Cerita Dokter Lydia, Niat Menolong Kini Pasiennya Ribuan Orang
Berawal dari masa kecilnya saat melihat kebahagiaan tetangganya sembuh dari penyakit mata, mendorong Lydia Nuradianti ingin menjadi seorang dokter spesialis mata. Ya, kini sosoknya sudah menjadi dokter mata dengan sub spesialis glaukoma di RS Mata Undaan Surabaya.
Saat ditemui di ruangannya, dokter Lydia menceritakan keinginannya menjadi dokter tumbuh ketika melihat tetangganya sebatang kara dalam keadaan buta. Beruntung, ia mendapat kesempatan bisa melihat lagi karena pertolongan seorang dokter mata.
"Dulu waktu kecil, tetanggaku matanya ada yang tidak bisa melihat. Jalan ke mana-kemana dituntun. Kasihan dia hidup sebatang kara. Setelah dia dibawa ke dokter mata, bisa lihat lagi, waktu itu aku juga kurang tahu dia pengobatannya apa. Tapi ikut senang, karena saat dia bisa melihat lagi jadi rajin kerja dan tidak tergantung sama orang lain," kenang Lydia saat menghabiskan masa kecilnya di Sidoarjo, Jawa Timur.
Keinginan Lydia menjadi dokter mata bertambah kuat, saat kuliah di Fakultas Kedokteran Unair Surabaya. Ia kagum saat melihat ruang operasi dokter mata yang bersih dan harus steril.
"Tempatnya bersih, di situ makin tertarik untuk jadi dokter mata," sambungnya.
Meskipun ukuran mata tak sebesar organ tubuh lainnya, tetapi penyakit yang bisa dialami beragam dan sub spesialisnya juga beragam. Setelah lulus S1 Kedokteran dan spesialis di FK Unair, Lydia pun memilih meneruskan pendidikan dengan mengikuti fellowship di Cicendo, Jawa Barat. Ia memilih untuk mendalami glaukoma.
Keahliannya dalam penanganan Glaukoma juga sempat diasah di RS Siriraj, Mahidol University, Bangkok. "Di sana (Bangkok) aku juga sekolah spesialis glaukoma," ungkap dokter berusia 47 tahun ini.
Kini, Lydia sudah hampir 11 tahun menggeluti glaukoma di RS Mata Undaan Surabaya. Ia gabung sejak 2012 silam. Ribuan pasien telah ia tangani, dan puluhan pasien juga datang setiap hari untuk melakukan konsultasi kesehatan mata.
Selama 11 tahun menangani pasien Glaukoma, Lydia juga banyak menyimpan cerita tak terlupakan. Salah satunya, ketika ia menangani satu keluarga yang menderita Glaukoma.
"Awalnya itu ibunya yang periksa diantar sama anak pertamanya. Anaknya itu baik banget antar ibunya setiap berobat, sampai waktu itu anaknya mengeluh penglihatannya makin lama makin menyempit, waktu dicek ternyata dia juga glaukoma (seperti ibunya) dan salah satu matanya penglihatannya sudah hilang," ceritanya.
Kondisi tersebut membuat hati Lydia terketuk untuk memeriksa adik-adiknya. Dari sini diketahui beberapa adiknya juga ada gejala glaukoma, tetapi karena diketahui sedini mungkin penglihatannya bisa diselamatkan.
"Adiknya ada lima atau enam waktu itu, saat diperiksa beberapa dari mereka tekanan bola matanya tinggi juga. Akhirnya salah satu mereka diputuskan untuk operasi dan akhirnya bisa diselamatkan penglihatannya dari sekarang," tambahnya.
Tantangan Menangani Pasien Glaukoma
Menurut Lydia, penanganan glaukoma memiliki tantangan tersendiri, karena dalam perjalanannya bisa terjadi peningkatan tekanan bola mata.
"Manusia itu spesial ya, tidak bisa satu tambah satu jadi dua. Begitu juga dengan glaukoma dalam perjalanan pengobatannya bagus sudah terkontrol, tiba-tiba ada sedikit insiden, tidak sengaja terpukul cucu atau luka, dioperasi nanti terjadi peningkatan tekanan bola mata lagi," ungkapnya.
Menganggap Pasien Seperti Keluarga
Satu hal yang dokter Lydia pegang hingga saat ini adalah memperlakukan pasien seperti keluarga. Prinsip ini adalah pesan dari ayahnya yang juga berprofesi sebagai dokter spesialis paru-paru.
"Siapa pun dia, kalau beliau sudah tua yang dianggap seperti orang tua, om, atau tante, kalau masih muda yang dianggap adik, seperti keluarga. Itu pesan papaku," kata Lydia mengingat pesan ayahnya.
Selain itu, ia juga selalu membuka diskusi dengan semua pasiennya. Tak jarang dirinya mendapatkan update terbaru teknologi canggih untuk memeriksa mata dari pasiennya. "Karena ilmu itu berkembang, aku juga terus baca. Komunikasi terbuka juga dilakukan karena mereka sudah seperti teman," paparnya.
Terakhir, ia pun berpesan bagi masyarakat untuk terus melakukan screening Glaukoma sedini mungkin. Terutama untuk orang dengan usia 40 tahun ke atas, orang dengan ukuran minus tinggi, dan memiliki keturunan pengidap Glaukoma.
"Mereka yang punya keturunan memiliki enam kali risiko lebih besar untuk terkena Glaukoma," tandasnya.