci, kelihatan rambut hitam pekat dan bergelombang.
Sejak menginjak umur 60 tahun, rambut kepala bagian tengah atas mulai menipis dan kemudian lambat laun terjadi proses pembotakan di bagian tengah kepala. Tentu hal itu merupakan proses alami yang wajar.
Proses pembotakan bisa menjadi lebih cepat oleh berbagai sebab. Ketika hidup di tanah Arab selama sekitar 9 tahun, saya hampir setiap hari makan daging kambing seperti kebanyakan orang Arab. Daging kambing lebih sehat dibanding daging sapi. Sebabnya serat dagingnya lebih halus dan lemaknya terpisah dari daging. Sebaiknya kalau makan sate, minta agar jangan pakai lemak.
Sedangkan daging sapi lemaknya sulit dipisahkan dari daging atau melekat. Daging sapi Jepang lebih enak (Wagyo dan Kobe) karena lemaknya lebih banyak dibanding yang bukan Wagyo. Bayangkan harganya lebih mahal --padahal tidak sehat meskipun rasa lebih lezat.
Daging kambing atau domba baik bagi kaum lelaki terutama yang dimasak setengah matang misalnya sate. Biar umur 70 tahun tetap perkasa ha.. ha.. ha... Daging apapun baik untuk kesehatan, tetapi sedapat mungkin hindari lemaknya kecuali seperlunya saja, guna menambah rasa lezat. Hal itu menurut Ibnu Sina, bapak kedokteran dunia. Namun konsekuensinya banyak mengonsumsi daging kambing mengakibatkan terjadinya proses kebotakan dan orang Arab menyebut pria berkepala botak dengan: صاحب الاصلء (Shahibul Asla’).
Peci selain berfungsi untuk penutup kepala sebagai nilai keagamaan, dan juga sebagai bagian sebuah simbolis komunikasi. Berarti sudah mulai mengurangi konsumsi makan daging kambing ini.
Indonesia, Semoga Baik-baik Saja
Bapak wakil presiden kita, Prof Dr KH Ma'ruf Amin, seorang kiai yang berwajah tenang dan teduh. Kaya ilmu, baik duniawi maupun ukhrawi serta integritas pribadinya sungguh luar biasa.
Ketika berlangsung aksi sejuta umat di Monas atau aksi 411, ketika itu hadir juga Ustadz Rizieq Syihab (sahabat saya -- dekat di hati tetapi jauh di mata) - yang ketika itu Ketua FPI, banyak pihak yang was-was. Tetapi saya meyakinkan kepada rekan-rekan dan wartawan yang bertandang ke Tebet Jakarta, bahwa kedua tokoh besar tersebut, seorang kiai dan ustadz tersebut menjadi jaminan ketertiban dan keamanan serta jauh dari rusuh.
Kiai Ma’ruf Amin, guru saya ketika itu saya sering mendampingi dakwah beliau khususnya di kalangan Lembaga Dakwah NU pada sekitar 2010. Dalam situasi negara yang remang-remang, mendebarkan dan bahkan mendekati kritis, kehadiran almukarram Wapres Prof Dr KH Ma'ruf Amin kiranya menjadi penyejuk suasana dan peneduh hati anak bangsa yang sedang galau.
Kami sangat mempercayai Romo Kiai Ma'ruf Amin dalam dalam situasi seperti sekarang ini.
Akhirul kalam, bila memperhatikan perkembangan politik secara seksama akhir akhir ini saya sampai pada kesimpupan bahwa demokrasi ala Barat seperti sekarang ini tidak sesuai dengan kepribadian dan nilai budaya bangsa.
Selama ini ada kritik bahwa demokrasi sejak era reformasi hanyalah “transaksional dan prosedural" dan kini tambah predikat “amburadul, saling cakar alias cakar-cakaran”. Kembali ke UUD 1945 yang asli sajalah, kasihan rakyat jelata.
Pusing? Ya, ngopi dan hisap cerutu dulu. Sabar kawan-kawan.
DR KH As'ad Said Ali
Pengamat sosial politik, Mustasyar PBNU periode 2022-2027, tinggal di Jakarta.
Advertisement