Cerita Petugas Quick Count, Ada yang Tak Dipercaya Keluarganya
Di balik perhitungan cepat atau quick count yang kita saksikan lewat berbagai media. Ada kisah-kisah menarik yang dialami oleh para petugas quick count di lapangan.
Muhammad Asrofi Al-Kindy, 23 tahun, bekerja di sebuah lembaga survei milik sebuah media nasional yang ikut melakukan perhitungan cepat pada Pemilu 17 April lalu. Ini kedua kali Asrofi bekerja sebagai petugas hitung cepat di lapangan. Sebelumnya, pada Pilkada 2018 sarjana geografi ini di lembaga yang sama, melakukan hitung cepat di wilayah Pasuruan. Namun, tahun ini ia kebagian tugas di sebuah desa di kaki Gunung Semeru.
Berjarak sejauh 47km dari domisilinya di Kota Malang. Sejak dua hari sebelum hari pemilihan Asrofi bolak-balik menuju desa Taman Satrian, Kecamatan Tirtoyudo, Kabupaten Malang.
“Sebelum hari H, kita survei lapangan dulu. Bertemua kepala desa, menyerahkan perizinan, sekaligus berkenalan dengan para petugas di TPS,” ujarnya pada ngopibareng.id, Sabtu, 20 April 2019.
Perjalanan menuju lokasi di tempuh selama kurang lebih tiga jam. Jalan yang dilalui juga tidak mulus, masih berbabtu dan berlumpur. Kata Asrofi, warga sekitar menyebut jalan desa mereka dengan nama “kali mati”. Itu karena jalan tersebut akan berubah menjadi seperti sungai saat hujan turun.
Meski rute yang dilalui berat, soal beban kerja Asrofi masih mengatakan kalau pekerjaannya tidak seberat petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
“Saya lihat sendiri, petugas KPPS harus begadang lebih larut untuk melakukan penghitungan suara,” katanya.
Petugas hitung cepat hanya bertugas mendokumentasikan peroleh suara Pemilihan Presiden yang sudah disahkan dalam form C1. Lembaga tempat Asrofi bekerja menerapkan prosedur yang ketat dalam hal ini. Setiap petugas dibekali sebuah aplikasi bernama ODK collect.
Lewat aplikasi ini petugas mengirim foto form C1, lengkap dengan titik lokasi TPSnya berada.
“Jadi kita memang harus di tempat. Selain itu kita juga harus diketahui oleh ketua KPPS di setiap TPS,” ujarnya.
Mereka juga harus menyertakan nomor telepon petugas KPPS yang nantinya akan dikonfirmasi oleh petugas hitung cepat di kantor pusat, Jakarta.
Selain Asrofi, tugas yang sama juga diemban oleh Fadlin Fadlan 27 tahun. Dengan niatan menambah uang tambahan, laki-laki yang kesehariannya menjual buku ini ikut bekerja sebagai petugas hitung cepat. Upah yang ia peroleh sekitar lima ratus ribu rupiah, itu sudah termasuk biaya tranportasi menuju TPS tempatnya bertugas di wilayah dusun Ngelak, Kelurahan Dampit, Kabupaten Malang. Jarak yang ia tempuh dari tempat domisilinya di Kota Malang sekitar 40 km, dengan waktu tempuh hampir tiga jam.
Berbeda dengan Asrofi, Fadlan harus pulang lebih larut karena dirinya dimintai petugas KPPS untuk membantu.
“Ya angkat-angkat barang, melipat kertas suara juga. Karena petugasnya sedikit dan banyak yang kelelahan,” ujarnya.
Meski begitu, ia meyakinkan kalau dirinya tak memanipulasi data. Bantuan tenaga yang ia berikan juga setelah perhitungan surat suara capres dan cawapres yang disahkan di form C1. Menurutnya, petugas KPPS kelelahan saat melakukan penghitungan surat suara DPR, DPRD, dan DPD yang jumlahnya sangat banyak. Fadlan juga tidak keberatan dengan membantu panitia TPS.
Cerita pilu dialami oleh Muhamad Erza Wansyah, 27 tahun. Tugasnya tidak seperti Asrofi dan Fadlan, tapi dia sebagai koordinator wilayah Malang, Batu, Pasuruan, Kediri, Tulungagung, Trenggalek, Blitar. Erza bekerja mobile ke daerah-daerah tersebut untu memastikan para petugas hitung cepat di lapangan tidak mengalami kendala dan form C1 Plano terverifikasi kebenarannya.
Sayangnya, hasil hitung cepat lembaganya dan banyak lembaga lainnya tidak dipercaya oleh orang tua Erza yang mendukung salah satu paslon.
“Ibuku tahu aku kalau aku kerja quick count, tapi terang-terangan mengatakan kalau gak boleh percaya sama hasil quick count karena dimungkinkan ada kecuranganlah, dukungan terhadap calon tertentulah” katanya saat dihubungi lewat telepon.
Terkait hal ini Erza memang mengiyakan kalau hasil Pemilu sepenuhnya harus mengikuti perhitungan Komisi Pemilihan Umum. Akan tetapi, dia menyayangkan jika quick count dianggap kepentingan salah satu calon. Apalagi menuduh kalau hitung cepat dimanipulasi.
Erza mengatakan, “Yang aku resahkan ketika ada sikap ketidakpercayaan kepada quickcount bahkan juga kepada KPU, membuat masyarakat justru tidak percaya pada negara. Dan hubungan yang kurang enak antar warga negara yang di bawah, misal aku dan keluargaku.” (fjr)