Dokter RSMU Sebut Pasca Pandemi, Mata Minus Anak Meningkat
Menjadi dokter untuk menolong orang adalah tugas yang mulia, hal inilah yang mendorong dokter Kitriastuti, untuk menjadi dokter. Menempuh pendidikan S1 dan S2 di Fakultas Kedokteran (FK) Unair, dokter Kitriastuti akhirnya bergabung di RS Mata Undaan (RSMU) sejak 2016 lalu.
Sebelum bergabung di RSMU, dokter Kitri terlebih dulu mengabdi di RS Budi Kemulyaan Batam selama 8 tahun lamannya. Ditemui di ruangannya dokter Kitri menceritakan ada perbedaan cukup signifikan ketika bertugas di RS luar Jawa dan di Jawa.
"Jadi kalau di daerah itu tempat pemeriksaan terbatas, sumber dayanya terbatas ketika ada pasien terutama dalam kondisi darurat seorang dokter harus benar-benar bertanggungjawab dengan kondisi tersebut, sebab kalau dirujuk juga tak memungkinkan karena jaraknya jauh," cerita dokter kelahiran, Surakarta, 23 Desember 1974 itu.
Kondisi tersebut, tentunya berbeda jauh dengan RSMU. Di mana semua peralatan dan sumber dayanya terpenuhi sehingga pasien bisa ditangani secara paripurna.
"Kalau di sini kita (dokter) rasanya lebih bisa membantu pasien penyembuhan yang maksimal, bahkan sembuhnya bisa 100 persen penglihatan dari pasien kali datang berobat hingga selesai berobat," terangnya.
Karena kelengkapan yang dimiliki RSMU ini, dokter Kitri pun benar-benar menangani pasien hingga paripurna. Termasuk, kasus yang banyak usai pandemi yakni kelainan refraksi pada anak.
Ia menjelaskan, usai pandemi COVID-19, angka kejadian kelainan refraksi anak semakin meningkat. Ini lantaran ketika pandemi banyak anak menghabiskam waktu di rumah dan bersama dengan gadgetnya saja.
Meningkatnya kasus kelainan refraksi pada anak menjadi fokus dokter Kitri saat ini. "Ada juga kondisi yang sudah minus, lalu waktu pandemi semakin parah dan saat ini setiap harinya di RSMU selalu ada anak dengan keluhan kelainan refraksi," ujar dokter yang dulu memilih spesialis mata karena dorongan dari mertuanya.
Usia rata-rata yang datang ke RSMU dengan keluhan kelainan refraksi mata adalah 5 sampai 17 tahun. Menurutnya, salah satu faktor meningkatnya kelainan refraksi pada anak usai pandemi ialah karena anak-anak jarang menggunakan penglihatan jarak jauhnya.
"Karena tidak kemana-kemana, jadi penglihatannya jauh tidak sering digunakan. Padahal dalam masa perkembangan anak-anak penglihatan jauh harus dilakukan untuk menghindari mata minus," kata dokter Kitri di ruangannya.
Tambahnya, penglihatan jauh yang dimaksud adalah melihat di tanah lapang, seperti sawah, kebun dan lainnya dan tidak terbatas oleh tembok atau bangunan.
Faktor lainnya yang mengakibatkan tingginya kelainan refraksi pada anak adalah sering bermain HP dan Gadget. Orang tua kadang sudah memberikan akses memegang dan melihat HP di usia kurang dari 6 tahun.
"Padahal anak baru boleh bermain HP di usia 6 tahun ke atas dengan batasan waktu untuk menjaga kualitas penglihatan anak," tambahnya.
Ia berharap, masyarakat lebih aware dalam menjaga penglihatan anak, sebab mata minus baru bisa disembuhkan dengan teknologi Lasik. "Artinya bebas kacamata bisa dengan Lasik, tapi memang tidak semua kondisi bisa dilakukan teknik tersebut untuk bebas kacamata," tandasnya.