Cerita PPDS Obgin Periksa Pasien Tanpa Rahim di Madura
Pengabdian seseorang PPDS (Program Pendidikan Dokter Spesialis) di daerah terpencil selalu menyisakan kisah berkesan tentang pasiennya. Cerita kali ini disampaikan oleh dokter Nanda Bagus Pratiktio, PPDS Obstetri dan Ginekologi FK UNAIR-RSUD Dr Soetomo.
Di masa penantiannya menunggu kelulusan, PPDS yang akrab disapa Nanda ini ikut rombongan dokter Rumah Sakit Terapung Ksatria Airlangga (RSTKA) berlayar menuju pulau Raas dan Giliiyang, Madura.
Selama berlayar, 13 Juli hingga 7 Juni 2022, banyak hal yang diperoleh Nanda. Mulai dari pelayanan kesehatan hingga memahami pola sosial budaya pasien. Salah satu yang berkesan adalah ketika dia memeriksa pasien tanpa rahim.
“Saya dapat pasien perempuan usia tiga puluh tahun. Datang dengan harapan ingin memiliki momongan. Namun setelah diperiksa, rupanya ibu tersebut tidak memiliki rahim,” kisahnya.
Singkat cerita, si ibu memaklumi. Hal ini karena selama 30 tahun hidupnya, si ibu tidak pernah haid. Namun hingga menikah, ibu tersebut tidak pernah melakukan pemeriksaan ke bidan.
Menghadapi kenyataan pahit itu, pasien mampu menguasai emosinya. Ia memahami keadaannya mungkin ini tak lepas dari pendidikan terakhirnya lulusan S1. Lain cerita, sang suami merasa terpukul. Bahkan, dia sempat tidak menerima kabar buru tersebut.
Ya, memiliki momongan adalah harapan setiap pasangan suami istri. Apalagi di daerah seperti Madura, momongan adalah hal yang sensitif. “Atas seizin istri, kenyataan tersebut tetap saya sampaikan kepada suami meskipun tidak nyaman untuk didengar,” terang Nanda.
Kasus perempuan tanpa rahim, jelas Nanda merupakan kasus yang cukup umum terjadi di RSUD Dr Soetomo. Mengingat rumah sakit pendidikan utama FK UNAIR ini merupakan rumah sakit rujukan utama.
“Yang bisa menjadi pelajaran dari kasus ini ialah kesadaran diri untuk segera melakukan pemeriksaan jika ada kelainan, misalnya tidak pernah menstruasi," terang Nanda.
Ia pun mengingatkan pada masyarakat apabila mengalami gejala serupa sebaiknya melakukan pemeriksaan dan deteksi dini.
"Meskipun di Indonesia belum bisa transplantasi rahim, setidaknya calon tahu kondisi pasangannya sebelum menikah. Sehingga tidak ada kekecewaan,” tandasnya
Advertisement